Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Minggu, 20 Juni 2010

(Cerpen) Andai Gelas Itu Tidak Tumpah






Andai Gelas Itu Tidak Tumpah. 
Jika Andre tidak menumpahkan gelas ke kemeja Bob, mungkin Bob tidak perlu mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum ke kantor. Mungkin Bob juga tidak perlu ngebut agar tiba tepat waktu di kantor. Apa daya, karena telat Bob mengebut tanpa mempedulikan keselamatan pengendara lain. Hal ini membuat Charlie kesal, dan ikut terpancing untuk ngebut juga. Tidak sengaja, mobil Charlie menyerempet motor Dhani. Tidak parah memang, tapi cukup untuk membuat Dhani telat mengantarkan barang ke klien hari itu: Evan.

Evan pun marah, karena paket barang yang harusnya ia terima pukul 11, molor menjadi pukul 12. Ia jadi harus merombak ulang jadwal pengiriman barang tersebut ke pembeli-pembeli lainnya. Saking sibuknya, Evan lupa untuk menjemput anaknya, Fina, yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Fina terpaksa bermain sendiri setelah jam sekolah berakhir. Bu Ghea, yang melihat hal tersebut, memutuskan untuk menemani Fina sampai ia dijemput. Akhirnya pukul 2 Fina baru dijemput. Bu Ghea pun baru bergegas pulang ke rumahnya, naik kendaraan umum.

Andai Bu Ghea tidak naik metromini pukul 3, mungkin ia tidak harus bertemu dengan Herman, sang pencopet. Namun tepat sebelum Herman turun dari metromini, Bu Ghea sadar dompetnya sudah dicopet, hingga ia meneriakkan copet ke arah Herman. Herman pun panik, tapi ia berhasil kabur karena di samping metromini kawannya sudah menunggu dengan sepeda motor. Untunglah Ismet, seorang polisi, kebetulan sedang berpatroli. Adegan kejar-kejaran antara copet dan polisi itu pun tidak terelakkan. Kemacetan terjadi karena banyak yang ingin melihat kejadian seru tersebut. Banyak yang merasa kejadian itu menarik, kecuali James, yang hanya bisa menyumpah serapahi kemacetan yang di sore hari itu. Meeting penting bersama klien pukul 5 pun tidak bisa ia tepati. Seluruh persiapan yang sudah dibuatnya menjadi sia-sia.

Di saat yang tidak pas itu, istrinya menelepon, sekadar untuk menanyakan kabar. James tanpa berpikir panjang melampiaskan kekesalannya ke sang istri. Ia membawa-bawa segala urusan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kegagalannya bertemu dengan klien. Karina, sang istri, sangat terpukul. Ia pun menelepon Lina, anaknya, untuk cepat-cepat pulang ke rumah dan menemaninya. Lina yang bisa merasakan kesedihan ibunya, langsung memutuskan untuk pulang dari rumah Mentari, sahabatnya.

Mentari, yang sebelumnya berencana ke toko buku bersama Lina, akhirnya minta diantar oleh kakaknya, Nando. Nando pun mengiyakan permintaan adiknya tersebut. Mana ia sangka di saat yang sama, Oktavia, sang pacar, minta ditemani ke mal. Nando pun dengan halus menolak ajakan tersebut. Oktavia marah, ia merasa Nando selalu saja beralasan dan tidak pernah perhatian padanya. Ia memutuskan telepon, lalu menangis di kamar. Ia tidak memberi makan Pingki, kucing liar yang suka tidur di depan pagar rumahnya. Pingki pun mencari makan di tempat sampah, di mana seekor kucing liar lainnya juga sedang mencari makan, sebutlah kucing liar tak bernama itu: "Q". Pingki dan Q berebut makanan, mereka pun saling cakar. Risa, anak kecil yang kebetulan melihat kejadian tersebut, mencoba menyiram keduanya dengan air agar tidak berantem. Kedua kucing tersebut kaget dan menyakar tangan Risa.

Risa pulang ke rumah dengan tangan berdarah. Ia langsung menelepon Ibunya, Safiah, yang sedang lembur di pabrik. Ibunya panik mendengar anak kesayangannya itu menangis. Safiah langsung memutuskan untuk pulang. Ia lupa mematikan panel listrik di bagian Pengepakan. Padahal kapasitas listrik di pabrik itu terbatas, sehingga masing-masing bagian harus bergantian memakainya. Saat Taksono, pegawai bagian Produksi menyalakan panel listrik, terjadilah korsleting. Kebetulan, api bermula di sekitar gudang. Kebetulan pula, saat itu banyak material mudah terbakar sedang disimpan di gudang. Dalam waktu 1 jam, pabrik tersebut ludes dimakan si jago merah. Safiah sama sekali tidak sadar bahwa ia yang menyebabkan itu semua. Ia justru merasa beruntung, sedang tidak di pabrik saat kejadian itu terjadi. Ia menganggap Risa telah menyelamatkan nyawanya. 

Safiah tidak perlu memikirkan kerugian yang ditanggung pabriknya. Ia tak perlu memikirkan nasib puluhan karyawan yang meninggal karena kebakaran tersebut. Mungkin memang itu bukan salah Safiah. Mungkin kejadian ini memang sudah ditakdirkan.

Atau, mungkin juga tidak. Tiada yang tahu.

Yang jelas, Andai saja Andre tidak menumpahkan gelas pagi ini, kebakaran malam ini belum tentu terjadi.

Jakarta, 20 Juni 2010
Okki Sutanto
(sedikit banyak terinspirasi dari film Benjamin Button)

Selasa, 15 Juni 2010

(Cerpen) Suatu Sore di Sebuah Kafe

Suatu Sore di Sebuah Kafe.



Siang baru saja beranjak. Kafe itu sepi, hanya ada dua atau tiga meja yang terisi. Sudah setengah jam aku duduk, ditemani sebungkus rokok. Asbak di mejaku sudah kotor, setidaknya lima puntung sudah berguguran di sana. Memang, aku janji bertemu dengan seseorang di sini jam 5. Tapi sudah jadi kebiasaanku untuk datang setengah jam lebih awal, terlebih di pertemuan sepenting ini.

Tepat pukul 5 ia datang. Tanpa banyak berbicara, ia langsung duduk di hadapanku. Sapaan ringan yang dulu selalu ada, kini tiada lagi. Dalam sekejap suasana berubah. Udara mulai terasa berat. Aku paksakan menebarkan senyum, meski nyatanya tak banyak berguna. Kuputuskan untuk menunggu saja, toh ia yang merencanakan pertemuan ini, setelah sekian lama.

Selasa, 08 Juni 2010

(Cerpen) Bening dan Bulan

Bening dan Bulan

Meski dengan cahaya pinjaman, bulan selalu ikhlas menjalankan pekerjaannya saban malam. Ia yang paling tahu betapa malam bisa menyiksa. Ia yang paling sadar seberapa sengsaranya gelap. Mungkin karena itu pula, malam ini Bulan tetap bersemangat menerangi dunia. Menerangi malam seorang gadis kecil di bawah sana, yang sedari tadi melamun ke arahnya.

Bening menopangkan dagu di jendela kamarnya. Lampu kamarnya sengaja ia matikan, biar ia bisa lebih menikmati cahaya bulan yang sedang ia pandangi. Lampu-lampu lain di rumahnya menyala terang, meski tidak tampak ada aktivitas apa pun di rumah itu. Tak lama, lamunannya terhenti karena suara deru mesin mobil. Ayah pulang. Bening pun berlari keluar rumah menyambut ayah.

"Kok ayah pulang malam sekali sih?"

"Iya, tadi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi tidak bisa ayah tinggal. Bening kenapa belum tidur?"

"Sedang tidak bisa tidur, sekalian saja menunggu ayah pulang"

"Wah.. Anak baik. Tolong bawakan tas ayah ke ruang kerja ya, ayah mau makan dulu. Bening sudah makan kan?"

"Sudah kok. Oke yah, sini Bening bawakan."

Bening pun berlari riang ke ruang kerja ayahnya. Ini dia yang ia nantikan, sedikit kehangatan bersama ayah. Sedikit kebersamaan bersama orangtua. Sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah, otomatis kehangatan semacam itu hanya menjadi mimpi di siang bolong saja bagi Bening. Untungnya, mimpi itu kadang bisa ia lamunkan. Bisa ia imajinasikan.

Terlebih ketika melihat teman-teman di sekolahnya selalu diantar jemput oleh orangtua masing-masing, berlibur bersama setiap akhir pekan. Ini yang membuat Bening semakin sering melamun, baik di rumah maupun di sekolah. Juga sepanjang jarak di antara kedua tempat itu. Jarak yang bisa ditempuh hanya dalam lima belas menit berjalan kaki. Jarak yang seharusnya tidak melelahkan. Tapi setiap hari harus Bening tempuh, sendirian. Dan nyatanya itu sangat menyiksa.

Tadi siang, Guru Bahasa Indonesia memberikan semua murid sebuah buku dongeng. Buku itu harus dibaca, untuk kemudian masing-masing menceritakan ulang di depan kelas. Bening pun mendapat satu buku. Buku ini yang kemudian ingin ia jadikan alasan untuk menghabiskan waktu bersama ayahnya: Dongeng sebelum tidur. Untuk itulah Bening sengaja menunggu ayahnya pulang. Sehabis makan malam, Bening akan meminta ayahnya membacakan buku itu untuk mengantarkan Bening tidur.

Sebenarnya ia sendiri belum yakin ayahnya akan mengiyakan. Ajakan piknik, ajakan ke taman hiburan, ajakan ke toko buku, hingga permintaan untuk dijemput di sekolah, selalu saja ditolak dengan halus oleh ayah. "Rumah sakit ayah kekurangan dokter, sehingga banyak sekali pasien yang harus diperhatikan oleh ayah. Ayah belum bisa mencari waktu kosong. Bening sabar ya. Ini semua ayah lakukan demi Bening. Bening bisa mengerti kan?" Rasanya, kalimat itu sedemikian akrabnya di telinga Bening. Seakan terhipnotis, Bening selalu saja mengangguk selepas kalimat itu ayah katakan. Anggukan tanpa tenaga, tapi penuh kegetiran.

Meski begitu, kali ini Bening berharap banyak. Hanya sepuluh menit. Sekedar membacakan dongeng dari samping ranjang. Sekejap saja, kebersamaan antara ayah dan anak. Di mana ruang dan waktu hanya milik mereka berdua. Tanpa harus ada telepon, sms, atau apa pun yang memaksa ayahnya menduakan Bening dengan pekerjaan. Titik. Apakah mimpi Bening terlalu tinggi? Entahlah.

Bening membuka pintu ruang kerja ayahnya. Ia meletakkan tas ayahnya di meja. Sejurus kemudian ia melesat turun ke kamarnya, mengambil buku dongeng. Lalu ia pergi ke ruang makan. Duduk. Ia menemukan secarik kertas di tengah meja: "Bening, barusan ada telepon dari rumah sakit. Ada pasien darurat. Ayah harus ke rumah sakit. Kamu tidur saja ya, sudah malam. Sampai jumpa besok. Salam sayang, Ayah."

Bening bisa merasakan betapa terburu-burunya ayah saat menulis catatan itu. Bening bisa memahami ayah. Dengan langkah gontai, Bening kembali ke kamarnya. Ia kembali melamun di jendela kamarnya, sembari menatap bulan. Dalam hatinya Bening berharap bulan bisa menggantikan ayahnya membacakan buku untuknya. Dalam hatinya Bening bertanya, "Bulan mau kan?"

Bulan bisa mendengar harapan Bening. Namun bulan tidak bisa menjawabnya dengan kata-kata. Bulan hanya bisa bersedih. Kesedihannya ia tularkan pada kawan-kawannya. Langit menangis. Bintang sesenggukan. Angin pun meraung pilu. Tapi semuanya hanya penyanyi latar. Rintihan hati Bening tetap penyanyi utamanya. Dari balik selimut, tanpa suara...


Jakarta, 8 Juni 2010
Okki Sutanto
(ikut menjadi penyanyi latar)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...