Ketikan Pinggir Hari Ini.
Kemarin saya membaca sebuah artikel di harian KOMPAS yang agak menggelikan. Gedung putih mengadakan sebuah pesta dan mengundang para diplomat. Namun, terjadi sedikit kekacauan. Beberapa Duta Besar justru dilarang memasuki area Gedung Putih. Alasannya: tidak lolos prosedur protokoler. Ketika ditelusuri, ternyata permasalahannya sangat sepele. Informasi pada kartu tanda pengenal para Duta Besar tersebut tidak sesuai standar. Seharusnya, tanggal lahir yang tertera berdasarkan urutan bulan - tanggal - tahun, tapi beberapa Duta Besar menuliskannya dengan urutan tanggal - bulan - tahun. Alhasil, mereka tidak mendapat ijin masuk ke gedung putih. Beberapa dari mereka pun kecewa karena merasa tidak dihargai. Sedikit ironis memang, mengingat sebenarnya pesta tersebut diselenggarakan untuk menghormati para diplomat.
Kisah di atas agak menggelitik. Kita bisa melihat bagaimana prosedur, yang seharusnya dibuat untuk memudahkan, justru jadi menyulitkan. Esensi dan tujuan utama dari suatu aktivitas pun tidak tercapai hanya karena urusan sepele. Ironisnya, saat ini hampir semua organisasi menyanjung tinggi prosedur dan standar baku. Semua organisasi, semua perusahaan, berlomba-lomba mendapat sertifikasi ISO. Semakin terstandar, semakin menunjukkan kualitas. Semakin rapih dan panjang alur birokrasi, semakin hebat. Apa iya?
Tidak dapat dipungkiri, adanya suatu prosedur dan standar baku akan memudahkan banyak hal. Kesalahan bisa diminimalisir. Jika pun terjadi, maka kesalahan bisa ditelusuri penyebabnya. Lalu, apa salahnya dengan menerapkan standar dan prosedur yang ketat? Bagus dong? Belum tentu. Tidak mudah melakukan hal tersebut. Dengan mengetatkan prosedur dan standar, banyak perubahan yang harus dilakukan. Butuh banyak sekali persiapan. Mulai dari tujuan yang jelas, sosialisasi yang gencar, serta mekanisme yang baik. Kesemua hal tersebut haruslah dikelola dengan baik. Jika tidak, maka yang terjadi bukanlah kerapihan sistem, tapi kekacauan. Patut disayangkan hal ini belum dipahami sepenuhnya oleh para pihak berkepentingan. Seringkali menerapkan prosedur dan standar dianggap semudah membalikkan telapak tangan. Tujuan tidak dipahami seutuhnya. Tujuan juga tidak disosialisasikan dengan baik. Terlebih, mekanisme persiapan pun belum memadai. Alhasil, semua usaha penerapan standar dan prosedur pun terkesan sekedar make-up. Yang penting terlihat bagus dari kertas-kertas yang tersusun rapih, tidak peduli bagaimana cara dan prosesnya.
Sayangnya, kita tidak selalu bisa memilih. Kadang suatu sistem yang lebih besar dari kita memilih untuk mengetatkan prosedur. Bisa lembaga pendidikan, bisa organisasi, bisa juga negara. Yang bisa kita lakukan hanya mempersiapkan diri. Jangan lagi membiasakan diri bertingkah seenaknya. Bisa jadi, nanti, sebelum menguap pun kita butuh mengisi suatu formulir khusus. Bisa jadi. Semoga tidak.
Jakarta, 10 Oktober 2010
Okki Sutanto
(sudah menguap beberapa kali)
Referensi:
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/0351020/30.dubes.dilarang..masuk.
Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D
Minggu, 10 Oktober 2010
Sabtu, 09 Oktober 2010
Oke Deh Saya Ngaku
Dua minggu belakangan, sering sekali saya mendengar kalimat berikut:
"Ki, gemukan ya? Naik berapa kilo?".
Awalnya, ketika masih satu-dua orang saja yang berkata begitu, saya acuh. Saya cuma menjawab:
"Ah, perasaan lu doank kali."
Tapi ketika sudah lebih dari lima orang mengatakan hal serupa, mau tak mau saya berpikir.
Bukti statistik yang ditunjukkan oleh teknologi canggih bernama timbangan pun ternyata memverifikasi hipotesis teman saya tersebut.
Oke deh, saya ngaku berat saya bertambah.
Saya sadar, belakangan ini kebanyakan aktivitas saya harus dilakukan di depan komputer, berjam-jam, minim gerakan.
Olahraga pun sudah jarang sekali.
Walau saya bukan orang yang segitu pedulinya terhadap penampilan, tapi kalo sampai dibiarkan dan saya makin menggendut, rasanya tidak baik juga untuk kesehatan.
Saya tidak ingin sampai disarankan mengikuti program THE BIGGEST LOSERS.
Tidaaaaaaaaaaaaaaak! *oke, ini lebai*
Akhirnya saya berkaul, setiap pagi saya akan berolahraga. Entah bersepeda, entah joging, apa pun. Harapannya saya bisa menurunkan berat dan hidup sedikit lebih sehat. Persiapan pun dirancang. Rute bersepeda sudah ditentukan. Jam weker sudah diatur untuk berbunyi pukul 4.30. Jam tidur pun sedikit dimajukan agar kualitas & kuantitas tidur tidak berkurang.
Esoknya saya terbangun oleh jam weker. Dengan setengah malas saya berganti pakaian, cuci muka, dan bersiap olahraga. Tapi saya baru ingat bahwa saking lamanya sepeda tidak dipakai, bannya pun kempes. Oke, jam segitu belum ada tukang tambal ban yang buka. Opsi untuk naik sepeda pun dicoret. Pilihan berikutnya: Joging.
Baru saja saya bersiap untuk joging, tiba-tiba Ibu saya memanggil. Rupanya beliau sudah bangun juga. Panggilannya ternyata mengubah hidup saya selama hari itu. Dulu, saya sering bangun pagi untuk mengantarkan Ibu saya ke pasar, baik untuk belanja maupun sekedar cari sarapan. Belakangan, karena banyaknya hal yang harus saya lakukan sampai larut malam dan tidak bisa bangun pagi, saya tidak pernah lagi melakukan aktivitas tersebut.
Nah, karena melihat saya sudah bangun pagi, Ibu saya mengajak untuk pergi cari sarapan bareng.
Perang batin pun melanda. Lebih dahsyat daripada perang di Ampera maupun di Tarakan.
Antara berolahraga untuk menurunkan berat badan, atau mengantarkan Ibu saya pergi cari sarapan.
Pilih mana ya? Hmmm... Saya pun berkontemplasi dan berpikir keras.
L...
O........
A..............
D....................
I...........................
N.............................
G...................................
Akhirnya keputusan diambil.
Saya memilih untuk berbakti pada orangtua.
Karena saya sayang Ibu dan Ayah saya.
Juga sayang pada nasi uduk + telor cabe + bihun + bakso goreng terenak yang pernah saya makan pukul enam pagi.
Hari itu juga, di kampus, lagi-lagi ada yang bertanya: "Ki, naik berapa kilo?"
Ah, sudahlah. Mungkin belum saatnya. Teriak batin saya. Saya hanya bisa mengembangkan senyum.
Catatan Pribadi.
Okki Sutanto, 9 Oktober 2010.
(Tiga hari belakangan sukses berolahraga di pagi hari!!)
"Ki, gemukan ya? Naik berapa kilo?".
Awalnya, ketika masih satu-dua orang saja yang berkata begitu, saya acuh. Saya cuma menjawab:
"Ah, perasaan lu doank kali."
Tapi ketika sudah lebih dari lima orang mengatakan hal serupa, mau tak mau saya berpikir.
Bukti statistik yang ditunjukkan oleh teknologi canggih bernama timbangan pun ternyata memverifikasi hipotesis teman saya tersebut.
Oke deh, saya ngaku berat saya bertambah.
Saya sadar, belakangan ini kebanyakan aktivitas saya harus dilakukan di depan komputer, berjam-jam, minim gerakan.
Olahraga pun sudah jarang sekali.
Walau saya bukan orang yang segitu pedulinya terhadap penampilan, tapi kalo sampai dibiarkan dan saya makin menggendut, rasanya tidak baik juga untuk kesehatan.
Saya tidak ingin sampai disarankan mengikuti program THE BIGGEST LOSERS.
Tidaaaaaaaaaaaaaaak! *oke, ini lebai*
Akhirnya saya berkaul, setiap pagi saya akan berolahraga. Entah bersepeda, entah joging, apa pun. Harapannya saya bisa menurunkan berat dan hidup sedikit lebih sehat. Persiapan pun dirancang. Rute bersepeda sudah ditentukan. Jam weker sudah diatur untuk berbunyi pukul 4.30. Jam tidur pun sedikit dimajukan agar kualitas & kuantitas tidur tidak berkurang.
Esoknya saya terbangun oleh jam weker. Dengan setengah malas saya berganti pakaian, cuci muka, dan bersiap olahraga. Tapi saya baru ingat bahwa saking lamanya sepeda tidak dipakai, bannya pun kempes. Oke, jam segitu belum ada tukang tambal ban yang buka. Opsi untuk naik sepeda pun dicoret. Pilihan berikutnya: Joging.
Baru saja saya bersiap untuk joging, tiba-tiba Ibu saya memanggil. Rupanya beliau sudah bangun juga. Panggilannya ternyata mengubah hidup saya selama hari itu. Dulu, saya sering bangun pagi untuk mengantarkan Ibu saya ke pasar, baik untuk belanja maupun sekedar cari sarapan. Belakangan, karena banyaknya hal yang harus saya lakukan sampai larut malam dan tidak bisa bangun pagi, saya tidak pernah lagi melakukan aktivitas tersebut.
Nah, karena melihat saya sudah bangun pagi, Ibu saya mengajak untuk pergi cari sarapan bareng.
Perang batin pun melanda. Lebih dahsyat daripada perang di Ampera maupun di Tarakan.
Antara berolahraga untuk menurunkan berat badan, atau mengantarkan Ibu saya pergi cari sarapan.
Pilih mana ya? Hmmm... Saya pun berkontemplasi dan berpikir keras.
L...
O........
A..............
D....................
I...........................
N.............................
G...................................
Akhirnya keputusan diambil.
Saya memilih untuk berbakti pada orangtua.
Karena saya sayang Ibu dan Ayah saya.
Juga sayang pada nasi uduk + telor cabe + bihun + bakso goreng terenak yang pernah saya makan pukul enam pagi.
Hari itu juga, di kampus, lagi-lagi ada yang bertanya: "Ki, naik berapa kilo?"
Ah, sudahlah. Mungkin belum saatnya. Teriak batin saya. Saya hanya bisa mengembangkan senyum.
Catatan Pribadi.
Okki Sutanto, 9 Oktober 2010.
(Tiga hari belakangan sukses berolahraga di pagi hari!!)
Minggu, 03 Oktober 2010
Mahasiswa ya sampah!
Ketikan Pinggir Hari Ini.
"Mahasiswa itu ibarat sampah."
Mendengar ini, mungkin sebagian besar mahasiswa kebakaran jenggot.
Kesal? Marah? Tersinggung? Terserah.
Setidaknya, diresapi dulu benar-benar kalimat di atas.
Yang dimaksud dengan sampah, bukan dalam artian bau; tidak berguna, & dilupakan orang. BUKAN!
Sebenarnya sampah itu memiliki segudang manfaat.
Didaur ulang untuk dijadikan produk baru? Bisa.
Diproses menjadi sumber energi? Bisa.
Menjadi sumber penghasilan? Bisa.
dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, masalahnya adalah sedikit sekali orang yang mengetahui potensi dari sampah.
Pada titik inilah mengapa saya bersikeras bahwa mahasiswa dan sampah bisa disetarakan.
Sedikit yang tahu, percaya, dan yakin pada potensi mahasiswa. Bahkan mahasiswa sendiri pun cenderung merendahkan potensi yang mereka punya.
Mendapat segudang ilmu di perkuliahan, alih-alih memutar otak untuk mengaplikasikan ilmu tersebut, mayoritas mahasiswa malah berlomba-lomba jadi tukang fotokopi di kantor. Mentok-mentok disuruh bikin kopi. Kesal? Boro-boro. Seneng malah. Kerjaan gampang, dapet gaji setara UMR. (Ini otaknya kalo dijual pasti mahal, masih disegel.)
Punya tingkat intelektualitas tinggi, alih-alih berkontribusi pada pembangunan bangsa, mayoritas sudah cukup puas diundang ke acara televisi sekedar untuk tepuk tangan. Dapet makan, dapet duit, disuruh senyum2. Mau-mau aja. Seneng pula. (Ini mahasiswa apa topeng monyet?)
Dilatih berpikir rasional, kreatif, dan solusif, alih-alih bisa menjadi kontrol sosial dan kritis terhadap berbagai hal, malah bangga bisa adu cepet ngetik dan adu cepet dapet gosip dari facebook, twitter, dan bbm. (yang kayak gini bangga kalo bisa dapet video Sinta-Jojo lebih dulu daripada temen-temennya, tapi kalo ditanya kapan hari pahlawan, pada kaga bisa jawab.)
Punya akses ke berbagai fasilitas, sumber daya, dan lain sebagainya, alih-alih mengoptimalkan itu semua, malah puas bisa main Plant versus Zombies di labkom kampus atau baca Lampu Merah di perpustakaan atau update status di kelas (pas dosen lagi ngajar, dan statusnya ngejek si dosen pula!).
Wah, prihatin deh.
Memang tidak semua mahasiswa seperti itu.
Ada juga yang sadar pada potensinya masing-masing dan melakukan berbagai hal, baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, maupun untuk komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
Namun jumlahnya masih sedikit. Kebanyakan ya masih seperti sampah.
Kondisi ini jika didiamkan akan semakin parah.
Mahasiswa makin minder dan rendah diri, masyarakat pun jadi ikutan memandang rendah mahasiswa.
Jangan sampe nanti muncul peribahasa baru: "Jangan buang mahasiswa sembarangan!"
Lalu nanti akan muncul tong mahasiswa (bukan tong sampah), yang memisahkan antara mahasiswa organik dan anorganik. Yang setengah dungu dan yang dungu sekali.
Jangan sampe deh! Amit-amit.
Ya, segini dulu deh kali ini.
Semoga makin banyak mahasiswa yang sadar potensi yang mereka miliki, dan bisa berbuat banyak demi kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga, juga masyarakat sekitar.
Cari sampah dulu ah!
Diposkan sebelumnya pada 15 September 2010 di Makna-kata.
"Mahasiswa itu ibarat sampah."
Mendengar ini, mungkin sebagian besar mahasiswa kebakaran jenggot.
Kesal? Marah? Tersinggung? Terserah.
Setidaknya, diresapi dulu benar-benar kalimat di atas.
Yang dimaksud dengan sampah, bukan dalam artian bau; tidak berguna, & dilupakan orang. BUKAN!
Sebenarnya sampah itu memiliki segudang manfaat.
Didaur ulang untuk dijadikan produk baru? Bisa.
Diproses menjadi sumber energi? Bisa.
Menjadi sumber penghasilan? Bisa.
dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, masalahnya adalah sedikit sekali orang yang mengetahui potensi dari sampah.
Pada titik inilah mengapa saya bersikeras bahwa mahasiswa dan sampah bisa disetarakan.
Sedikit yang tahu, percaya, dan yakin pada potensi mahasiswa. Bahkan mahasiswa sendiri pun cenderung merendahkan potensi yang mereka punya.
Mendapat segudang ilmu di perkuliahan, alih-alih memutar otak untuk mengaplikasikan ilmu tersebut, mayoritas mahasiswa malah berlomba-lomba jadi tukang fotokopi di kantor. Mentok-mentok disuruh bikin kopi. Kesal? Boro-boro. Seneng malah. Kerjaan gampang, dapet gaji setara UMR. (Ini otaknya kalo dijual pasti mahal, masih disegel.)
Punya tingkat intelektualitas tinggi, alih-alih berkontribusi pada pembangunan bangsa, mayoritas sudah cukup puas diundang ke acara televisi sekedar untuk tepuk tangan. Dapet makan, dapet duit, disuruh senyum2. Mau-mau aja. Seneng pula. (Ini mahasiswa apa topeng monyet?)
Dilatih berpikir rasional, kreatif, dan solusif, alih-alih bisa menjadi kontrol sosial dan kritis terhadap berbagai hal, malah bangga bisa adu cepet ngetik dan adu cepet dapet gosip dari facebook, twitter, dan bbm. (yang kayak gini bangga kalo bisa dapet video Sinta-Jojo lebih dulu daripada temen-temennya, tapi kalo ditanya kapan hari pahlawan, pada kaga bisa jawab.)
Punya akses ke berbagai fasilitas, sumber daya, dan lain sebagainya, alih-alih mengoptimalkan itu semua, malah puas bisa main Plant versus Zombies di labkom kampus atau baca Lampu Merah di perpustakaan atau update status di kelas (pas dosen lagi ngajar, dan statusnya ngejek si dosen pula!).
Wah, prihatin deh.
Memang tidak semua mahasiswa seperti itu.
Ada juga yang sadar pada potensinya masing-masing dan melakukan berbagai hal, baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, maupun untuk komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
Namun jumlahnya masih sedikit. Kebanyakan ya masih seperti sampah.
Kondisi ini jika didiamkan akan semakin parah.
Mahasiswa makin minder dan rendah diri, masyarakat pun jadi ikutan memandang rendah mahasiswa.
Jangan sampe nanti muncul peribahasa baru: "Jangan buang mahasiswa sembarangan!"
Lalu nanti akan muncul tong mahasiswa (bukan tong sampah), yang memisahkan antara mahasiswa organik dan anorganik. Yang setengah dungu dan yang dungu sekali.
Jangan sampe deh! Amit-amit.
Ya, segini dulu deh kali ini.
Semoga makin banyak mahasiswa yang sadar potensi yang mereka miliki, dan bisa berbuat banyak demi kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga, juga masyarakat sekitar.
Cari sampah dulu ah!
Diposkan sebelumnya pada 15 September 2010 di Makna-kata.
Langganan:
Postingan (Atom)