Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Senin, 31 Mei 2010

(Cerpen) Aku dan Pak Iman

AKU DAN PAK IMAN

Semua orang yang mengenal Pak Iman, pasti menyukai beliau. Mulai dari murid-muridnya, bekas murid-muridnya, hingga rekan-rekan guru di sekolahnya. Rasanya Pak Iman cocok dijadikan panutan oleh semua orang. Ibarat malaikat, ia tidak memiliki suatu kekurangan apa pun. Pintar, beriman (sebagaimana namanya), jujur, dan segala kata sifat baik-baik lainnya rasanya cocok disematkan untuk beliau. Andai ada pemilihan guru teladan tahun ini, sudah bisa dipastikan Pak Iman juara satunya, juara duanya, dan juara tiganya. Tidak ada saingan.

Hingga kini tidak pernah ada yang menyangkal karisma Pak Iman. Semua orang menghormati dan mengaguminya, begitu pula aku. Kepadanyalah aku bertanya jika kesulitan mengerjakan pe er. Kepadanyalah aku bercerita ketika mengalami kesulitan. Kepadanya juga aku belajar banyak hal. Pak Iman adalah gambaran ideal bagiku dan rekan-rekan seumuranku. Aku ingin menjadi seperti Pak Iman!

Namun semuanya berubah malam itu. Tatkala aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, hal yang mungkin tidak akan pernah kupercaya, tapi mau tak mau kupercaya. Berawal dari pertengkaran kecil dengan istrinya, ia lantas memukul istrinya. Belum puas, ia memukul lagi, menendangi, menjambak, hingga meludahi istrinya. Puncaknya ketika ia mendorong sang istri yang memberikan perlawanan. Tak sengaja, kepala sang istri terbentur sudut meja. Istrinya jatuh, terkapar, lantas tak sadarkan diri, untuk selama-lamanya.

Sejak kejadian itu semuanya berubah. Semua hal baik tentang Pak Iman terhapus dalam sekejap. Dari pujaan jadi hinaan. Ia dipecat, lantas dipenjara. Desas desusnya, Pak Iman mengalami gangguan psikologis berat, justru karena tuntutan yang ia terima dari lingkungannya. Entah apa nama gangguan itu, aku tak peduli. Yang jelas, sejak saat itu Pak Iman bukan ayahku lagi.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jakarta, 11 Maret 2010
Okki Sutanto.
(tidak ada hubungan sama sekali dengan orang bernama Pak Iman)

Tentang "Being Stood Up"

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Tidak mudah mencari padanan kata untuk "Being Stood Up". Kurang lebih: ditelantarkan oleh orang yang sudah berjanji dengan kita. Dua film terakhir yang saya tonton, menceritakan tentang bagaimana "being stood up" bisa berakibat sangat fatal. Dalam film "THE WRESTLER", ketika Randy tidak sengaja lupa janji makan malam dengan putrinya, ia kehilangan kesempatan mendapatkan kasih sayang putrinya kembali. Dalam film "IT'S COMPLICATED", ketika Jake tidak bisa memenuhi janjinya kepada Jane, mantan istrinya, pintu untuk rujuk kembali pun tertutup untuk selamanya.

Mungkin ada pandangan: "Masa iya satu kesalahan saja sebegitu sulitnya termaafkan, dan berakibat sedemikian fatal?" Jawabannya adalah "YA". Coba kita bayangkan, ketika orang yang sangat kita sayangi berjanji akan menemui kita di suatu tempat. Kita berharap sesuatu yang indah akan terjadi. Kita menyiapkan segala sesuatunya. Kita datang ke tempat yang dijanjikan. Satu menit, lima menit, dan satu jam pun berlalu. Orang yang kita nantikan tidak kunjung datang. Sendirian, tercampakkan, terlupakan. Segala pengharapan kita hancur. Percayalah, tidak mudah menghadapinya. Dan ketika orang tersebut dengan polos berkata "Maaf", apa mudah untuk menerimanya? Belum tentu.

Inti dari pengalaman "being-stood-up" di atas adalah membuat orang lain kecewa, karena kita menjanjikan sesuatu yang melebihi kapasitas kita. Randy berjanji untuk meluangkan waktu bagi anaknnya, namun ia lupa keterbatasannya untuk memiliki agenda sehari-hari di tengah kehidupan urakannya. Jake berjanji datang ke rumah Jane, namun ia lupa bahwa ia masih memiliki istri dan anak yang harus diurus di rumahnya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin seringkali kasus-kasus di atas disebabkan karena satu hal: Overcommit. Kita kadang terlalu berkomitmen terhadap berbagai hal, di mana kita belum tentu bisa memenuhi hal tersebut. Kita terlalu yakin pada diri sendiri, untuk bisa melakukan berbagai hal dengan sempurna. Hal ini kerap kali melanda mahasiswa. Di tengah krisis identitas dan minimnya kemampuan menakar diri sendiri, bisa saja seorang mahasiswa berkomitmen terhadap terlalu banyak hal. Organisasi A, Organisasi B, Asisten Dosen C, Asisten Dosen D, Kegiatan E, Kegiatan F, Urusan G, Urusan H, dan lain sebagainya. Seru memang, mengeksplorasi kemampuan diri di berbagai bidang. Tapi kadang kita harus bisa menakar diri sendiri. Dan ketika memperhitungkan kemampuan diri, janganlah secara parsial! Oke saya bisa-bisa saja ikut di organisasi A. Oke saya bisa-bisa saja aktif di kegiatan B. Oke saya fine-fine saja jadi pengurus C. Tapi, apa yakin saya bisa menjalankan kesemuanya sekaligus?

Acap kali kita terlalu menyederhanakan masalah. "Tidak apa saya komit ke berbagai hal, toh kalau keteteran juga saya sendiri yang rugi." Pandangan simplistic ini sering membawa "neraka-dunia" pada orang-orang di sekitar kita. Jangan lupa bahwa kita adalah makhluk sosial, dengan pola interaksi dan ketergantungan yang kompleks dengan sesama kita. Ketika kita alpa / lupa / lalai / tidak bisa melakukan suatu hal yang menjadi tanggung jawab kita, bisa saja kita mengecewakan orang lain sebagaimana kasus "being-stood-up" di atas. Dampaknya fatal.

Mungkin sedari sekarang kita harus mulai memikirkan masalah ini. Kita harus mulai sadar, bahwa sebuah tanggung jawab tidak sekedar memiliki dampak personal, seringkali ia bisa berimbas sosial. Ada baiknya kita ingat kembali kalimat bijak dari film Spiderman: "With great power comes great responsibility". Benar begitu bukan?

Jakarta, 14 Mei 2010
Okki Sutanto
(hanya mengajak ber-refleksi, bukan meragukan, apalagi menuduh orang lain overcommit)

Bangsa Artifisial

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Beberapa tahun belakangan, makin marak tayangan televisi yang mengusung konsep Reality Show. Ada yang mengarah ke investigasi, romantisme, hingga konseling perkara rumah tangga. Menarik memang, biasanya malah jika ada satu acara yang sukses (ratingnya), stasiun televisi lainnya ikut membuat acara serupa. Alhasil, makin banyak acara-acara Reality Show menghiasi layar kaca setiap harinya.

Jujur, saya amat jarang menonton televisi, jadi saya rasanya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari bibit-bebet-bobot berbagai tayangan tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah isu di balik reality show tersebut. Diskusi di milis, forum, dan di berbagai pelosok mengajukan pertanyaan: "Benarkah apa yang ditayangkan di televisi benar-benar kenyataan?". Kerap kali orang sangsi, apa yang mereka saksikan adalah kenyataan. Mereka menduga bahwa berbagai tayangan tersebut tidaklah benar-benar terjadi, hanya sekedar rekayasa. Pernah suatu kali saya membaca tulisan yang dibuat oleh "orang-dalam" televisi, yang menyatakan bahwa memang apa yang ditayangkan itu tidak sepenuhnya realita. Memang ada kasus-kasusnya, tapi yang disajikan di televisi itu hanya reka ulang. Reka ulang pun kerap kali sudah dibumbui dengan dramatisasi yang berlebihan. Intinya: tayangan-tayangan tersebut sebatas artifisial, buatan.

Beralih ke tayangan televisi lainnya, yakni acara musik. Beberapa stasiun televisi menyajikan acara musik yang disiarkan langsung setiap pagi. Ada pembawa acara, ada band yang diundang, ada penonton yang memeriahkan acara. Ternyata, tayangan seperti ini pun hanyalah artifisial belaka. Band yang menyanyi hanya memutar rekaman yang sudah dibuat sebelumnya. Lebih parah lagi, penonton-penontonnya pun artifisial juga! Di salah satu surat kabar, saya pernah membaca liputan, bahwa orang-orang yang menonton acara televisi tersebut, memeriahi panggung, berteriak-teriak, semuanya bukan sungguhan. Mereka bukan fans dari band / penyanyi yang diundang, tapi mereka adalah penonton-penonton "bayaran", yang dari hari ke hari berpindah-pindah lokasi "syuting". Bahkan kegiatan mereka pun sudah terorganisir dengan baik, ada makelar / manager yang memberikan order. Makelar inilah yang dihubungi oleh penyelenggara acara. Mereka tinggal menerima telepon massa, lantas penonton pun berangkat ke lokasi "syuting". Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan 100-200 massa setiap harinya, dan memiliki "katalog" massa yang bisa disesuaikan dengan acaranya, mau yang muda, tua, rapih, rusuh, ada semua.

Nah, semalam di salah satu stasiun televisi, saya menyaksikan lagi bisnis makelar manusia. Kali ini, lingkupnya bukan penonton acara musik lagi. Kali ini adalah pendemo. Ya, pendemo! Yang melakukan aksi unjuk rasa, berteriak-teriak di bundaran H.I, di gedung MPR DPR, di sekitar Monas, dan lain sebagainya. Massa tersebut juga ternyata memiliki makelar yang mengkoordinir. Para "oknum" / "dalang" / "biang" yang memiliki kepentingan politis untuk mengadakan demonstrasi tinggal menghubungi makelar tersebut. Bayaran per pendemo berkisar antara 10-15ribu. Bayaran ini bisa meningkat, tergantung tingkat aksi yang di-pesan. Jika aksi damai, bayaran murah. Jika aksi agak rusuh, seperti menggoyang-goyangkan pagar, lebih mahal. Mau aksi anarkis, bayaran paling mahal, bisa mencapai 50ribu per pendemo. Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan ratusan hingga ribuan massa. Dalam sekali aksi, mereka mendapatkan bayaran 30-50juta, belum termasuk biaya akomodasi bagi pendemo. Keuntungan sang makelar per event kurang lebih hanya 10-15% saja. Sisanya untuk membiayai aksi demo.

Menilik berbagai uraian di atas, menarik bukan tren kehidupan artifisial di Indonesia? Entah sejak kapan, makin banyak hal-hal yang tidak asli, hanya tiruan saja, di negeri ini. Entah sampai kapan, bangsa ini mau menjadi bangsa artifisial. Menonton televisi, isinya reality show "buatan". Mau nonton konser musik, isinya penonton "buatan". Melihat demo di jalanan, ternyata pendemonya pun "buatan". Wah, makin lama makin susah membedakan mana yang asli dan mana yang buatan. Jangan-jangan, presiden saya juga buatan doang? Hahahaha.. Semoga saja tidak.

Jakarta, 11 Februari 2010
Okki Sutanto
(mulai ragu otak-nya buatan atau aseli)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...