Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Sabtu, 30 April 2011

World Book Day Koq gitu? hahaha..


Catatan Pribadi.
#Tulisan keduabelas, hari kesebelas

Sampai pagi ini, saya masih antusias pergi ke acara World Book Day 2011 yang diselenggarakan oleh Forum Indonesia Membaca di Museum Bank Mandiri, Kota. Memang dari beberapa hari sebelumnya saya dan beberapa teman saya berencana pergi bareng ke acara ini. Mengapa? Well, dari namanya saja  kami sudah kepincut. World Book Day bo! Acara tahunan. Langsung di otak kami ada bayangan: lautan buku, bazar buku, buku murah! Waw. Harus datang!

Nyatanya apa yang ada di kepala saya dan teman-teman saya runtuh seketika, saat saya sampai di lokasi acara. Tidak ada apa-apa di sana kecuali pameran sederhana "100 Ilustrasi Buku Anak". Di mana dipajang cover buku anak, berisi keterangan mengenai ilustratornya. Tidak ada tumpukan buku yang dijual. Tidak ada buku asing. Tidak ada penjual. Juga (nyaris) tidak ada pengunjung.

Rupanya kami tertipu dua hal. Pertama mengenai konsep "pameran". Ketika mendengar kata pameran, dan berkaitan dengan buku, otak kami langsung membayangkan suasana book fair pada umumnya. Nyatanya, pameran yang dimaksud lebih mirip ke pameran foto atau lukisan. Kedua adalah mengenai tanggal pelaksanaan kegiatan. Ketika dituliskan bahwa acara ini berlangsung 23 April - 17 Mei 2011, kami menganggap setiap harinya akan ada acara menarik yang digelar di World Book Day. Nyatanya lagi-lagi kami salah. Kegiatan menarik selain pameran ilustrasi buku anak tersebut, ternyata hanya ada di dua hari pertama (23-24 April lalu) dan lima hari terakhir (13-17 Mei nanti). Di jeda antara pembukaan dan penutupan, ya praktis tidak ada acara apa-apa.

Yah, untunglah tadi saya datang lebih dulu ke sana, sehingga saya bisa langsung mengabari teman-teman saya lainnya untuk tidak perlu datang ke lokasi acara, daripada ikut-ikutan menyesal seperti saya. Sebenarnya, dikatakan "tertipu" pun rasanya kurang tepat. Jika pun benar, maka kami tertipu oleh skema otak dan asumsi kami sendiri! hahaha.

Yasudah, mumpung saya sudah berada di Museum Bank Mandiri, akhirnya saya memutuskan berkeliling dan mampir ke perpustakaannya. Untunglah perpustakaannya buka. Meski koleksi bukunya tidak terlalu banyak (hanya sekitar 2000an buku, dalam perkiraan saya), koleksinya cukup menarik! Saya sempat membaca beberapa buku di sana, dan sudah mencatat beberapa judul buku untuk nantinya saya beli dan koleksi. hehe.

Begitulah perjalanan saya hari ini ke World Book Day. Hari ini saya belajar dua hal. Pertama, untuk meminimalkan asumsi dan bertanya sejelas mungkin ke panitia, sebelum datang ke sebuah acara. Jelas-jelas di websitenya sudah dicantumkan kontak yang bisa dihubungi, mulai dari e-mail, nomor telepon, nomor handphone, hingga akun facebook dan twitter dari acara tersebut. Andai saya bertanya lebih dahulu, mungkin saya tidak perlu terkecewakan oleh asumsi saya sendiri. Pelajaran kedua adalah untuk membiasakan diri menikmati kesalahan / kegagalan. Jika saya langsung pulang di saat saya kecewa oleh isi pamerannya, mungkin saya tidak akan pernah tahu apa isi Museum Bank Mandiri, terlebih perpustakaannya.

Ya. Ya. Ya. Lagi-lagi pepatah lama masih saja mujarab: Malu Bertanya Sesat Di Jalan! hehehe.. Sekian laporan saya hari ini. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya.


Jakarta, 30 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(masih berniat datang ke penutupan World Book Day 2011)




LAMPIRAN!

Pameran "100 Ilustrasi Buku Anak"
Keterangan di bawah ilustrasi buku yang ditampilkan.

Perpustakaannya.

Buku Menarik, Kumpulan Cerpen sepanjang 55 kata

Salah satu cerpennya
Buku menarik lainnya
Kumpulan buku menarik GM

Jumat, 29 April 2011

Perlukah sosok "ke-kakak-an"?

Catatan Pribadi.
#Tulisan kesebelas, hari kesepuluh.

Ada yang masih ingat nama Dominic Purcell? Aktor kelahiran Inggris ini berperan sebagai Lincoln Burrows di serial televisi Prison Break. Saya masih ingat aksinya bersama Wentworth Miller di serial tersebut. Di mana mereka berdua menjadi sepasang kakak-beradik yang berjuang melarikan diri dari penjara. Ia dengan sangat baik memerankan sang kakak. Belum lama ini, saya menonton film Creek dan ternyata ia memainkan film tersebut, lagi-lagi menjadi seorang kakak.

Entah mengapa, saya sangat menangkap sosok "ke-kakak-an" yang diperankan oleh Dominic dalam dua kesempatan tersebut. Jujur saya tak bisa menjabarkan dengan mendetil, apa yang saya maksud dengan sosok "kekakakan" tersebut. Melindungi adikkah? Menjadi contoh yang baikkah? Mengorbankan dirikah? Entahlah. Lantas saya merefleksikan, mengapa ya selama ini kita tidak akrab dengan istilah "kekakakan"? Apa karena tidak enak diketik dan dilafalkan? Rasanya tidak. Atau karena tidak semua orang akan menjadi seorang kakak? Rasanya tidak juga.

Kita sering sekali terekspos dengan kalimat:
"Wah, dia keibuan sekali.", atau "Dia kebapakan ya?"
Tapi pernahkah kita mendengar kalimat serupa untuk sosok "kekakakan"? Saya sendiri tidak pernah.

Padahal, dengan adanya sosok keibuan dan kebapakan, kita jadi bisa memiliki gambaran ideal di benak kita. Kita juga jadi bisa punya pegangan, jika suatu saat nanti kita menjadi seorang ibu atau ayah. Meski istilah keibuan dan kebapakan kadang mengandung stereotip yang tak selalu benar, tetap saja bagi saya istilah tersebut bisa membentuk suatu skema di otak. Dan itu penting.

Bisa jadi karena kenihilan sosok "kekakakan" tersebut, jutaan kakak di dunia ini bingung, bagaimana sebaiknya mereka bersikap terhadap adik mereka. Terhadap orangtua mereka. Terhadap keluarga mereka. Padahal, jelas seorang kakak dilahirkan dengan tanggung jawabnya sendiri, meski tak selalu berarti lebih besar. Atau memang lebih baik tak perlu ada konvensi tentang sosok "kekakakan", sehingga masing-masing kakak bisa mengembangkan gayanya sendiri? Sehingga kosakata "kakak" tidak perlu dinodai oleh stereotip semu yang dangkal, sebagaimana yang sudah dialami kosakata "istri"?

Entahlah. Untuk apa juga saya repotkan?
Toh sudah lama saya tidak lagi menjabat seorang kakak. hehehe.


Jakarta, 29 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
(kekakakan-kah saya? Atau kebapakan? Atau justru keibuan? hehehehe)

Kamis, 28 April 2011

Ketika Akhirat pun Outsourcing

Cerpen.
#Tulisan kesepuluh, hari kesembilan.
(Pengantar: dibutuhkan latar belakang Psikologi yang kuat untuk memahami cerpen ini)

Alkisah, dunia akhirat kelabakan. Ujung tombak operasional mereka, Pengadilan Terakhir, keteteran menghadapi arwah-arwah yang mengantri minta diadili. Setiap hari makin banyak orang yang meninggal, sementara divisi Sumber Daya Malaikat (SDM) belum membuka lowongan bagi malaikat pengadil baru. Chaos! Kini satu malaikat pengadil bisa melakukan FGD sekaligus ke 10 arwah. Lantas dalam satu jam verbatim sudah harus diketik, data sudah harus dikoding, disusul analisis dan kesimpulan: "masuk mana arwah-arwah tadi, surga atau neraka?"

Manajer SDM pun mengambil kebijakan sensasional: outsourcing! Kebetulan belum lama ini segelintir penghuni surga mendirikan Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Meski mahal, tapi tetap lebih efektif dibanding merekrut malaikat pengadil baru dan mengirim mereka ke berbagai training dan workshop, sebelum akhirnya menjadi tenaga siap pakai. Kesepakatan pun dihasilkan: "Mulai besok, semua proses pengadilan terakhir & penentuan nasib para arwah menjadi tanggung jawab BPP"

Perdebatan hebat terjadi di internal Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Pendekatan mana yang harus dipilih? Kuantitatif, atau kualitatif? Karena keterbatasan waktu, akhirnya mereka memilih kuantitatif. Masing-masing arwah diminta mengerjakan Tes Kesucian Dasar. Ada lima domain dan tiga puluh indikator di dalamnya, yang secara keseluruhan ingin mengukur tingkat kesucian seseorang. Expert judgment dilakukan ke tiga tokoh yang dianggap sangat suci: Bunda Teresa, Paus Yohanes Paulus II, dan Gandhi. Uji validitas lolos. Uji reliabilitas pun lolos setelah menghilangkan beberapa item yang dirasa memiliki derajat kesulitan terlalu tinggi: 0.1.

Alat tes diadministrasikan klasikal, langsung ke seratus arwah sekaligus. Cukup menghemat waktu, antrian arwah semakin cepat dipangkas. Setelah hasil tes diskoring, keseratus arwah diurutkan dari yang skornya terendah ke tertinggi. Permasalahan pun muncul: norma belum ada. Tidak ada cutting point yang jelas. Mereka yang skornya 70 ke atas bisa langsung dikirim ke surga. Mereka yang skornya di bawah 30 dikirim ke neraka. Lantas, bagaimana dengan mereka yang berada di tengah kurva normal, antara Z-Score -0.5 dan +0.5? Apa yang membedakan mereka yang ada di persentil 49 dan persentil 51? Mengapa skor setipis itu bisa membedakan nasib mereka ke depannya? Perbedaan pendapat pun tidak terselesaikan. Pendekatan kuantitatif gagal.

Dalam waktu singkat mereka beralih ke pendekatan kualitatif. Panduan FGD disusun, sekaligus manual berisi rating dan cara penilaian. Dalam melakukan FGD, tiga praktisi BPP menghadapi sepuluh arwah. Setelah FGD selesai, mereka melakukan kalibrasi untuk menguji inter-rater validity. Boom! Masalah baru muncul: definisi teoritis mereka tentang kesucian berbeda, sesuai aliran mereka. Ada yang beraliran humanis, ada yang behaviorisme, ada yang psikodinamis. Perbedaan standar tidak terjembatani. Pendekatan kualitatif bubar jalan.

Setelah kurang lebih seminggu tidak menemukan solusi, Guru Besar di BPP pun memberi usul untuk menggunakan kedua pendekatan sekaligus, kuantitatif, dan kualitatif. Skor di kedua tes dianalisa dan diukur pengaruh multivariatnya. Dengan bantuan aplikasi Lisrel versi terbaru, analisis dimudahkan. Data dimasukkan, lantas hasil keluar. SURGA. NERAKA. SURGA. NERAKA.

Semua berjalan cukup lancar, hingga suatu saat ada "kecelakaan". Seorang yang sudah dinyatakan gagal ditolak ke neraka, baik oleh pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, malah dimasukkan ke surga oleh Dewan Agung Pengadilan Terakhir. Praktisi BPP gerah. Mereka merasa kerja keras mereka tidak dihargai. Setelah dikonfirmasi ke Dewan Agung, ternyata orang tersebut memang semasa hidupnya adalah pendosa berat. Namun, tepat sebelum kematiannya, orang tersebut menyatakan bertobat. Hal itu membuatnya pantas dimasukkan ke surga. Praktisi BPP tetap tak terima. Debat runcing tak terelakkan. Kerja sama berakhir. Izin praktik BPP pun dicabut oleh Dewan Agung.

Setahun ternyata cukup untuk membuat BPP berbenah diri. Setelah sekitar setahun vakum dari surga, mereka membuka kantor baru di neraka. Kini fokus mereka tidak lagi ke pengukuran, melainkan ke konseling dan bimbingan arwah. Mereka yakin, arwah pun memiliki kesempatan yang sama untuk berubah dan menjadi lebih baik. Mereka mulai mendekati arwah-arwah jahat, dan menyadarkan mereka, satu per satu. Setelah penuh perjuangan, usaha mereka terdengar hingga ke telinga orang nomor satu di dunia akhirat. Terkesima dengan usaha mereka, sang presiden dunia akhirat mengeluarkan dekrit: "Semua penghuni neraka yang sudah mengikuti program konseling selama setahun dan menunjukkan perubahan perilaku menjadi lebih baik, berkesempatan dipindahkan ke surga.". Satu per satu penghuni neraka pun termutasi ke surga.

Tak lama kemudian, neraka bangkrut. BPP semakin dikenal dan diakui jasanya. Kantor cabangnya semakin banyak, hingga ke bumi. Karena mereka yakin, pada dasarnya setiap orang memiliki kualitas personal yang baik dalam diri masing-masing. Yang membedakan hanya lingkungan tempat mereka dibesarkan, agama tempat mereka disangkarkan, dan sederet faktor situasional lainnya. Maka tak adil rasanya mengevaluasi mereka di Pengadilan Terakhir dengan mengacuhkan peranan faktor situasional. Sekali lagi, mereka yakin setiap orang itu pada dasarnya baik. Setiap orang bisa menjadi baik. Hanya saja kita kerap tidak menyadarinya. Juga enggan disadarkan.


Jakarta, 28 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
(beneran berencana buka BPP di neraka)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...