Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Kamis, 24 November 2011

Uang Gak Bisa Beli Kebahagiaan? Mitos!


Sebelumnya diposkan di Nota Facebook

Sekitar seminggu yang lalu, saya mampir ke Tri Store di Plaza Semanggi. Ada dua kebetulan yang mengantar saya ada di sana. Pertama, kebetulan saya sedang mencari USB Modem untuk mendukung produktivitas skripsi saya. Kedua, kebetulan hari itu saya baru ambil honor hasil "ngasong".

Awalnya niat saya hanya sekedar survei, tidak langsung membeli. Namun, karena pelayanan yang tidak memuaskan di Tri Store tersebut, akhirnya saya beli juga USB Modem tersebut. Ya, Anda gak salah baca. Saya BELI KARENA PELAYANAN YANG TIDAK MEMUASKAN! Bukan sebaliknya. Lah, kok bisa? Tenang, akan saya ceritain kok! Tulisan ini bukan seri Harry Potter atau Twilight, yang hobi nunda cerita sampe ke sekuel selanjutnya. Tenang, akan saya ceritakan. Kalem. Woles.

Jadi, ketika saya datang dan menanyakan perihal USB MODEM keluaran Tri ke staf yang berdiri di kasir, jawaban yang saya dapat adalah begini:

"Ada kok mas, tapi harganya enam ratus tujuh puluh ribu rupiah!"

Sesaat saya terdiam menganalisa kalimat singkat tersebut. Singkat sih, tapi ada makna tersirat di kalimat itu! Emang, saya ini bukan ahli bahasa, tapi saya juga tidak bodoh-bodoh amat untuk tahu ada nada sinis dan meremehkan di kalimat tersebut. Kata "tapi" seharusnya ga dibutuhkan di kalimat itu! Kata "tapi" cuma menjelaskan bahwa menurut si mas di kasir, saya ga bakalan sanggup beli tuh USB Modem.

Parahnya, kalimat tersebut perlu diulang sekali lagi oleh mbak-mbak Customer Servicenya (pembelian ga di kasir, tapi tetep di-refer ke meja Customer Service dulu). Saat saya menanyakan hal yang sama, jawaban yang sama muncul lagi. Kata "tapi" keluar lagi.

Akhirnya, USB Modem itu pun saya beli. Bukan karena fasilitas, kecepatan, atau spesifikasi keren apa pun yang dimiliki modem itu. Saya beli modem itu sekedar ingin meredam kesal dan meruntuhkan kekurangajaran kedua oknum Tri Store tersebut saja.

Apakah saya menyesal di kemudian hari karena impulsif dalam membeli? Oh tidak! Selain karena saya menikmati fungsi riil dari modem tersebut, pembelian tersebut juga sukses membuat saya dipuaskan secara batin. Ekspresi terkejut dan sedikit malu yang dimunculkan si mbak-mbak Customer Service cukup membuat saya bahagia! Jadi, sesuai judul tulisan ini, hari itu saya berhasil mematahkan mitos bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Setidaknya hari itu, setidaknya untuk saya.

Menariknya, ternyata teman saya juga punya pengalaman serupa: diremehkan penjual. Tapi, kisah teman saya ini jauh lebih tragis dari saya. Kalau saya setidaknya masih sedikit elit: diremehkan di mal, di ruangan berAC, untuk barang yang harganya tidak murah-murah amat. Ceritanya, teman saya ini mau beli somai di pinggir jalan. Ia bertanya harga somai kalo pake telor ke abangnya. Dahsyatnya, jawaban si abang seperti ini:

Tapi kalo pake telor agak mahal mas, sembilan ribu!

Sumpah. Saya tidak kebayang seberapa kucel, dekil, atau compang-campingnya temen saya yang lagi nawar somai itu. Saya juga gak mau ngebayangin. Saat ngedenger cerita itu, saya cuma bisa ngakak. Miris sih emang ceritanya, tapi layak untuk dingakakin dulu. Dan sambil ngakak, saya berharap tidak ada lagi orang lain di luar sana yang mengalami nasib serupa, khususnya untuk barang yang lebih murah lagi. Cukuplah saya dan teman saya itu yang mengalaminya. Cukup.

Jakarta, 23 November 2011
Okki Sutanto

Jumat, 18 November 2011

Harusnya Kamu Mandiri!

Sebelumnya diposkan di Nota Facebook

"Kamu harusnya tahu, aku sibuk! Tidak mudah meluangkan waktu untuk kamu. Kamu kan bukan anak kecil lagi! Harusnya kamu bisa mandiri. Bisa mengurus diri sendiri tanpa perlu tergantung padaku. Awalnya aku merasa hubungan kita memiliki masa depan, tapi jika begini caranya, aku jadi ragu..."

Kalimat itu tak berlanjut, si lelaki kesulitan menahan emosi. Di hadapannya, sang lawan bicara pun hanya bisa terdiam. Sedikit tertunduk sedih. Menyesali diri akan ketidakberdayaannya. Mengutuki nasib yang membuatnya hanya bisa bergantung dan merepotkan orang lain. Tapi apa daya, tak satu kata pun sanggup ia katakan. Kesunyian memenuhi ruangan. Membentuk dinding tebal tak terlihat di antara dirinya dan si lelaki. Mereka hanya bisa saling pandang dengan tatapan kosong penuh kesedihan. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Tak sepatah kata pun bertambah.

Si lelaki berjalan keluar ruangan dengan langkah gontai. Meninggalkan skripsi menangis sendirian. Lagi. Ya, entah untuk keberapa kalinya.


Jakarta, 24 Oktober 2011
Okki Sutanto

Ini Namanya Ngupil Apa Ya?


#Curhat.070
Sebelumnya diposkan di Nota Facebook.

Anda tahu ngupil? Ternyata, ngupil itu ada banyak jenisnya. Jika Anda mengupil karena ingin menghilangkan rasa tak nyaman di hidung Anda, itu namanya Ngupil Instrumentalis. Jika Anda mengupil karena senang dengan sensasi rasa perih dan sakit yang timbul, namanya Ngupil Masokis. Jika Anda mengupil karena melihat orang lain ngupil, namanya Ngupil Konformis. Jika Anda mengambilkan upil orang lain dengan sukarela, namanya Ngupil Altruistik.

Oke, jangan sepenuhnya percaya dengan apa yang saya tulis di atas. Tulisan tersebut hanyalah ilustrasi mengenai apa yang saya rasakan, di masa-masa awal saya belajar Psikologi. Di masa itu, saya merasa ilmu Psikologi amat bernafsu memberi nama dan istilah akan segala sesuatu yang terjadi di sekitar manusia.

Psikologi seakan selalu mempunyai istilah untuk menggantikan berbagai kosakata yang normal digunakan khalayak. Ada "konformitas" untuk menggantikan "latah / ikut-ikutan". Ada "Obul" untuk menggantikan "perfeksionis". Ada "katarsis" untuk menggantikan "ngamuk-ngamuk", dan masih banyak lagi.

Ya, begitulah kesan saya di masa awal berkuliah Psikologi. Setiap harinya, ada saja istilah-istilah baru yang dipelajari untuk menjelaskan berbagai fenomena keseharian. Alhasil, berbagai kosakata baru tersebut populer digunakan mahasiswa Psikologi dalam keseharian mereka. Di satu sisi, hal tersebut memang bagus, karena menandakan bahwa apa yang dipelajari di kelas tidak menguap begitu saja, dan dipahami melalui obrolan sehari-hari. Namun, di sisi lain penggunaan berbagai istilah tersebut juga seakan membangun dinding tak terlihat, antara mereka yang belajar Psikologi dan mereka yang tidak.

Semoga saja hal tersebut tidak membuat mahasiswa Psikologi menjadi terlalu nyaman dengan sesama mereka sendiri, pun sebaliknya mahasiswa non Psikologi jadi merasa kesulitan memahami mereka yang belajar Psikologi. Karena sejatinya ilmu Psikologi itu akan semakin bermanfaat, jika makin banyak orang yang mengerti. Semoga, ilmu Psikologi tak hanya tertransmisi di antara kepala dan mulut mahasiswa-mahasiswanya saja. Semoga saja!


Jakarta, 13 Oktober 2011
 Okki Sutanto. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...