Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Senin, 31 Mei 2010

Bumi Manusia; karya besar yang tak lekang oleh waktu

Ketikan Pinggir Hari Ini


Mungkin sebagian di antara kita ada yang pernah membaca buku 'Bumi Manusia' karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Buku tersebut adalah buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru, yang ditulis Pram saat ia ditahan dan diasingkan di pulau Buru. Saya sendiri membaca buku tersebut dan mulai mengenal karya-karya Pram saat semester 2, ketika mengikuti kuliah Filsafat Manusia. Tak akan cukup satu notes untuk mengagumi Pram, beliau terlampau hebat, dengan segala kontroversinya. Cukup ijinkanlah saya dalam kesempatan ini menceritakan sedikit mengenai buku Bumi Manusia tersebut. Siapa tahu bisa menjadi pencerahan, bisa juga tidak.

Dalam buku tersebut, melalui kehidupan sang tokoh utama, Minke, realita kehidupan pada akhir abad 19 terdeskripsi dengan amat baik. Negri ini masih berupa angin, belum terlahir seutuhnya, bahkan masih belum terkonsepsi. Mungkin kata "Indonesia" belum sekali pun terucap. Belanda masih menjadi penguasa, sepeda masih menjadi barang mewah, koran masih belum terdengar, dan sekolah pun masih diperuntukkan untuk bangsawan belaka. Intinya, 'jadul' dalam arti sebenar-benarnya.

Yang menarik dari buku tersebut adalah problematika yang terjadi persis seabad yang lalu. Permasalahan mendasar yang dihadapi Minke pada masa itu kurang lebih ada 2. Yang pertama adalah pemerintahan yang 'sakit'. Pemerintahan korup, otoriter, 'jauh' dari rakyat, dan gagal. Masalah kedua adalah tidak adanya gerakan persatuan. Minke yang berkoar-koar demi persatuan pada saat itu sungguh kesulitan dan mendapat tekanan luar biasa dari Belanda. Berbagai pihak umumnya mencari aman di bawah perlindungan Belanda saja.

Buku tersebut bersetting seabad yang lalu. Bahkan di saat negri ini belum terbentuk. Jika dipikir, rasanya mustahil permasalahan yang sama tetap berputar dan menggerogoti sebuah negri dalam jangka waktu seabad. Namun ternyata jika ditilik lebih jauh, berbagai masalah yang terjadi pada saat itu masih juga kita rasakan di masa sekarang. Pemerintahan yang gagal, jauh dari usaha pensejahteraan rakyat. Persatuan, yang harusnya sudah kita dapatkan sejak enam puluh empat tahun yang lalu, nyatanya tidak lebih dari ikatan semu belaka. Tidak ada lagi kebanggaan dari hari kemerdekaan. Sulit membuat suatu simbol persatuan yang dihormati semua kalangan. Lagu kebangsaan tak sanggup, bendera tak mampu, bahkan presiden pun tak bisa menjadi ikon penyatu bangsa. Nasionalisme lambat laun menggerogoti dari dalam, dan bangsa ini pun sakit tanpa ada obatnya.

Berapa lama lagi yang harus kita habiskan untuk menunggu?
Berapa banyak lagi rakyat yang harus menderita dalam penantian itu?
Berapa banyak manusia gagal lagi yang harus duduk di kursi pemerintahan?
Cukupkah 1 abad lagi?
Bisakah lebih cepat?

Jakarta, 6 Oktober 2009
Okki Sutanto
(kangen membaca karya Pram lainnya)

Minggu, 30 Mei 2010

(Cerpen) Ah, Aku Ingat!

AH, AKU INGAT!

Sedari bangun pagi tadi, aku tidak mampu mengingat apa pun tentang kehidupanku. Siapa namaku, apa pekerjaanku, tanggal berapa sekarang, bagaimana aku bisa ada di tempat aku bangun? Aku tidak ingat semua itu. Mungkin ini yang namanya amnesia. Dari tanda pengenal yang kutemukan, namaku adalah Astrid, kelahiran tahun 1990. Dari kalender yang terpampang di sudut kamar, sekarang tanggal 1 April 2009. Untunglah, kemampuan matematikaku tidak ikut sirna dari otak. Aku tahu aku berumur 19 tahun.

Pagi hari kuhabiskan untuk mengacak-acak seisi rumah. Entah mengapa, rumah yang tidak terlalu besar ini tidak ada orang sama sekali. Senyap. Aku enggan keluar rumah terlebih dahulu, tanpa tahu siapa sebenarnya diriku. Tidak terlalu banyak petunjuk yang aku dapatkan. Satu-satunya petunjuk, aku pernah sekolah di "SMA BAHAGIA", terlihat dari seragam yang ada di lemari baju dan beberapa buku di dalam sebuah tas.

Berbekal pengetahuan itu, aku bergegas ke SMA tersebut. Berharap menemukan petunjuk. Entah mengapa aku ingat jalan ke sana, tidak terlalu jauh dari rumah. Sepanjang perjalanan, aku merasakan pandangan aneh dari orang-orang di sekitarku. Rasanya semua orang berusaha mengacuhkanku, tidak menganggap aku ada. Aku sih tak peduli. Anehnya, perasaan diacuhkan terasa begitu familier bagiku.

Sepuluh menit perjalanan, aku tiba di sekolah. Sepi, tidak ada orang. Aku baru ingat saat melihat kalender di kamar, hari ini hari minggu. Pintu gerbang kecil ternyata dibuka, aku memutuskan untuk menyelinap masuk. Kususuri lorong-lorong sekolah, ruang-ruang kelas, perpustakaan, kantin, hingga ruang guru. Potongan-potongan ingatan samar mulai muncul. Aku sekarang yakin sekali dulu aku bersekolah di sini.

Lama aku duduk di pinggiran lapangan sekolah, berusaha sekuat tenaga mengingat masa laluku. Ingatan yang samar itu lama kelamaan makin jelas. Aku ingat, aku dulu seorang murid yang pendiam, tidak suka bergaul, tidak menonjol di bidang apa pun, dan kerap menjadi sasaran olok-olok teman seangkatanku. Apa pun yang aku lakukan untuk mengubah keadaan, rasanya tidak pernah berhasil.

Pada tanggal 1 April 2006, mereka berusaha membuat lelucon. Aku lupa bahwa hari itu semua orang diperbolehkan menipu satu sama lain. Aku disuruh memberikan sebuah kotak bingkisan kepada salah seorang guru, katanya guru tersebut berulang tahun. Aku menurut saja, daripada dipukuli seperti biasa. Ternyata, isi kotak tersebut adalah beberapa keping film porno. Di depan ruang kelas, di hadapan banyak guru lainnya, serta murid-murid yang bersiap untuk tertawa, aku ditampar oleh guru tersebut. Nyatanya, teman-temanku tetap tertawa. Rencana mereka sukses. Ah! Tiba-tiba aku lupa kelanjutan kisah tersebut. Mungkin beban kerja otakku sudah begitu berat, berusaha mengingat banyak hal dalam waktu singkat.

Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah dan kembali ke rumah. Tepat sebelum keluar dari sekolah, aku tiba-tiba ingin buang air. WC terdekat ada di belakang pos satpam. Aku masuk ke sana. WC ini yang paling jorok dari semua WC di sekolah. Bau , banyak kotoran, dan cat dindingnya pun sudah kusam. Hampir tidak ada orang yang menggunakan WC ini.

Hmm, rasanya aku ingat kelanjutan cerita tadi! Sehabis ditampar oleh guruku, aku berlari ke WC ini. Aku menangis, mengurung diri. Lima jam kemudian baru guru-guru menemukanku. Pintu didobrak, aku dikeluarkan dengan bantuan beberapa satpam. Pergelangan tangan kiriku bersimbah darah. Tangan kananku menggenggam pecahan kaca WC. Tubuhku mulai kaku, tak bernyawa. Ah, akhirnya aku ingat! Dulu aku bunuh diri di sini. Kali itu aku sukses. Mereka berhenti tertawa.
----------------------------------------------------------------------

Jakarta, 14 Maret 2010.
Okki Sutanto
(sama sekali tidak berencana bunuh diri) 

Kamis, 27 Mei 2010

Berlayar atau berlabuh?

Ketikan Pinggir hari ini.

Belakangan ini di kampus saya sedang berlangsung acara pemilihan ketua HIMAPSI (Badan Setara BEM Fakultas). Minggu ini, ketiga calon ketua melakukan kampanye. Kampanye ketiganya sangat menarik, masing-masing membawa idealisme yang sungguh mulia. Saya pun yakin, siapa pun yang terpilih akan sanggup memberikan yang terbaik nantinya.

Dalam kampanye salah seorang calon, ada tagline dan kata mutiara berkesan yang digunakan. Meski ini bukan kali pertama saya mendengar kata mutiara tersebut, namun kesan yang ditinggalkan kali ini cukup mendalam. Bunyi kata mutiara tersebut adalah:
"A ship in the harbor is safe, but that's not what ships are built for"

Calon tersebut menjelaskan kata mutiara di atas dengan menganalogikan kapal dengan mahasiswa. Mahasiswa, jika hanya mencari aman dan tidak ingin mengambil resiko dengan mengembangkan potensinya, akan sia-sia seperti kapal yang hanya dilabuhkan saja. saya setuju sekali dengan hal tersebut.

Menggunakan kata mutiara yang sama, saya ingin mencoba melihat dalam konteks yang sedikit lebih besar. Bagi saya, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi mahasiswa saja, tapi juga bagi setiap individu, setiap manusia.

Berada di zona aman, melakukan hal-hal biasa, menghindar dari tantangan dan tanggung jawab, lari dari resiko, memang menjauhkan kita dari bahaya. Namun kita, sebagai manusia, tidak hanya diciptakan untuk terus berada di zona aman. Ada kalanya, kita harus keluar dari zona aman tersebut, dan mengembangkan segala potensi dan talenta yang kita miliki. Cobalah untuk mengambil pengalaman sebanyak-banyaknya, ikutilah berbagai hal yang mungkin sulit untuk dilakukan, namun berpotensi memajukan diri kita.

Mungkin akan sering sekali respons yang keluar adalah:
"Tapi, itu kan berisiko?"
"Kalau saya salah gimana?"
"Kalau nantinya saya malah gagal gimana?"
"Siapa yang menjamin saya enggak bakal kenapa-kenapa?"

Bagi saya, pendapat-pendapat seperti itu udah saatnya masuk museum, klasik! Salah & gagal adalah hal lumrah. Manusia justru belajar dari yang namanya salah dan gagal. Kita jatuh, maka kita berdiri kembali. Kita terjerembab, maka kita bisa bangkit. Kita terluka, maka kita menjadi lebih kuat.

Pada akhirnya, pilihan itu memang tetap berada di tangan individu masing-masing. Mau menjadi manusia yang biasa-biasa saja, melakukan hal biasa-biasa saja, menghasilkan hal yang biasa-biasa saja, dan berakhir tanpa menjadi siapa-siapa? Silahkan-silahkan saja.

Tapi jika kita mau menjadi manusia yang lebih dari sekedar biasa saja, mari kita coba melakukan sesuatu mulai dari sekarang. Cobalah untuk melihat potensi apa yang terdapat di dalam diri kita. Jika sudah, bukalah mata, hati, dan pikiran kita terhadap hal-hal yang bisa mengembangkan potensi kita tersebut. Mulailah melakukan hal-hal yang luar biasa, dan janganlah ragu untuk mengambil resiko! Akhir kata, sampai bertemu ketika kita sudah menjadi 'seseorang'! hehe..


Jakarta, 3 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(berharap besok tidak hujan)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...