Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Minggu, 26 Desember 2010

Daftar 20 Lagu Penuh Memori Masa SD Versi Gue

DAFTAR DUA PULUH LAGU PENUH MEMORI MASA SD ALA GUE
(Pastikan dulu Anda tidak bermasalah jika tiba-tiba otak Anda dipenuhi oleh memori masa SD. Jika masa SD anda terlalu kelam, lebih baik stop di sini. hahaha)

1. Sheila on 7 - Kisah Klasik Untuk Masa Depan
[http://www.youtube.com/watch?v=RGadFsLOUp8]
Sebenernya banyak sekali lagu berkesan dari Sheila on 7, mulai dari Dan yang sampai saat ini masih memegang rekor lagu terlama yang pernah memuncaki MTV AMPUH selama 40 minggu, Sephia, dan masih banyak lagi. Namun buat saya pribadi, Kisah Klasik Untuk Masa Depan adalah lagu paling berkesan, karena menjelang malam perpisahan kelas 6 SD, lagu ini sangat "ngena" dan seingat saya memang diputar pas malam perpisahan SD. Well, bagaimanapun lagu ini memang paling top diputer pas momen-momen perpisahan. Dijamin massa haru membiru! hehe..

2. N'sync - I Drive Myself Crazy
[http://www.youtube.com/watch?v=caLlKYc6KrU]
Justin, JC, Joey, Chris, dan Lance! Ga kenal mereka di penghujung tahun 1990-an ibarat ga kenal SM*SH di tahun 2010. haha. Bcanda lah, NSYNC ga semenyedihkan SM*SH kok. Lagu-lagu N'sync lagi booming waktu itu, berkompetisi ketat sama Backstreet Boys. Entah kenapa, dari sekian banyak lagu Nsync, I Drive Myself Crazy paling berkesan untuk saya. Sampai sekarang pun masih teringat video klipnya yang menceritakan bagaimana masing-masing dari mereka bisa berakhir di Rumah Sakit Jiwa.

3. Basejam - Aku Bukan Pujangga
[http://www.youtube.com/watch?v=KGhwYEiBmRw]
Mungkin aku bukan pujangga yang pandai merangkai kata / Ku tak slalu kirimkan bunga tuk ungkapkan hatiku.
Sepenggal lirik di atas pasti langsung "masuk" ke otak teman-teman, benar kan? Lagu ini mungkin lagu paling populer dari Basejam. Seingat saya, dulu saya sering menyanyikan lagu ini di kelas. Oh ya, mungkin dari lagu ini juga saya mulai belajar untuk tidak menilai orang dari penampilan, karena bagi saya muka salah satu vokalisnya cukup menyedihkan tapi toh suara dan lagunya bagus. hahaha.

4. Britney Spears - Sometimes
[http://www.youtube.com/watch?v=bowS9uAECXc]
Mulai meroket dengan lagu Baby One More Time, Britney Spears bisa dipastikan adalah salah satu penyanyi wanita paling populer di penghujung 1990-an. Bagi saya pribadi, video klip lagu ini paling berkesan, entah mengapa. Di pantai, bermain-main dengan anjing, menari dengan setelan putih-putih. Ah, cantik deh pokoknya! Setidaknya saat itu, saat saya masih ngefans sekali dengan Britney. hahaha.

5. Wayang - Dongeng Sebelum Tidur
[http://www.youtube.com/watch?v=PiNoA82z8ac]
Ga banyak memori tentang lagu ini, bahkan penyanyinya pun tidak terlalu ingat. Namun, lagu ini sempat nge-hits di masa SD, itu pun lupa kelas berapa. Ada satu lagu lagi yang lebih oke dari Wayang, judulnya Tak Selamanya. Kayaknya pernah jadi soundtrack suatu acara tivi deh, tapi lupa juga judulnya apa. hehe.

6. Savage Garden - I Knew I Loved You
[http://www.youtube.com/watch?v=uIIfO_efVc0]
Duo vokalis yang masing-masing pada akhirnya memilih jalur solo. Namun, saat masih tergabung di Savage Garden, lagu ini sangat membekas di ingatan. Dengan video klip di kereta, bermain gitar, dan bertemu dengan seorang wanita cantik.

7. Jamrud - Surti Tejo
[http://www.youtube.com/watch?v=mpJWMQql2vM]
"Jemari Tejo mulai piknik dari wajah sampai lutut Surti."
"Mirip demo memasak Tejo mulai berakting di depan Surti. Masang, alat kontresepsi!"
Oke, ini salah satu lagu paling populer dan kocak dari Jamrud. Menceritakan tentang si Tejo yang berusaha "menggauli" Surti, gadis desa di kampung asal Tejo. Penggalan lirik di atas sedikit banyak menggambarkan betapa frontalnya lagu ini. Oh ya, menyanyi lagu ini rame-rame rasanya asik juga loh. Ga percaya? Coba aja sendiri. hehe.

8. Backstreet Boys - I Want It That Way
[http://www.youtube.com/watch?v=Niv3dBY723I]
Boyband paling hip pada masa itu. Fans-fans wanitanya pun berjubel. Mirip-mirip Justin Bieber kali ya kalau jaman sekarang. Bedanya, dandanan dan lagu mereka sesuai dengan umur. Dengan video klip di airport, nyanyi-nyanyi dan nari-nari dikelilingi banyak penggemarnya, lagu ini sulit untuk terlupakan. Seingat saya, dulu saya sering berusaha menyanyi sambil meniru gaya mereka menari di video klip. Seingat saya loh ya, semoga salah ingat. =P

9. Susan & Ria Enes - Susan Punya Cita-Cita
[http://www.youtube.com/watch?v=l7E28g9TMsM]
Susan.. Susan... Susan.. Besok gede, mau jadi apa...
Sepenggal lirik di atas pastinya tidak asing lagi di telinga kita. Lagu yang satu ini memang sangat populer dari Kak Ria Enes dan Susan, si boneka kesayangannya. Sampai sekarang masih bingung, mengapa boneka menyeramkan seperti itu dianggap cocok bagi anak-anak. -_-"

10. Vertical Horizon - You're A God
[http://www.youtube.com/watch?v=ynseZlJURJo]
Band yang cukup terkenal di masa saya SD. Lagu ini sendiri sangat suka saya nyanyikan kala itu. Video klipnya pun masih teringat hingga sekarang, di mana dalam video klipnya menceritakan tentang seorang wanita cantik yang memenangi kontes kecantikan, namun entah mengapa tetap tidak merasa bahagia hingga di akhir video melemparkan pialanya ke cermin.

11. Stinky - Mungkinkah
[http://www.youtube.com/watch?v=D60cS0Nx1hE]
Tak jarang, suatu band / penyanyi hanya bisa mempopulerkan satu lagu saja. Tak peduli seberapa keras mereka mencoba di lagu-lagu berikutnya, tetap saja tidak akan bisa menorehkan sukses. Itulah yang terjadi pada Stinky. Coba saja undang Stinky ke acara anda, bisa dipastikan lagu ini yang akan dimainkan. Lagu yang usianya sudah lebih dari sepuluh tahun. Namun, untunglah Stinky sendiri sudah tidak aktif lagi. Meski Andre, vokalis dan pianisnya, masih bisa ditemui di layar kaca untuk menghibur kita, dengan caranya sendiri tentunya, bukan melalui musik.

12. Westlife - If I Let You Go
[http://www.youtube.com/watch?v=_koXGcfxBRY]
Lagi-lagi boyband, seperti Nsync dan Backstreet Boys. Meski begitu, entah mengapa saya merasa Westlife tidak se-macho kedua band pendahulunya. Lagunya terkesan terlalu mellow dan video klipnya tidak menunjukkan kelaki-lakian mereka sama sekali. Di tepi pantai, sekelompok pria berjalan pelan tanpa alas kaki dan ciprat-cipratan air. Sekejap bulu kuduk saya merinding. Tapi......... Itu kan jika dipikir-pikir sekarang! hehe. Kalau pas SD mah, ini salah satu lagu favorit saya! hahahaha..

13. Naif - Posesif
[http://www.youtube.com/watch?v=AuFaOdaW_88]
"Bila ku mati, kau juga mati.. Walau tak ada cinta sehidup semati.."
"Mengapa aku begini, jangan kau mempertanyakan!"
Band yang gak ada matinya ini belum terlalu terkenal di masa saya SD. Namun lagu ini begitu berkesan. Selain liriknya yang mudah diingat dan lagunya easy listening, video klipnya yang menceritakan tentang kehidupan seorang waria juga sangat nyantol di otak.

14. Celine Dion - My Heart Will Go On
[http://www.youtube.com/watch?v=C4g8rLShURw]
Lagu yang menjadi Soundtrack film Titanic ini sangat populer semasa saya SD, entah kelas 4 atau 5. Di pelajaran kesenian pun alih-alih memainkan lagu daerah, saya malah belajar memainkan lagu ini menggunakan suling. Cukup mudah ternyata nadanya. Bagaimanapun, pengalaman menonton film ini sembunyi-sembunyi dengan beberapa teman SD saya juga membuat lagu ini semakin berkesan. Lagunya kok, bukan adegan melukisnya. =P

15. Shaden - Dunia Belum Berakhir
[http://www.youtube.com/watch?v=VuB5UkdqWbU]
Dunia belum berakhir.. Bila kau putuskan aku.. Masih banyak teman-temanku di sini menemaniku..
Lagu yang cukup nge-beat ini cukup gampang diingat dan membuat siapa pun yang mendengarnya ingin ikut bersenandug. Liriknya pun cukup lucu dan gaul, beberapa katanya tidak baku dan mengacuhkan EYD. Meski begitu, lagu ini tetap terasa orisinil dan tidak dibuat-buat. Lain halnya dengan lagu-lagu Indonesia jaman sekarang yang liriknya dibuat-buat menjadi tidak baku. Murahan dan tidak mendidik. Sayangnya, laku. Ah, ya sudah lah. haha.

16. Christina Aguilera - I Turn to You
[http://www.youtube.com/watch?v=XpBLGTBmTJg]
Saingan berat Britney Spears di masa saya SD. Sayang, marketingnya tidak terlalu baik. Kurang banyak isu-isu heboh yang dibuat oleh Christina. haha. Bagaimana pun, lagu ini sangat berkesan. Selain enak didengar, kualitas vokalnya juga sangat menunjukkan siapa Christina. Berbeda dengan lagu-lagu Britney yang kebanyakan "efek". Meski begitu, pada masa SD saya jauh lebih suka Britney dibandingkan Christina. Mengapa ya? Entah lah.

17. Joshua - Air
[http://www.youtube.com/watch?v=FsHRwFFlJf8]
JOSHUA SUHERMAN! Artis cilik yang melalui lagu-lagunya membuat anak-anak Indonesia pada masa itu mempunyai lagu yang sesuai dengan usia mereka. Tidak seperti sekarang. Lagu ini sangat fenomenal, khususnya sepenggal lirik:
Diobok-obok airnya diobok-obok. Ada ikannya kecil-kecil pada mabok.
Video klipnya pun cukup mudah diingat, ada Tukul dengan gaya-gaya khasnya. Kini keadaan sudah terbalik. Tukul sudah menjadi bintang, sedangkan Joshua masih tertatih-tatih berusaha menembus jagat dunia hiburan. Bagaimana pun, Joshua kecil dan lagunya ini sangat menghibur saya saat SD dulu.

18. Hanson - Mmmbop
[http://www.youtube.com/watch?v=NHozn0YXAeE]
Ada tiga hal yang membuat lagu dari Hanson ini sangat berkesan. Pertama, penggalan nada chorusnya yang sangat khas. Kedua, karena judulnya yang sulit dilafalkan. Ketiga, karena ketidakjelasan apa jenis kelamin ketiga bersaudara ini, khususnya si tengah dan si bungsu.

19. Agnes Monica - Bala Bala
[http://www.youtube.com/watch?v=LbuAVMPu4F0]
Sejujurnya saya tidak begitu memiliki memori terkait lagu ini. Tapi saya ingat semasa saya SD, Agnes Monica masih seorang artis cilik. Lucu + manis sekali. Mitos bahwa "Anak yang kecilnya cantik pasti kalo udah gede jadi jelek" sama sekali ga berlaku buat Agnes. Salah seorang teman bahkan berani menobatkan Agmon sebagai makhluk Indonesia paling sempurna. haha.

20. The Moffatts - Miss You Like Crazy
[http://www.youtube.com/watch?v=KxgTzyswQic]
Iringan gitar yang ringan, nada yang sederhana, dan lirik yang mudah diingat, membuat lagu andalan The Moffats ini sangat saya ingat pada masa SD dulu. Beberapa lagu setelahnya juga cukup enak, salah satu yang berkesan adalah If You Only Knew yang berkolaborasi dengan Gil.

Demikianlah lagu-lagu penuh memori masa SD versi saya.
Bagaimana dengan teman-teman? Adakah lagu memori yang sama?
Mana yang paling berkesan? Silakan loh di-share di sini. hehehe..

Kemungkinan besar saya akan membuat daftar serupa untuk Masa SMP dan SMA, yang tentunya makin berkesan. hehe.
Semoga lagu-lagu di atas bisa mengingatkan teman-teman sekalian akan memori masa SD.

Sampai jumpa di lain kesempatan!


Salam,

Okki Sutanto.

(Cerpen) Lima Detik.

LIMA DETIK.

Andai saat itu aku diberi sedikit waktu.
Cukup sedikit, barang sepuluh detik.
Tidak, bahkan cukup lima detik!
Untuk menjaga kewarasanku, untuk mencegah si sehat pergi dari akalku.
Sayang, lima detik nyatanya terlalu berharga untuk kumiliki saat itu.


Andai aku diberi lima detik, mungkin aku tak perlu mendekam dalam sel terkutuk ini selama lima tahun.
Sel yang busuk luar-dalam, atas-bawah, kiri-kanan.
Dengan kecoa busuk, para tahanan bejat, juga para penjaga lapas bangsat!

Lima tahun sudah aku mengutuki lima detik yang tak pernah kumiliki itu.
Lima detik yang seharusnya kupakai untuk menahan semua hasrat dengki dan letusan kemarahan.
Bukan justru menghabisi Yati dan Dhani, istri beserta sahabatku sendiri, yang tertangkap basah sedang tidur di kamar rumahku.

Pukul 1 siang.
Tak lama setelah jam makan siang, aku melangkahkan kaki keluar dari tempat terkutuk ini.
Udara bebas, katanya. Yang bagiku nyatanya tak sebegitu bebasnya.
Siapa aku, yang telah kehilangan lima tahun terakhir dari dunia ini?
Lembaga pemasyarakatan katanya? Rasanya aku semakin dijauhkan dari masyarakat.
Harta? Habis untuk mengurus pengadilan sialan itu.
Keluarga? Tak ada lagi yang menganggap aku keluarga setelah aib yang menggegerkan kampung itu.

Tak apalah, usiaku masih belum terlalu tua untuk memulai kehidupan baru, di tempat baru.
Setidaknya kali ini aku memiliki ribuan bahkan jutaan detik, yang bisa kugunakan sebaik mungkin.
Karena aku selalu percaya, lima detik saja sebenarnya cukup untuk membuat orang menggunakan akal sehatnya.

Namun rupanya itu tak berlaku bagi semua orang.
Herman, kakak Yati, sudah menungguku tak jauh dari gerbang lapas.
Tanpa basa-basi ia menghujamkan pisau tajamnya ke tubuhku belasan kali.
Bajuku bak kanvas merah dibuatnya.
Melihatku terkapar meregang nyawa, ia lari.

Lima detik ternyata tak cukup untuk Herman menggunakan akal sehatnya.
Bahkan lima tahun! Masih tak cukup.

Di penghujung nafas, aku bersyukur siang itu tidak hujan.
Terkapar meregang nyawa, aku masih bisa melihat biru langit untuk terakhir kalinya.
Tak lama, hanya lima detik.
Sebelum mataku tertutup selamanya.

Hanya lima detik.
Yang akhirnya kumiliki.


Jakarta, 22 November 2010
Okki Sutanto.

Minggu, 10 Oktober 2010

Maaf, Anda mau menguap? Isi formulir ini dulu ya.

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Kemarin saya membaca sebuah artikel di harian KOMPAS yang agak menggelikan. Gedung putih mengadakan sebuah pesta dan mengundang para diplomat. Namun, terjadi sedikit kekacauan. Beberapa Duta Besar justru dilarang memasuki area Gedung Putih. Alasannya: tidak lolos prosedur protokoler. Ketika ditelusuri, ternyata permasalahannya sangat sepele. Informasi pada kartu tanda pengenal para Duta Besar tersebut tidak sesuai standar. Seharusnya, tanggal lahir yang tertera berdasarkan urutan bulan - tanggal - tahun, tapi beberapa Duta Besar menuliskannya dengan urutan tanggal - bulan - tahun. Alhasil, mereka tidak mendapat ijin masuk ke gedung putih. Beberapa dari mereka pun kecewa karena merasa tidak dihargai. Sedikit ironis memang, mengingat sebenarnya pesta tersebut diselenggarakan untuk menghormati para diplomat.

Kisah di atas agak menggelitik. Kita bisa melihat bagaimana prosedur, yang seharusnya dibuat untuk memudahkan, justru jadi menyulitkan. Esensi dan tujuan utama dari suatu aktivitas pun tidak tercapai hanya karena urusan sepele. Ironisnya, saat ini hampir semua organisasi menyanjung tinggi prosedur dan standar baku. Semua organisasi, semua perusahaan, berlomba-lomba mendapat sertifikasi ISO. Semakin terstandar, semakin menunjukkan kualitas. Semakin rapih dan panjang alur birokrasi, semakin hebat. Apa iya?

Tidak dapat dipungkiri, adanya suatu prosedur dan standar baku akan memudahkan banyak hal. Kesalahan bisa diminimalisir. Jika pun terjadi, maka kesalahan bisa ditelusuri penyebabnya. Lalu, apa salahnya dengan menerapkan standar dan prosedur yang ketat? Bagus dong? Belum tentu. Tidak mudah melakukan hal tersebut. Dengan mengetatkan prosedur dan standar, banyak perubahan yang harus dilakukan. Butuh banyak sekali persiapan. Mulai dari tujuan yang jelas, sosialisasi yang gencar, serta mekanisme yang baik. Kesemua hal tersebut haruslah dikelola dengan baik. Jika tidak, maka yang terjadi bukanlah kerapihan sistem, tapi kekacauan. Patut disayangkan hal ini belum dipahami sepenuhnya oleh para pihak berkepentingan. Seringkali menerapkan prosedur dan standar dianggap semudah membalikkan telapak tangan. Tujuan tidak dipahami seutuhnya. Tujuan juga tidak disosialisasikan dengan baik. Terlebih, mekanisme persiapan pun belum memadai. Alhasil, semua usaha penerapan standar dan prosedur pun terkesan sekedar make-up. Yang penting terlihat bagus dari kertas-kertas yang tersusun rapih, tidak peduli bagaimana cara dan prosesnya.

Sayangnya, kita tidak selalu bisa memilih. Kadang suatu sistem yang lebih besar dari kita memilih untuk mengetatkan prosedur. Bisa lembaga pendidikan, bisa organisasi, bisa juga negara. Yang bisa kita lakukan hanya mempersiapkan diri. Jangan lagi membiasakan diri bertingkah seenaknya. Bisa jadi, nanti, sebelum menguap pun kita butuh mengisi suatu formulir khusus. Bisa jadi. Semoga tidak.

Jakarta, 10 Oktober 2010
Okki Sutanto
(sudah menguap beberapa kali)

Referensi:
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/0351020/30.dubes.dilarang..masuk.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Oke Deh Saya Ngaku

Dua minggu belakangan, sering sekali saya mendengar kalimat berikut:
"Ki, gemukan ya? Naik berapa kilo?".
Awalnya, ketika masih satu-dua orang saja yang berkata begitu, saya acuh. Saya cuma menjawab:
"Ah, perasaan lu doank kali."
Tapi ketika sudah lebih dari lima orang mengatakan hal serupa, mau tak mau saya berpikir.
Bukti statistik yang ditunjukkan oleh teknologi canggih bernama timbangan pun ternyata memverifikasi hipotesis teman saya tersebut.

Oke deh, saya ngaku berat saya bertambah.
Saya sadar, belakangan ini kebanyakan aktivitas saya harus dilakukan di depan komputer, berjam-jam, minim gerakan.
Olahraga pun sudah jarang sekali.
Walau saya bukan orang yang segitu pedulinya terhadap penampilan, tapi kalo sampai dibiarkan dan saya makin menggendut, rasanya tidak baik juga untuk kesehatan.
Saya tidak ingin sampai disarankan mengikuti program THE BIGGEST LOSERS.
Tidaaaaaaaaaaaaaaak! *oke, ini lebai*

Akhirnya saya berkaul, setiap pagi saya akan berolahraga. Entah bersepeda, entah joging, apa pun. Harapannya saya bisa menurunkan berat dan hidup sedikit lebih sehat. Persiapan pun dirancang. Rute bersepeda sudah ditentukan. Jam weker sudah diatur untuk berbunyi pukul 4.30. Jam tidur pun sedikit dimajukan agar kualitas & kuantitas tidur tidak berkurang.

Esoknya saya terbangun oleh jam weker. Dengan setengah malas saya berganti pakaian, cuci muka, dan bersiap olahraga. Tapi saya baru ingat bahwa saking lamanya sepeda tidak dipakai, bannya pun kempes. Oke, jam segitu belum ada tukang tambal ban yang buka. Opsi untuk naik sepeda pun dicoret. Pilihan berikutnya: Joging.

Baru saja saya bersiap untuk joging, tiba-tiba Ibu saya memanggil. Rupanya beliau sudah bangun juga. Panggilannya ternyata mengubah hidup saya selama hari itu. Dulu, saya sering bangun pagi untuk mengantarkan Ibu saya ke pasar, baik untuk belanja maupun sekedar cari sarapan. Belakangan, karena banyaknya hal yang harus saya lakukan sampai larut malam dan tidak bisa bangun pagi, saya tidak pernah lagi melakukan aktivitas tersebut.

Nah, karena melihat saya sudah bangun pagi, Ibu saya mengajak untuk pergi cari sarapan bareng.

Perang batin pun melanda. Lebih dahsyat daripada perang di Ampera maupun di Tarakan.
Antara berolahraga untuk menurunkan berat badan, atau mengantarkan Ibu saya pergi cari sarapan.
Pilih mana ya? Hmmm... Saya pun berkontemplasi dan berpikir keras.
L...
O........
A..............
D....................
I...........................
N.............................
G...................................

Akhirnya keputusan diambil.
Saya memilih untuk berbakti pada orangtua.
Karena saya sayang Ibu dan Ayah saya.
Juga sayang pada nasi uduk + telor cabe + bihun + bakso goreng terenak yang pernah saya makan pukul enam pagi.

Hari itu juga, di kampus, lagi-lagi ada yang bertanya: "Ki, naik berapa kilo?"
Ah, sudahlah. Mungkin belum saatnya. Teriak batin saya. Saya hanya bisa mengembangkan senyum.


Catatan Pribadi.
Okki Sutanto, 9 Oktober 2010.
(Tiga hari belakangan sukses berolahraga di pagi hari!!)

Minggu, 03 Oktober 2010

Mahasiswa ya sampah!

Ketikan Pinggir Hari Ini.

"Mahasiswa itu ibarat sampah."
Mendengar ini, mungkin sebagian besar mahasiswa kebakaran jenggot.
Kesal? Marah? Tersinggung? Terserah.
Setidaknya, diresapi dulu benar-benar kalimat di atas.

Yang dimaksud dengan sampah, bukan dalam artian bau; tidak berguna, & dilupakan orang. BUKAN!
Sebenarnya sampah itu memiliki segudang manfaat.
Didaur ulang untuk dijadikan produk baru? Bisa.
Diproses menjadi sumber energi? Bisa.
Menjadi sumber penghasilan? Bisa.
dan masih banyak lagi.

Akan tetapi, masalahnya adalah sedikit sekali orang yang mengetahui potensi dari sampah.
Pada titik inilah mengapa saya bersikeras bahwa mahasiswa dan sampah bisa disetarakan.
Sedikit yang tahu, percaya, dan yakin pada potensi mahasiswa. Bahkan mahasiswa sendiri pun cenderung merendahkan potensi yang mereka punya.

Mendapat segudang ilmu di perkuliahan, alih-alih memutar otak untuk mengaplikasikan ilmu tersebut, mayoritas mahasiswa malah berlomba-lomba jadi tukang fotokopi di kantor. Mentok-mentok disuruh bikin kopi. Kesal? Boro-boro. Seneng malah. Kerjaan gampang, dapet gaji setara UMR. (Ini otaknya kalo dijual pasti mahal, masih disegel.)
Punya tingkat intelektualitas tinggi, alih-alih berkontribusi pada pembangunan bangsa, mayoritas sudah cukup puas diundang ke acara televisi sekedar untuk tepuk tangan. Dapet makan, dapet duit, disuruh senyum2. Mau-mau aja. Seneng pula. (Ini mahasiswa apa topeng monyet?)
Dilatih berpikir rasional, kreatif, dan solusif, alih-alih bisa menjadi kontrol sosial dan kritis terhadap berbagai hal, malah bangga bisa adu cepet ngetik dan adu cepet dapet gosip dari facebook, twitter, dan bbm. (yang kayak gini bangga kalo bisa dapet video Sinta-Jojo lebih dulu daripada temen-temennya, tapi kalo ditanya kapan hari pahlawan, pada kaga bisa jawab.)
Punya akses ke berbagai fasilitas, sumber daya, dan lain sebagainya, alih-alih mengoptimalkan itu semua, malah puas bisa main Plant versus Zombies di labkom kampus atau baca Lampu Merah di perpustakaan atau update status di kelas (pas dosen lagi ngajar, dan statusnya ngejek si dosen pula!).

Wah, prihatin deh.
Memang tidak semua mahasiswa seperti itu.
Ada juga yang sadar pada potensinya masing-masing dan melakukan berbagai hal, baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, maupun untuk komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
Namun jumlahnya masih sedikit. Kebanyakan ya masih seperti sampah.

Kondisi ini jika didiamkan akan semakin parah.
Mahasiswa makin minder dan rendah diri, masyarakat pun jadi ikutan memandang rendah mahasiswa.
Jangan sampe nanti muncul peribahasa baru: "Jangan buang mahasiswa sembarangan!"
Lalu nanti akan muncul tong mahasiswa (bukan tong sampah), yang memisahkan antara mahasiswa organik dan anorganik. Yang setengah dungu dan yang dungu sekali.
Jangan sampe deh! Amit-amit.

Ya, segini dulu deh kali ini.
Semoga makin banyak mahasiswa yang sadar potensi yang mereka miliki, dan bisa berbuat banyak demi kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga, juga masyarakat sekitar.
Cari sampah dulu ah!

Diposkan sebelumnya pada 15 September 2010 di Makna-kata.

Minggu, 20 Juni 2010

(Cerpen) Andai Gelas Itu Tidak Tumpah






Andai Gelas Itu Tidak Tumpah. 
Jika Andre tidak menumpahkan gelas ke kemeja Bob, mungkin Bob tidak perlu mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum ke kantor. Mungkin Bob juga tidak perlu ngebut agar tiba tepat waktu di kantor. Apa daya, karena telat Bob mengebut tanpa mempedulikan keselamatan pengendara lain. Hal ini membuat Charlie kesal, dan ikut terpancing untuk ngebut juga. Tidak sengaja, mobil Charlie menyerempet motor Dhani. Tidak parah memang, tapi cukup untuk membuat Dhani telat mengantarkan barang ke klien hari itu: Evan.

Evan pun marah, karena paket barang yang harusnya ia terima pukul 11, molor menjadi pukul 12. Ia jadi harus merombak ulang jadwal pengiriman barang tersebut ke pembeli-pembeli lainnya. Saking sibuknya, Evan lupa untuk menjemput anaknya, Fina, yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Fina terpaksa bermain sendiri setelah jam sekolah berakhir. Bu Ghea, yang melihat hal tersebut, memutuskan untuk menemani Fina sampai ia dijemput. Akhirnya pukul 2 Fina baru dijemput. Bu Ghea pun baru bergegas pulang ke rumahnya, naik kendaraan umum.

Andai Bu Ghea tidak naik metromini pukul 3, mungkin ia tidak harus bertemu dengan Herman, sang pencopet. Namun tepat sebelum Herman turun dari metromini, Bu Ghea sadar dompetnya sudah dicopet, hingga ia meneriakkan copet ke arah Herman. Herman pun panik, tapi ia berhasil kabur karena di samping metromini kawannya sudah menunggu dengan sepeda motor. Untunglah Ismet, seorang polisi, kebetulan sedang berpatroli. Adegan kejar-kejaran antara copet dan polisi itu pun tidak terelakkan. Kemacetan terjadi karena banyak yang ingin melihat kejadian seru tersebut. Banyak yang merasa kejadian itu menarik, kecuali James, yang hanya bisa menyumpah serapahi kemacetan yang di sore hari itu. Meeting penting bersama klien pukul 5 pun tidak bisa ia tepati. Seluruh persiapan yang sudah dibuatnya menjadi sia-sia.

Di saat yang tidak pas itu, istrinya menelepon, sekadar untuk menanyakan kabar. James tanpa berpikir panjang melampiaskan kekesalannya ke sang istri. Ia membawa-bawa segala urusan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kegagalannya bertemu dengan klien. Karina, sang istri, sangat terpukul. Ia pun menelepon Lina, anaknya, untuk cepat-cepat pulang ke rumah dan menemaninya. Lina yang bisa merasakan kesedihan ibunya, langsung memutuskan untuk pulang dari rumah Mentari, sahabatnya.

Mentari, yang sebelumnya berencana ke toko buku bersama Lina, akhirnya minta diantar oleh kakaknya, Nando. Nando pun mengiyakan permintaan adiknya tersebut. Mana ia sangka di saat yang sama, Oktavia, sang pacar, minta ditemani ke mal. Nando pun dengan halus menolak ajakan tersebut. Oktavia marah, ia merasa Nando selalu saja beralasan dan tidak pernah perhatian padanya. Ia memutuskan telepon, lalu menangis di kamar. Ia tidak memberi makan Pingki, kucing liar yang suka tidur di depan pagar rumahnya. Pingki pun mencari makan di tempat sampah, di mana seekor kucing liar lainnya juga sedang mencari makan, sebutlah kucing liar tak bernama itu: "Q". Pingki dan Q berebut makanan, mereka pun saling cakar. Risa, anak kecil yang kebetulan melihat kejadian tersebut, mencoba menyiram keduanya dengan air agar tidak berantem. Kedua kucing tersebut kaget dan menyakar tangan Risa.

Risa pulang ke rumah dengan tangan berdarah. Ia langsung menelepon Ibunya, Safiah, yang sedang lembur di pabrik. Ibunya panik mendengar anak kesayangannya itu menangis. Safiah langsung memutuskan untuk pulang. Ia lupa mematikan panel listrik di bagian Pengepakan. Padahal kapasitas listrik di pabrik itu terbatas, sehingga masing-masing bagian harus bergantian memakainya. Saat Taksono, pegawai bagian Produksi menyalakan panel listrik, terjadilah korsleting. Kebetulan, api bermula di sekitar gudang. Kebetulan pula, saat itu banyak material mudah terbakar sedang disimpan di gudang. Dalam waktu 1 jam, pabrik tersebut ludes dimakan si jago merah. Safiah sama sekali tidak sadar bahwa ia yang menyebabkan itu semua. Ia justru merasa beruntung, sedang tidak di pabrik saat kejadian itu terjadi. Ia menganggap Risa telah menyelamatkan nyawanya. 

Safiah tidak perlu memikirkan kerugian yang ditanggung pabriknya. Ia tak perlu memikirkan nasib puluhan karyawan yang meninggal karena kebakaran tersebut. Mungkin memang itu bukan salah Safiah. Mungkin kejadian ini memang sudah ditakdirkan.

Atau, mungkin juga tidak. Tiada yang tahu.

Yang jelas, Andai saja Andre tidak menumpahkan gelas pagi ini, kebakaran malam ini belum tentu terjadi.

Jakarta, 20 Juni 2010
Okki Sutanto
(sedikit banyak terinspirasi dari film Benjamin Button)

Selasa, 15 Juni 2010

(Cerpen) Suatu Sore di Sebuah Kafe

Suatu Sore di Sebuah Kafe.



Siang baru saja beranjak. Kafe itu sepi, hanya ada dua atau tiga meja yang terisi. Sudah setengah jam aku duduk, ditemani sebungkus rokok. Asbak di mejaku sudah kotor, setidaknya lima puntung sudah berguguran di sana. Memang, aku janji bertemu dengan seseorang di sini jam 5. Tapi sudah jadi kebiasaanku untuk datang setengah jam lebih awal, terlebih di pertemuan sepenting ini.

Tepat pukul 5 ia datang. Tanpa banyak berbicara, ia langsung duduk di hadapanku. Sapaan ringan yang dulu selalu ada, kini tiada lagi. Dalam sekejap suasana berubah. Udara mulai terasa berat. Aku paksakan menebarkan senyum, meski nyatanya tak banyak berguna. Kuputuskan untuk menunggu saja, toh ia yang merencanakan pertemuan ini, setelah sekian lama.

Selasa, 08 Juni 2010

(Cerpen) Bening dan Bulan

Bening dan Bulan

Meski dengan cahaya pinjaman, bulan selalu ikhlas menjalankan pekerjaannya saban malam. Ia yang paling tahu betapa malam bisa menyiksa. Ia yang paling sadar seberapa sengsaranya gelap. Mungkin karena itu pula, malam ini Bulan tetap bersemangat menerangi dunia. Menerangi malam seorang gadis kecil di bawah sana, yang sedari tadi melamun ke arahnya.

Bening menopangkan dagu di jendela kamarnya. Lampu kamarnya sengaja ia matikan, biar ia bisa lebih menikmati cahaya bulan yang sedang ia pandangi. Lampu-lampu lain di rumahnya menyala terang, meski tidak tampak ada aktivitas apa pun di rumah itu. Tak lama, lamunannya terhenti karena suara deru mesin mobil. Ayah pulang. Bening pun berlari keluar rumah menyambut ayah.

"Kok ayah pulang malam sekali sih?"

"Iya, tadi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi tidak bisa ayah tinggal. Bening kenapa belum tidur?"

"Sedang tidak bisa tidur, sekalian saja menunggu ayah pulang"

"Wah.. Anak baik. Tolong bawakan tas ayah ke ruang kerja ya, ayah mau makan dulu. Bening sudah makan kan?"

"Sudah kok. Oke yah, sini Bening bawakan."

Bening pun berlari riang ke ruang kerja ayahnya. Ini dia yang ia nantikan, sedikit kehangatan bersama ayah. Sedikit kebersamaan bersama orangtua. Sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah, otomatis kehangatan semacam itu hanya menjadi mimpi di siang bolong saja bagi Bening. Untungnya, mimpi itu kadang bisa ia lamunkan. Bisa ia imajinasikan.

Terlebih ketika melihat teman-teman di sekolahnya selalu diantar jemput oleh orangtua masing-masing, berlibur bersama setiap akhir pekan. Ini yang membuat Bening semakin sering melamun, baik di rumah maupun di sekolah. Juga sepanjang jarak di antara kedua tempat itu. Jarak yang bisa ditempuh hanya dalam lima belas menit berjalan kaki. Jarak yang seharusnya tidak melelahkan. Tapi setiap hari harus Bening tempuh, sendirian. Dan nyatanya itu sangat menyiksa.

Tadi siang, Guru Bahasa Indonesia memberikan semua murid sebuah buku dongeng. Buku itu harus dibaca, untuk kemudian masing-masing menceritakan ulang di depan kelas. Bening pun mendapat satu buku. Buku ini yang kemudian ingin ia jadikan alasan untuk menghabiskan waktu bersama ayahnya: Dongeng sebelum tidur. Untuk itulah Bening sengaja menunggu ayahnya pulang. Sehabis makan malam, Bening akan meminta ayahnya membacakan buku itu untuk mengantarkan Bening tidur.

Sebenarnya ia sendiri belum yakin ayahnya akan mengiyakan. Ajakan piknik, ajakan ke taman hiburan, ajakan ke toko buku, hingga permintaan untuk dijemput di sekolah, selalu saja ditolak dengan halus oleh ayah. "Rumah sakit ayah kekurangan dokter, sehingga banyak sekali pasien yang harus diperhatikan oleh ayah. Ayah belum bisa mencari waktu kosong. Bening sabar ya. Ini semua ayah lakukan demi Bening. Bening bisa mengerti kan?" Rasanya, kalimat itu sedemikian akrabnya di telinga Bening. Seakan terhipnotis, Bening selalu saja mengangguk selepas kalimat itu ayah katakan. Anggukan tanpa tenaga, tapi penuh kegetiran.

Meski begitu, kali ini Bening berharap banyak. Hanya sepuluh menit. Sekedar membacakan dongeng dari samping ranjang. Sekejap saja, kebersamaan antara ayah dan anak. Di mana ruang dan waktu hanya milik mereka berdua. Tanpa harus ada telepon, sms, atau apa pun yang memaksa ayahnya menduakan Bening dengan pekerjaan. Titik. Apakah mimpi Bening terlalu tinggi? Entahlah.

Bening membuka pintu ruang kerja ayahnya. Ia meletakkan tas ayahnya di meja. Sejurus kemudian ia melesat turun ke kamarnya, mengambil buku dongeng. Lalu ia pergi ke ruang makan. Duduk. Ia menemukan secarik kertas di tengah meja: "Bening, barusan ada telepon dari rumah sakit. Ada pasien darurat. Ayah harus ke rumah sakit. Kamu tidur saja ya, sudah malam. Sampai jumpa besok. Salam sayang, Ayah."

Bening bisa merasakan betapa terburu-burunya ayah saat menulis catatan itu. Bening bisa memahami ayah. Dengan langkah gontai, Bening kembali ke kamarnya. Ia kembali melamun di jendela kamarnya, sembari menatap bulan. Dalam hatinya Bening berharap bulan bisa menggantikan ayahnya membacakan buku untuknya. Dalam hatinya Bening bertanya, "Bulan mau kan?"

Bulan bisa mendengar harapan Bening. Namun bulan tidak bisa menjawabnya dengan kata-kata. Bulan hanya bisa bersedih. Kesedihannya ia tularkan pada kawan-kawannya. Langit menangis. Bintang sesenggukan. Angin pun meraung pilu. Tapi semuanya hanya penyanyi latar. Rintihan hati Bening tetap penyanyi utamanya. Dari balik selimut, tanpa suara...


Jakarta, 8 Juni 2010
Okki Sutanto
(ikut menjadi penyanyi latar)

Senin, 07 Juni 2010

(Cerpen) Pemakaman Sahabat

PEMAKAMAN SAHABAT

Dua abad berlalu sejak penanggalan suku Maya habis
Kini riwayatmu yang habis, sahabatku
Kau, yang telah sekian lama berkuasa
kini tinggal secoret tinta dalam lika-liku sejarah

Padam apimu sudah lama divisikan, terlebih sejak aku lahir
Orang-orang lebih memilihku, seakan kita berdua tidak bisa dipilih bersamaan
Padahal sejatinya,
kita berasal dari situasi yang sama kawanku, yakni penindasan.

Tapi itu pula yang lantas membedakan kita..
Aku berasal dari sejarah penindasan, dan terus melawan penindasan
Tidak sepertimu yang justru terlena dalam kemegahan kuasa,
dan tak sadar berbalik menciptakan penindasan

Aku tahu sebenarnya niatmu tak begitu,
Tapi apa daya, tabiat anak-anakmu sulit diatur
Sebagai ayah kau gagal, meski kumaklumi karena kau pun tak ber-ayah
Mereka pula yang bersikeras memanggilmu ayah, bukan kau yang meminta mereka

Lama aku mengajak anak-anakmu untuk bergandengan tangan
Keras perjuanganku meyakinkan mereka untuk menghirup udara dari bumi yang sama
Namun rupanya kejayaan masa lalu begitu sulit mereka lepaskan
Mereka lupa bahwa tidak selamanya kehidupan memiliki siklus

Kini aku menguasai dunia, kawanku
Meski itu bukan tujuanku
Dunia jauh lebih tenteram tanpamu, sahabatku
Meski itu bukan inginku

Salam hangat, wahai sahabatku...
Aku ucapkan hanya untukmu, Agama.



Salam,


Nalar.

------------------------------------------------------------------

Jakarta, 15 Mei 2010
Okki Sutanto
(masih mencoba melihat kedua sahabat itu bersamaan)

Minggu, 06 Juni 2010

(Cerpen) Rutinitas Kami

RUTINITAS KAMI

Entah sejak kapan, kami berenam sepakat untuk rutin berkumpul di tempat ini. Tidak begitu bagus memang tempatnya, tapi tidak begitu jelek juga. Setidaknya kami memiliki ruang untuk melepas penat, berbicara banyak tentang kenangan bersama masa SMA, berbicara mengenai pekerjaan sekarang, keluarga, dan lain sebagainya. Tidak mudah bagi kami untuk berkumpul, mengingat kepadatan jadwal masing-masing dari kami.

Kami tidak pernah berjanji atau membuat kesepakatan, bahwa kami akan rutin berkumpul di sini. Ini semua terjadi alami begitu saja. Tanpa diutarakan secara verbal, kami tahu ini sudah menjadi tradisi kami. Dan kami juga tahu, bukan hanya kami yang rutin berkumpul di sini untuk bercengkrama, jauh sebelum kami sudah banyak yang melakukannya. Mungkin karena suasana tempat ini yang begitu nyaman. Mungkin karena kemudahan akses. Mungkin karena musik yang disuguhkannya. Entahlah, aku enggan untuk menganalisis.

Hari ini kami sedang membicarakan tentang masalah di tempat kerja masing-masing. Ada Rudi yang mulai mengeluhkan bawahannya yang sulit diatur. Ada masalah Alvin dengan pemilik saham di perusahannya. Ada juga Linggo yang sedang kesulitan menyusun Sistem Komputerisasi di perusahaan multinasional. Sebenarnya tidak semua masalah yang diutarakan di sini akan menemui solusi, namun setidaknya kami tahu bahwa kami tidak sendiri ketika menghadapi masalah. Itu sudah cukup.

Hal lain yang membuat kami senang untuk berkumpul di sini adalah karena tempat ini ramai. Cukup banyak orang berlalu lalang yang bisa kami komentari penampilannya. Tak jarang kami juga mencoba menggoda Mario, satu-satunya di antara kami yang masih lajang, dengan mencoba memperkenalkannya dengan pengunjung wanita yang menurut kami menarik. Biasanya sih berakhir dengan kegagalan, karena Mario terlalu pemalu untuk itu. Tak peduli, kami toh akan tetap membantunya lain kali.

Pembicaraan baru mulai menghangat ketika Arthur melemparkan topik liburan bersama ke luar negeri. Kami cukup antusias mendengarnya. Liburan bagaikan fatamorgana di tengah kepadatan kami saat ini. Masing-masing mulai mengutarakan ide dan pendapatnya. Mulai dari tujuan liburan hingga waktunya. Mulai dari acara hingga budgetnya.

Namun kami harus menunda pembicaraan kami ke kesempatan lain, seperti biasa. Bagaimana pun, kami tidak bisa terus menghabiskan waktu di sini. Ada keterbatasan waktu yang kami miliki.

Lagi pula, kebaktian hari ini sudah usai. Gerbang gereja akan segera ditutup.

---------------------------------------------------------
Jakarta, 25 Maret 2010.
Okki Sutanto
(merasa ini tidak sepenuhnya fiksi)

Sabtu, 05 Juni 2010

(Cerpen) Gerombolan Itu...

GEROMBOLAN ITU

Warga kampung SULITMAJU resah. Beberapa bulan belakangan, ada gerombolan perampok yang beraksi di kampung mereka. Awalnya hanya merampok warga yang sedang lengah. Lama-kelamaan, mereka makin berani dalam melancarkan aksinya. Ada perampokan yang disertai tindak kekerasan, tak jarang pula yang disertai pemerkosaan. Sebagian warga berhasil dinodai dan direnggut kehormatannya.

Intinya, makin hari mereka makin beringas dan terang-terangan! Mungkin karena para aparat kurang sigap menghadapi mereka. Atau dari kabar angin yang beredar, ada oknum aparat yang membantu mereka.

Berbagai cara dilakukan warga untuk menghentikan aksi mereka. Namun tidak ada yang berhasil. Mereka licin, sulit tersentuh. Warga yang lumayan kaya masih agak beruntung, dengan membayar sejumlah uang, mereka dilindungi dan lolos dari kekejaman gerombolan tersebut. Sisanya yang kurang beruntung? Wah, tinggal menunggu giliran saja.

Kemarin ada berita baik (?), gerombolan itu masuk televisi! Kabarnya sih, habis Rapat Paripurna.............

----------------------------------------------------------------------------

Jakarta, 13 Maret 2010.
Okki Sutanto
(sepertinya tergolong warga yang kurang beruntung)

Selasa, 01 Juni 2010

Buku, Sastra, dan Budaya Baca

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Tidak banyak yang tahu bahwa 17 Mei adalah Hari Buku Nasional. Sejak dicanangkan pada tahun 2002 oleh Menteri Pendidikan kala itu, Abdul Malik Fajar, memang tidak banyak pihak yang menunjukkan kepeduliannya. Tahun ini pun hampir tidak ada pihak yang mengadakan suatu kegiatan khusus. Bahkan toko-toko buku terkemuka ikut bergeming. Jangankan diskon buku, sekedar pemberitahuan bahwa hari ini adalah Hari Buku Nasional saja tidak ada. Padahal, sejak tahun 1958 beberapa tokoh mendesak diadakannya Hari Buku Nasional justru untuk menaikkan minat baca masyarakat. Harapan mereka, setidaknya sekali dalam setahun toko buku penuh sesak oleh masyarakat yang ingin membaca dan membeli buku.

Mungkin orang-orang berpikir buku tidak akan membawa kita kemana-mana. Buku hanya berisi teks yang sulit dipahami. Buku hanya menghabiskan waktu saja. Buku inilah. Buku itulah. Padahal, pepatah lama yang berbunyi: "Buku adalah Jendela Dunia" masih tetap berlaku hingga kini. Bahkan dalam daftar "100 Tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah" versi Michael Hart, sepuluh tokoh teratas berkaitan erat dengan Buku. Muhammad, Yesus, Buddha, Konfusius, serta Santo Paulus, jelas sekali pengaruhnya disampaikan lewat buku / kitab suci. Newton dan Einstein sebagai ilmuan terkemuka pada zamannya banyak membaca dan menulis buku. Ts'ai Lun dan Johann Gutenberg bahkan diberikan peringkat 7 dan 8 karena mereka berturut-turut menemukan kertas dan mesin cetak, cikal bakal buku.

Bicara tentang buku, sedikit banyak membuat kita bersentuhan dengan sastra. Agus Wibowo, dalam artikelnya di Kompas 15 Mei 2010 lalu, menuliskan hipotesa yang cukup menarik terkait hubungan sastra dengan kemajuan bangsa. Ia memaparkan bagaimana negara-negara dengan tingkat kemajuan teknologi tinggi, memiliki banyak sastrawan besar di negara mereka masing-masing. Jerman memiliki Goethe dan Hesse. Inggris dengan Shakespeare dan Frost. Rusia dengan Pushkin dan Tolstoy. Bahkan Cina dan India memiliki Lu Shun, Wang Wei, Rabindranath Tagore, dan lain sebagainya.

Dalam artikel berjudul "Sastra, Imajinasi dan Pendidikan Kita" tersebut, Agus mengemukakan bahwa dengan menggeliatnya sastra di suatu negara, secara tidak langsung menstimulasi masyarakat dan kaum intelektualnya untuk menjadi kreatif, imajinatif, dan inspiratif. Dari sanalah lantas muncul pemikiran-pemikiran brilian, penemuan-penemuan hebat, dan sebagainya. Dan dari orang-orang seperti itu jugalah, kemajuan suatu bangsa diwujudkan.

Lantas, bagaimana penghargaan terhadap buku dan sastra di Indonesia? Menurut hemat saya, buku dan sastra belum mendapat porsi yang sepantasnya di negeri ini. Warnet, mal, dan tempat hiburan jauh lebih populer dibandingkan perpustakaan dan toko buku. Ambillah contoh mahasiswa. Jauh lebih mudah bagi sebagian besar mahasiswa untuk menyebutkan merk handphone terbaru atau artis populer yang sedang hangat, dibanding menyebutkan nama sastrawan dalam negeri.

Jika menilik Human Development Index (HDI) milik UNDP, yang indikator utamanya adalah tingkat melek huruf, Indonesia berada di posisi yang memalukan. Bahkan pada tahun 2003 Indonesia berada di posisi 112 sedangkan Vietnam di posisi 109. Akan tetapi, apakah rendahnya tingkat melek huruf lantas menyebabkan bangsa ini malas membaca dan tidak menghargai sastra? Ternyata di kalangan intelek macam mahasiswa dan dosen pun, membaca masih belum dijadikan suatu gaya hidup.

Tidak mudah memang mengubah kebiasaan ini. Terlebih lagi, di Indonesia budaya instan sudah merasuk ke sukma setiap anak bangsa. Segala hal yang memakan waktu akan dianggap "haram", termasuk membaca. Belum-belum menyentuh sebuah buku, umumnya orang sudah membayangkan betapa lamanya buku itu akan dibaca. Malas. Enggan. Padahal, salah seorang tokoh pemerhati perkembangan anak, Gleen Doman (1991), dengan lantang menyatakan bahwa membaca adalah fungsi paling penting dalam kehidupan manusia. Semua proses belajar membutuhkan kemampuan membaca. Bagaimana kita bisa belajar dan berproses, jika membaca saja enggan? Bagaimana kita ingin menghasilkan sesuatu yang hebat, jika otak ini tak pernah diisi oleh hal-hal bermanfaat yang ada di buku?

Menulis hal ini, mau tak mau saya teringat akan perkataan seorang dosen:"Makanya banyak baca, GOBLOG!!

Jadi.... Mari kita membaca.. =)


Jakarta, 17 Mei 2010
Okki Sutanto
(memilih menghabiskan honor asdos dengan memborong 5 buku hari ini)

Senin, 31 Mei 2010

(Cerpen) Aku dan Pak Iman

AKU DAN PAK IMAN

Semua orang yang mengenal Pak Iman, pasti menyukai beliau. Mulai dari murid-muridnya, bekas murid-muridnya, hingga rekan-rekan guru di sekolahnya. Rasanya Pak Iman cocok dijadikan panutan oleh semua orang. Ibarat malaikat, ia tidak memiliki suatu kekurangan apa pun. Pintar, beriman (sebagaimana namanya), jujur, dan segala kata sifat baik-baik lainnya rasanya cocok disematkan untuk beliau. Andai ada pemilihan guru teladan tahun ini, sudah bisa dipastikan Pak Iman juara satunya, juara duanya, dan juara tiganya. Tidak ada saingan.

Hingga kini tidak pernah ada yang menyangkal karisma Pak Iman. Semua orang menghormati dan mengaguminya, begitu pula aku. Kepadanyalah aku bertanya jika kesulitan mengerjakan pe er. Kepadanyalah aku bercerita ketika mengalami kesulitan. Kepadanya juga aku belajar banyak hal. Pak Iman adalah gambaran ideal bagiku dan rekan-rekan seumuranku. Aku ingin menjadi seperti Pak Iman!

Namun semuanya berubah malam itu. Tatkala aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, hal yang mungkin tidak akan pernah kupercaya, tapi mau tak mau kupercaya. Berawal dari pertengkaran kecil dengan istrinya, ia lantas memukul istrinya. Belum puas, ia memukul lagi, menendangi, menjambak, hingga meludahi istrinya. Puncaknya ketika ia mendorong sang istri yang memberikan perlawanan. Tak sengaja, kepala sang istri terbentur sudut meja. Istrinya jatuh, terkapar, lantas tak sadarkan diri, untuk selama-lamanya.

Sejak kejadian itu semuanya berubah. Semua hal baik tentang Pak Iman terhapus dalam sekejap. Dari pujaan jadi hinaan. Ia dipecat, lantas dipenjara. Desas desusnya, Pak Iman mengalami gangguan psikologis berat, justru karena tuntutan yang ia terima dari lingkungannya. Entah apa nama gangguan itu, aku tak peduli. Yang jelas, sejak saat itu Pak Iman bukan ayahku lagi.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jakarta, 11 Maret 2010
Okki Sutanto.
(tidak ada hubungan sama sekali dengan orang bernama Pak Iman)

Tentang "Being Stood Up"

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Tidak mudah mencari padanan kata untuk "Being Stood Up". Kurang lebih: ditelantarkan oleh orang yang sudah berjanji dengan kita. Dua film terakhir yang saya tonton, menceritakan tentang bagaimana "being stood up" bisa berakibat sangat fatal. Dalam film "THE WRESTLER", ketika Randy tidak sengaja lupa janji makan malam dengan putrinya, ia kehilangan kesempatan mendapatkan kasih sayang putrinya kembali. Dalam film "IT'S COMPLICATED", ketika Jake tidak bisa memenuhi janjinya kepada Jane, mantan istrinya, pintu untuk rujuk kembali pun tertutup untuk selamanya.

Mungkin ada pandangan: "Masa iya satu kesalahan saja sebegitu sulitnya termaafkan, dan berakibat sedemikian fatal?" Jawabannya adalah "YA". Coba kita bayangkan, ketika orang yang sangat kita sayangi berjanji akan menemui kita di suatu tempat. Kita berharap sesuatu yang indah akan terjadi. Kita menyiapkan segala sesuatunya. Kita datang ke tempat yang dijanjikan. Satu menit, lima menit, dan satu jam pun berlalu. Orang yang kita nantikan tidak kunjung datang. Sendirian, tercampakkan, terlupakan. Segala pengharapan kita hancur. Percayalah, tidak mudah menghadapinya. Dan ketika orang tersebut dengan polos berkata "Maaf", apa mudah untuk menerimanya? Belum tentu.

Inti dari pengalaman "being-stood-up" di atas adalah membuat orang lain kecewa, karena kita menjanjikan sesuatu yang melebihi kapasitas kita. Randy berjanji untuk meluangkan waktu bagi anaknnya, namun ia lupa keterbatasannya untuk memiliki agenda sehari-hari di tengah kehidupan urakannya. Jake berjanji datang ke rumah Jane, namun ia lupa bahwa ia masih memiliki istri dan anak yang harus diurus di rumahnya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin seringkali kasus-kasus di atas disebabkan karena satu hal: Overcommit. Kita kadang terlalu berkomitmen terhadap berbagai hal, di mana kita belum tentu bisa memenuhi hal tersebut. Kita terlalu yakin pada diri sendiri, untuk bisa melakukan berbagai hal dengan sempurna. Hal ini kerap kali melanda mahasiswa. Di tengah krisis identitas dan minimnya kemampuan menakar diri sendiri, bisa saja seorang mahasiswa berkomitmen terhadap terlalu banyak hal. Organisasi A, Organisasi B, Asisten Dosen C, Asisten Dosen D, Kegiatan E, Kegiatan F, Urusan G, Urusan H, dan lain sebagainya. Seru memang, mengeksplorasi kemampuan diri di berbagai bidang. Tapi kadang kita harus bisa menakar diri sendiri. Dan ketika memperhitungkan kemampuan diri, janganlah secara parsial! Oke saya bisa-bisa saja ikut di organisasi A. Oke saya bisa-bisa saja aktif di kegiatan B. Oke saya fine-fine saja jadi pengurus C. Tapi, apa yakin saya bisa menjalankan kesemuanya sekaligus?

Acap kali kita terlalu menyederhanakan masalah. "Tidak apa saya komit ke berbagai hal, toh kalau keteteran juga saya sendiri yang rugi." Pandangan simplistic ini sering membawa "neraka-dunia" pada orang-orang di sekitar kita. Jangan lupa bahwa kita adalah makhluk sosial, dengan pola interaksi dan ketergantungan yang kompleks dengan sesama kita. Ketika kita alpa / lupa / lalai / tidak bisa melakukan suatu hal yang menjadi tanggung jawab kita, bisa saja kita mengecewakan orang lain sebagaimana kasus "being-stood-up" di atas. Dampaknya fatal.

Mungkin sedari sekarang kita harus mulai memikirkan masalah ini. Kita harus mulai sadar, bahwa sebuah tanggung jawab tidak sekedar memiliki dampak personal, seringkali ia bisa berimbas sosial. Ada baiknya kita ingat kembali kalimat bijak dari film Spiderman: "With great power comes great responsibility". Benar begitu bukan?

Jakarta, 14 Mei 2010
Okki Sutanto
(hanya mengajak ber-refleksi, bukan meragukan, apalagi menuduh orang lain overcommit)

Bangsa Artifisial

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Beberapa tahun belakangan, makin marak tayangan televisi yang mengusung konsep Reality Show. Ada yang mengarah ke investigasi, romantisme, hingga konseling perkara rumah tangga. Menarik memang, biasanya malah jika ada satu acara yang sukses (ratingnya), stasiun televisi lainnya ikut membuat acara serupa. Alhasil, makin banyak acara-acara Reality Show menghiasi layar kaca setiap harinya.

Jujur, saya amat jarang menonton televisi, jadi saya rasanya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari bibit-bebet-bobot berbagai tayangan tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah isu di balik reality show tersebut. Diskusi di milis, forum, dan di berbagai pelosok mengajukan pertanyaan: "Benarkah apa yang ditayangkan di televisi benar-benar kenyataan?". Kerap kali orang sangsi, apa yang mereka saksikan adalah kenyataan. Mereka menduga bahwa berbagai tayangan tersebut tidaklah benar-benar terjadi, hanya sekedar rekayasa. Pernah suatu kali saya membaca tulisan yang dibuat oleh "orang-dalam" televisi, yang menyatakan bahwa memang apa yang ditayangkan itu tidak sepenuhnya realita. Memang ada kasus-kasusnya, tapi yang disajikan di televisi itu hanya reka ulang. Reka ulang pun kerap kali sudah dibumbui dengan dramatisasi yang berlebihan. Intinya: tayangan-tayangan tersebut sebatas artifisial, buatan.

Beralih ke tayangan televisi lainnya, yakni acara musik. Beberapa stasiun televisi menyajikan acara musik yang disiarkan langsung setiap pagi. Ada pembawa acara, ada band yang diundang, ada penonton yang memeriahkan acara. Ternyata, tayangan seperti ini pun hanyalah artifisial belaka. Band yang menyanyi hanya memutar rekaman yang sudah dibuat sebelumnya. Lebih parah lagi, penonton-penontonnya pun artifisial juga! Di salah satu surat kabar, saya pernah membaca liputan, bahwa orang-orang yang menonton acara televisi tersebut, memeriahi panggung, berteriak-teriak, semuanya bukan sungguhan. Mereka bukan fans dari band / penyanyi yang diundang, tapi mereka adalah penonton-penonton "bayaran", yang dari hari ke hari berpindah-pindah lokasi "syuting". Bahkan kegiatan mereka pun sudah terorganisir dengan baik, ada makelar / manager yang memberikan order. Makelar inilah yang dihubungi oleh penyelenggara acara. Mereka tinggal menerima telepon massa, lantas penonton pun berangkat ke lokasi "syuting". Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan 100-200 massa setiap harinya, dan memiliki "katalog" massa yang bisa disesuaikan dengan acaranya, mau yang muda, tua, rapih, rusuh, ada semua.

Nah, semalam di salah satu stasiun televisi, saya menyaksikan lagi bisnis makelar manusia. Kali ini, lingkupnya bukan penonton acara musik lagi. Kali ini adalah pendemo. Ya, pendemo! Yang melakukan aksi unjuk rasa, berteriak-teriak di bundaran H.I, di gedung MPR DPR, di sekitar Monas, dan lain sebagainya. Massa tersebut juga ternyata memiliki makelar yang mengkoordinir. Para "oknum" / "dalang" / "biang" yang memiliki kepentingan politis untuk mengadakan demonstrasi tinggal menghubungi makelar tersebut. Bayaran per pendemo berkisar antara 10-15ribu. Bayaran ini bisa meningkat, tergantung tingkat aksi yang di-pesan. Jika aksi damai, bayaran murah. Jika aksi agak rusuh, seperti menggoyang-goyangkan pagar, lebih mahal. Mau aksi anarkis, bayaran paling mahal, bisa mencapai 50ribu per pendemo. Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan ratusan hingga ribuan massa. Dalam sekali aksi, mereka mendapatkan bayaran 30-50juta, belum termasuk biaya akomodasi bagi pendemo. Keuntungan sang makelar per event kurang lebih hanya 10-15% saja. Sisanya untuk membiayai aksi demo.

Menilik berbagai uraian di atas, menarik bukan tren kehidupan artifisial di Indonesia? Entah sejak kapan, makin banyak hal-hal yang tidak asli, hanya tiruan saja, di negeri ini. Entah sampai kapan, bangsa ini mau menjadi bangsa artifisial. Menonton televisi, isinya reality show "buatan". Mau nonton konser musik, isinya penonton "buatan". Melihat demo di jalanan, ternyata pendemonya pun "buatan". Wah, makin lama makin susah membedakan mana yang asli dan mana yang buatan. Jangan-jangan, presiden saya juga buatan doang? Hahahaha.. Semoga saja tidak.

Jakarta, 11 Februari 2010
Okki Sutanto
(mulai ragu otak-nya buatan atau aseli)

Punahnya Pejabat Bersih

Ketikan Pinggir Hari Ini

Acap kali kita prihatin, mempersoalkan mengenai “busuk”nya para pejabat. Sebut saja beberapa perilaku “biadab” mereka yang membuat hati siapa pun yang melihatnya miris: membeli mobil dinas baru masing-masing berbanderol RP 1.3M, meloloskan pembelian pesawat kepresidenan seharga ratusan miliar, hingga ke pelbagai perilaku non-etis yang menghiasi sidang Pansus Bank Century.

Menyikapi hal tersebut, sering muncul kebingungan mengapa para pejabat sedemikian payahnya. Mereka selalu mengedepankan kepentingan individu dan golongan, tanpa berkontribusi optimal memajukan kesejahteraan bangsa ini. Korupsi terus dibudidayakan, kenyamanan pejabat terus diupayakan, tapi kinerja tidak pernah maksimal. Coba saja sebut, bidang apa di negeri ini yang patut diacungi jempol? Olahraga nol besar, Ekonomi merangkak, Lingkungan Hidup sekarat, Pendidikan hancur lebur, Kesehatan memprihatinkan, dan seterusnya.

Menurut hemat penulis, penyebab jarangnya orang-orang bersih, baik, pro-rakyat, dan bersungguh sungguh memajukan negri ini ada 2, yakni Buruknya citra politik di Indonesia, dan Terlalu kuatnya budaya politik di Indonesia.

Buruknya citra politik

Setiap orang tentu memiliki pengetahuan sebelumnya terhadap profesi yang akan dipilihnya. Misalnya saja, tidak mungkin seseorang mau menjadi dokter tanpa tahu apa itu dokter dan bagaimana pekerjaan dokter. Nah, di sinilah sumber masalahnya. Citra penyelenggara negara tidak pernah bagus semenjak masa Orde Baru. Yang mengemuka bukanlah bahwa tujuan pekerjaan mereka memajukan bangsa dan negara, melainkan kemudahan-kemudahan hidup yang akan didapatkan ketika menjadi pejabat: Kinerja yang tidak dikontrol ketat, gaji dan tunjangan yang nilainya tinggi, serta fasilitas-fasilitas khusus yang didapatkan. Hasilnya, ketiga hal tersebutlah yang menjadi sasaran ketika seseorang mau menjadi pejabat. Alhasil, orang-orang “kotor”lah yang memasuki lingkarang penyelenggara negara. Orang-orang yang bersih, jujur, dan memiliki idealisme, justru menjadi ANTI terhadap dunia politik. Mereka menjaga jarak, mengkritik penyelenggara negara dari lingkar luar kekuasaan.

Kuatnya budaya politik

Buruknya citra politik nasional tidak serta merta menyebabkan seluruh politikus menjadi busuk. Faktor kedua yang menyebabkan punahnya pejabat bersih adalah terlalu kuatnya budaya politik di Indonesia yang sudah “terinfeksi”. Dalam salah satu karya Yuma Ando, “KUNIMITSU”, terdapat ilustrasi yang sempurna bagaimana seorang politikus bersih menjadi kotor seiring ia mengenal dunia politik. Politikus tersebut pada awalnya memiliki ambisi, idealisme, dan visi membangun bangsa. Pada awal karir politiknya, ia meneguhkan hati bahwa ia harus memiliki jabatan tinggi, lantas setelah itu barulah ia akan mengubah negaranya. Namun, di tengah perjalanan karir politiknya, ia mau tidak mau harus mengikuti “aturan-main” yang sudah ada sejak lama. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan terpaksa ia lakukan agar ia bisa diterima di dunia politik, dan karirnya akan menanjak. Lambat laun, praktik kotor itu mendarah daging dalam dirinya. Memang, pada akhirnya ia mendapatkan karir yang bagus di dunia politik, namun ternyata ia sudah kehilangan tujuan awalnya berkecimpung di dunia politik.

Bukannya mengubah negara melalui dunia politik, dunia politiklah yang mengubah seseorang yang bersih menjadi korup. Hal ini juga yang terjadi di Indonesia. Mereka yang bersih pada akhirnya harus mengikuti budaya yang telah terbentuk di dunia politik. Jika tidak, mereka tersisih. Hanya sedikit yang berhasil menerobos arus budaya yang sudah demikian kuatnya. Alhasil, hampir seluruh pejabat di negeri ini morbid, sakit!

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara memutus “lubang-hitam” politik ini? Bisakah? Jawaban optimisnya tentu bisa. Jawaban realistisnya: HAMPIR MUSTAHIL. Untuk merubah citra dunia politik, mau tidak mau budaya politik harus diperbaiki. Dan untuk memperbaiki budaya yang telah mengakar, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita membutuhkan orang-orang bersih yang mau berkecimpung di dunia politik untuk memperbaiki budaya di sana. Untuk membentuk orang-orang bersih tersebut, dibutuhkan “lembaga” pendidikan yang bisa mencetak orang-orang teguh, kompeten, dan peka terhadap masalah bangsa. Masalahnya, adakah “lembaga” pendidikan tersebut? Tidak.

Jakarta, 1 Februari 2010
Okki Sutanto
(hanya bisa prihatin)

Pancasila Sekarang

Ketikan Pinggir Hari Ini

Pancasila tidaklah diciptakan, melainkan digali. Mungkin fakta ini sudah kita ketahui melalui pelajaran Sejarah ataupun Pancasila sewaktu sekolah menengah. Mungkin juga kita sekedar tahu fakta tersebut, tanpa memahami makna lebih lanjutnya. Berdasar dari sana, maka Pancasila sama seperti umbi-umbian dalam dua hal: merupakan hasil dari jerih payah, serta bisa diolah lebih jauh lagi.

Jika umbi-umbian merupakan jerih payah petani, maka Pancasila adalah hasil jerih payah sejarah bangsa ini sendiri. Jika umbi-umbian setelah digali akan diolah untuk memiliki nilai guna lebih, demikian pula hendaknya Pancasila. Ia tak butuh di’sakti’-kan, ia tak butuh di-‘mulia’-kan. Sama seperti umbi-umbian, Pancasila berasal dari, oleh, dan untuk rakyat itu sendiri.

Kesalahan fatal memaknai Pancasila terjadi di zaman Orde Baru. Pancasila dimuliakan, disaktikan, diluruskan, dan dilindungi sedemikian rupa hingga tafsir penguasa lah yang dianggap paling benar. Hal ini membuat banyak orang menjadi fanatik akan Pancasila, dan menganggap tabu, bahkan haram, untuk merevisi Pancasila.

Semua sila dalam Pancasila sejatinya baik dan benar, tidak ada yang membantah. Akan tetapi apa penting kita memiliki Pancasila yang dihormati sebatas simbol belaka tanpa pengamalan dan pengimplementasian? Apa masih ada jiwa Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari?

Mari kita tilik kelima sila tersebut. Pertama, KeTuhanan yang Maha Esa. Hingga detik ini, persatuan dan toleransi antar umat beragama masih belum pantas diacungi jempol. Masing-masing agama sendiri, terutama yang mengusung konsep keTuhanan, belum mampu menghasilkan umat yang berbudi luhur. Bahkan tak sedikit yang menelikung sila pertama ini menjadi “Tuhan-kuyang paling Esa”. Belum lagi Pejabat korupsi, Mahasiswa tawuran, Masyarakat berkonflik, Kriminalitas meningkat, di mana ke-ESA-an Tuhan kita masing-masing jika begitu?

Sila berikut membahas mengenai Kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradabkah kita, ketika menyumpahserapahi sesama rekan dewan di ruangan negara, disiarkan televisi nasional? Beradabkah kita saling serobot di jalan raya, bahkan tak peduli keselamatan orang lain? Adilkah kita saat tahanan lain berdesak-desakan dalam satu sel, namun kita memiliki sel bak kamar hotel bintang lima?

Sila berikutnya berbunyi: “Persatuan Indonesia!”. Sudah bersatukah kita? Di saat masing-masing partai mengusung negara utopia sendiri. Di saat begitu banyaknya aliansi, kelompok, golongan, ikatan, dan lain sebagainya yang demikian banyak padahal memiliki tujuan yang sama? Juga di saat intra golongan pun harus bentrok dan terjadi perpecahan.

Sila keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Adakah mufakat dan kebijaksanaan ketika yang benar adalah mereka yang berkuasa? Adakah keterwakilan yang benar-benar mewakili rakyat? Omong kosong dengan Dewan Perwakilan Rakyat, mereka adalah Utusan Wakil Partai, dengan kepentingan golongan, dengan tujuan individu.

Sila kelima sekali lagi membahas keadilan: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adilkah bangsa ini ketika mahasiswa berprestasi dibunuh di negeri tetanga tanpa investigasi dan pemberitaan memadai? Juga ketika orang yang kebetulan terkenal mengupdate twitter dengan kata makian, berita itu justru menghiasi layar televisi berminggu-minggu? Adilkah bangsa ini saat pencuri kakao dan pencuri kapas dengan harga di bawah sepuluh ribu rupiah dibui, ketika korupsi miliaran bahkan triliunan berlangsung tanpa ada yang diadili? Absurd nian 'keadilan' di negeri ini.

Jika demikian adanya pengamalan Pancasila di negeri ini, masih sakti-kah Pancasila kita? Jika tidak, harus bermuram durjakah kita memandang kondisi bangsa ini? Tidak juga. Setidaknya kita bisa bersyukur atas satu hal: bersyukurlah Pancasila digali saat awal kemerdekaan, bukan saat ini. Bayangkan apa yang bisa dijadikan Pancasila tatkala carut marut persoalan negara tak hentinya menggerus moral bangsa saat ini.

Namun bersyukur saja tidak cukup. Kita bisa mulai memaknai dan mengamalkan Pancasila, membangkitkannya kembali. Mulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri kita sendiri, mulai dari saat ini. Jikalau generasi ini sudah demikian bebal untuk mengerti makna Pancasila, setidaknya kita bisa mengajarkannya pada anak-cucu kita nantinya. Sehingga muncullah generasi baru yang berjiwa Pancasila, yang mampu menahkodai lagi bangsa ini ke arah yang benar.

Jakarta, 14 Januari 2010.
Okki Sutanto
(sedikit banyak terinspirasi dari Caping Goenawan Mohammad)

Ketika Sang Waktu Berlari

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sudah cukup lama jemari ini tak mengetik. Selain karena kondisi pikiran yang tak mendukung untuk menulis, waktu yang sedemikian sempit juga rasanya tak memungkinkan. Akhirnya bulan menulis (khusus bagi diri saya) kemarin, saya tidak berhasil mencapai target 30 tulisan. Ketikan Pinggir bulan lalu hanya 18 tulisan (http://www.facebook.com/notes.php?id=1417375192&start=10). Tak apalah, toh selanjutnya saya akan terus menulis. hehe..

Waktu. Ia tak pernah bisa memuaskan banyak orang. Sebagian merasa waktu dalam sehari terlalu banyak. Lainnya merasa terlalu sedikit (termasuk saya). Tak jarang ketika melewati danau di dekat rumah, saya melihat banyak sekali orang menghabiskan waktu di sana saat jam kerja. Hanya untuk duduk-duduk, melihat orang memancing, atau menyantap es kelapa. Mulai dari anak muda, karyawan kantoran, hingga yang sudah mulai beruban, bisa dijumpai di danau tersebut. Kadang juga ketika melintas di flyover-flyover ibu kota, saya melihat orang-orang memarkirkan motornya di puncak flyover. Lalu berhenti dan melihat ke jalanan di bawahnya. Sambil bengong, kadang sambil merokok.

Mungkin bagi orang-orang tersebut waktu dalam sehari terlalu banyak. 24 jam kelebihan, cukup lah 15-20 jam! Wong kerjaan aja gak ada koq. Ngapain sih ampe 24 jam? hahaha..

Namun bagi kelompok lainnya, 24 jam sangatlah tidak mencukupi. Tugas, Pekerjaan, dan Aktivitas-aktivitas lainnya seakan berkejaran tanpa lelah. Jangankan tidur berkualitas, bisa tidur 6 jam saja sudah sangat bersyukur rasanya. Jangankan meluangkan waktu untuk bersenang-senang, bisa memejamkan mata sejenak tanpa diganggu urusan lain pun sudah nikmat rasanya. Waktu rasanya terus berlari, dan ia tanpa sadar membuat kita ikut berlari juga.

Sempat terlintas pikiran nyeleneh ketika memikirkan ironi waktu ini. Andai ada alat untuk barter waktu! Jadi waktu dalam sehari dapat ditukarkan antar individu. Orang yang merasa 24 jam terlalu banyak bisa menyumbangkan waktunya ke orang-orang yang merasa 24 jam terlalu sedikit. Begitu pula sebaliknya. Sehingga tidak ada lagi yang tidak puas dan memprotes sang waktu. Semua senang, semua enak.

Ah! Lagi-lagi hanya angan belaka. Mungkin memang sudah demikian adanya diatur oleh sang empunya waktu. Mungkin ada makna yang jauh lebih besar yang belum bisa kita pahami, mengapa waktu harus seperti itu. Mungkin, dan hanya mungkin...

Jakarta, 1 November 2009.
Okki Sutanto
(mungkin terinspirasi oleh doraemon)

P3K: Pak Presiden, Perhitungkanlah Kami!

Ketikan Pinggir Hari Ini

Presiden dan kabinet yang baru, akhirnya dilantik 20 Oktober yang lalu. Meski tidak sempat mengikuti rangkaian acara dan seremoni tersebut melalui layar televisi, namun saya tetap berusaha mencari tahu berbagai hal tentang hari tersebut. Salah satunya adalah dengan mencari skrip pidato pelantikan presiden. Untungnya tidak perlu lama mencari dan saya menemukannya di: http://www.tvone.co.id/berita/view/25865/2009/10/20/isi_pidato_pelantikan_presiden_sby

Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, pidato tersebut isinya terlampau diplomatis. Hanya hal-hal umum yang sudah diketahui semua orang, formalitas belaka. Jauh dari detil dan gambaran konkrit! Bahkan pidato pelantikan Dekanat fakultas saya pun jauh lebih baik dan inspiratif. Ada satu hal yang cukup menjadi pertanyaan saya: 'Bagaimana ya peran generasi muda (lebih spesifik: mahasiswa!), di mata pak presiden?'. Koq sepertinya isu ini tidak pernah tersentuh ya? Baik saat kampanye, debat, bahkan hingga pidato pelantikan presiden tersebut.

Tidak usah diragukan lagi, betapa potensi yang dimiliki generasi muda bangsa ini adalah suatu hal yang membanggakan. Kita hanya terlalu rendah diri untuk mengakuinya, termasuk pemerintah. Mungkin ini pula yang kemudian membuat pemerintah enggan memberikan perhatian lebih pada generasi muda, dan pada akhirnya memberikan mereka ruang bebas untuk berkembang sendiri, sedemikian bebasnya hingga bisa kata 'diacuhkan' terasa lebih tepat. Pendidikan tidak pernah diperhatikan secara serius. Menteri pendidikan sebelumnya orang berlatar belakang ekonomi. Menteri saat ini? Hibah-an dari departemen komunikasi! Yang bahkan sempat menjadi menteri pariwisata ad-interim. Lantas pertanyaannya, di mana sih sebenarnya lahan keahlian orang ini? Koq seperti superman yang bisa melakukan semua hal. Oke, tidak perlu terlalu dalam membahas menteri tersebut, cukup sedangkalnya saja.

Kembali ke masalah generasi muda tadi. Sudah rahasia umum bahwa generasi muda memiliki berbagai kelebihan dibanding pendahulunya. Pemahaman yang lebih terhadap teknologi, Kemampuan berpikir kreatif dan inovatif, Kekritisan, serta Kinerja otak yang jelas lebih baik (sebuah artikel menyebutkan setiap harinya terdapat ribuan sel otak yang mati. Tentu hal ini secara tidak langsung membuat generasi muda berpikir lebih baik daripada generasi pendahulunya). Terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki generasi muda saat ini, tetap tidak bijak untuk mengesampingkan peran dan potensi yang bisa mereka sumbangkan.

Alangkah indahnya, jika pemerintah menggandeng generasi muda untuk bersama-sama memajukan negeri ini. Tidak perlu muluk-muluk dan langsung ingin berjalan beriringan. Semua bisa dimulai dari kerja sama yang sederhana. Pemerintah bisa mulai menjalin kerja sama dengan berbagai universitas untuk menghasilkan banyak hal. Misalnya jika seluruh departemen ingin membuat situs internet, kerja samalah dengan universitas yang jurusan unggulannya di bidang informatika. Misalkan pemerintah ingin meningkatkan perekonomian di sebuah pedesaan, libatkanlah mahasiswa-mahasiswa ekonomi dari universitas-universitas yang terbukti unggul. Proyek di bidang kesehatan? Libatkanlah mahasiswa kedokteran, keperawatan, farmasi, dan lain sebagainya. Ingin mendalami dan mengatasi konflik di berbagai daerah? Libatkanlah mahasiswa FISIP. Ingin membuat iklan untuk promosi pariwisata? Mintalah bantuan mahasiswa jurusan disain komunikasi visual. Yakin deh, hasilnya akan jauh lebih baik daripada proyek iklan setengah hati seperti sekarang. Mau menerapkan peraturan / undang-undang baru? Libatkanlah mahasiswa hukum. Mau melakukan perubahan budaya dan membentuk perilaku baru di masyarakat? Percayakanlah pada mahasiswa jurusan Psikologi.

Lihat, begitu banyak potensi dari generasi muda khususnya mahasiwa, dalam membantu pekerjaan pemerintah. Tidak perlu malu atau pun gengsi, menyatakan keunggulan yang dimiliki generasi muda. Bangsa ini sudah sakit, morbid!. Perlu perubahan, kesegaran, dan tangan-tangan baru dalam membantu membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.

Sudah bukan saatnya pemerintah hanya berkoalisi dengan Parpol saja! Koalisilah dengan rakyat! Koalisilah dengan segenap komponen bangsa, termasuk generasi muda! Sebagaimana salah satu syarat Good Governance adalah interaksi yang sinergis antara pemerintah dan rakyatnya. Tanpa itu, mustahil negri ini akan menuju ke arah yang lebih baik. Mau?


Jakarta, 22 Oktober 2009
Okki Sutanto
(jadi kepikiran untuk membuat pidato kenegaraan jika gw jadi presiden nanti)

Memaknai Dua Puluh

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Hari ini cukup istimewa buat saya. Selain bertepatan dengan hari pelantikan presiden, tepat dua puluh tahun yang silam, saya dilahirkan ke dunia. Seorang bayi yang dihempaskan tanpa sehelai benang pun ke pelukan kedua orang tua saya, seorang bayi yang tidak memusingkan urusan apa pun di dunia ini, dan seorang bayi yang belum memiliki apa pun. Ibarat selembar kertas, masih kosong! Putih, bersih, tanpa coretan.

Kini, kertas itu sudah cukup penuh terisi dengan berbagai coretan. Bukan saya sendiri yang menuliskannya, tapi semua orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dengan saya. Ada orang tua, ada sahabat, teman, guru, dosen, dan masih banyak lagi. Setiap interaksi yang pernah terjalin pasti membekas di 'kertas' itu, sedikit maupun banyak.

Menginjak usia dua puluh ini, saya sadar masih banyak sekali coret-coretan tidak penting yang mewarnai 'kertas' lama saya. Namun saya yakin bahwa dua puluh tahun rasanya saat yang tepat untuk berganti 'kertas' baru, dan mencoba membuat coretan yang lebih baik lagi, dengan panduan dari 'kertas' yang lama. Di kertas yang baru pula, berbagai coretan yang belum memiliki makna dan fokus rasanya harus diperbaiki. Menjadi lebih bermakna dan berfokus.

Bagi saya, ulang tahun bukan lah ajang makan-makan belaka. Bertambahnya usia, secara tidak langsung menambahkan pula ekspektasi orang akan kedewasaan diri kita. Hal ini yang pada akhirnya membuat seseorang, mau tidak mau, suka tidak suka, menapaki jalan menuju kedewasaan. Kedewasaan itu bukan soal pilihan mau atau tidak, melainkan pilihan jalan mana yang akan kita ambil dalam menujunya.

Seorang dosen pernah berkata, "Hidup adalah proses pencarian jati diri. Ia proses, yang tidak pernah selesai. Ia proses, karena semua orang terus belajar mencapainya". Sudah saatnya pula di usia yang menapaki kepala dua ini, upaya pencarian jati diri saya dimulai. Sudah bukan pada tempatnya saya terus berjalan melingkar di tempat yang sama, tanpa memiliki kejelasan apa yang saya tuju. Sudah bukan saatnya pula saya berdiam di sebuah anak tangga, dengan kebimbangan untuk melangkah naik atau turun. Fokus dan tujuan itu harus dicari! Wajib.

Meski tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa usia dua puluh masih terlampau hijau dalam memaknai hidup, saya tidak peduli. Sebuah kata bijak dari presiden amerika ke-16 menjadi acuan saya:
“And in the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years.”


Ya! Usia dalam hitungan bulan-tahun tidaklah berarti. Tapi bagaimana kita memaknai hari-hari dalam hidup kita-lah yang sesungguhnya penting. Mau terus hidup sebatas hari-bulan-tahun saja? Mau terus hidup tanpa pemaknaan yang jelas akan apa yang kita jalani?
Semoga Anda tidak.

Jakarta, 20 Oktober 2009
Okki Sutanto
(mencoba menentukan 'Aim', 'Objectives', 'Indicators', dan 'Session Plans' dalam hidup. haha.)

Tenar Benar!

Ketikan Pinggir Hari Ini

Tak bisa dipungkiri, ketenaran makin lama makin diimpikan banyak orang. Ada yang ingin tenar menjadi penyanyi (lewat acara idol2an), ada yang ingin tenar menjadi artis sinetron (lewat syuting sinetron2an), tenar saat mencari jodoh (lewat acara reality show), tenar jadi pesulap (melalui 'the master'), dan lain sebagainya. Jika sudah tenar, rasanya mau ngapain juga enak. Uang serta merta datang, orang banyak pun rasanya makin mudah melakukan hal yang kita mau.

Tak jarang, perilaku orang untuk menjadi tenar pun mulai aneh-aneh. Kasus teranyar adalah yang menggegerkan Amerika beberapa hari lalu, 'Runaway Balon Hoax'. Keluarga Heene, melaporkan anak mereka secara tidak sengaja terbawa balon terbang yang mereka terbangkan. Polisi ditelepon, 911 dihubungi. Alhasil, semua pihak terkait berusaha mengejar balon tersebut. Mobil polisi, helikopter, ambulans, semua berusaha menyelamatkan si anak. Pengejaran ini pun ditayangkan LIVE di televisi nasional hingga menjadi perhatian publik.

Setelah balon tersebut melayang jauh dan mendarat, polisi menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di balon tersebut. Usut punya usut, si anak yang dilaporkan terbawa balon udara ternyata ada di loteng rumahnya, sedang bermain di tempat persembunyian rahasianya. Usai penyelidikan lebih jauh, polisi mengindikasikan adanya usaha penipuan dan kesengajaan yang dilakukan keluarga Heene. Mereka sengaja membuat sensasi untuk mencari perhatian masyarakat, untuk menjadi tenar.

GILA! Cuma demi ketenaran, mereka membuat repot polisi, tenaga paramedis, dan menipu warga amerika. Apa sebegitu hausnya mereka akan ketenaran? Ah, dahsyat sekali kalau begitu pengaruh budaya dewasa ini. Sampai-sampai semua orang ingin menjadi tenar. Tenar pun tak jarang diidentikkan dengan bahagia. Padahal, rasanya terlalu dangkal jika mengaitkan ketenaran dengan kebahagiaan. Ketenaran itu sesuatu yang sifatnya temporer, mau tidak mau, suka tidak suka. Hampir tidak ada orang yang tenar sepanjang masa, dari lahir hingga mati. Ketenaran itu cuma sejumput kenikmatan yang lekang oleh waktu, terhempas oleh ingatan. Sedangkan kebahagiaan, sesuatu yang sifatnya lebih permanen, dan lebih cenderung ke proses. Ketika seseorang mencari cara untuk menjadi bahagia, saat itu pula ia membuktikan dirinya tidak bahagia. Tapi ketika seseorang benar-benar merasa bahagia, ia akan terus berproses secara spiral (bukan lingkaran yang berputar di tempat yang sama, melainkan spiral yang makin lama makin meninggi).

Tidak mudah memang menyadarkan banyak orang bahwa ketenaran itu tak harus menjadi prioritas. Media berlomba-lomba menyajikan cerita orang terkenal, dengan segala kemudahan dan keuntungannya. Menjadi teroris pun bisa tenar sekarang! Bisa membuat dalil-dalil sesat mereka makin tersebar luas, bisa membuat pengikut mereka bertambah. Nah, jika jadi teroris tenar saja banyak keuntungannya, mengapa tidak menjadi tenar-tenar yang lain yang sedikit lebih halal? hahaha..
Susah kan? Memang.

Jakarta, 19 Oktober 2009
Okki Sutanto
(tak mau tenar meski tiga jam lagi akan menjadi tenar sesaat di dunia maya)

Smokol; Gak Berat Koq!

Ketikan Pinggir Hari Ini

Beberapa minggu terakhir buku kumpulan cerpen KOMPAS tahun 2008, 'SMOKOL', bersarang di tas saya. Meski setiap hari selalu saya bawa kemana-mana, nyatanya keterbatasan waktu membuat saya baru selesai membacanya hari ini. Reaksi pertama: Huff!! Kelar juga. Entah mengapa selalu ada kepuasan tersendiri setiap kali menyelesaikan membaca sebuah buku. hahaha.

Entah mengapa, sukar menemukan anak muda yang tertarik membaca buku tersebut. Mungkin sudah terlanjur 'ngeri', mendengar kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh KOMPAS. Padahal, cerpen-cerpen yang terdapat di buku ini cukup menarik dan tergolong enak untuk dibaca. Ceritanya pun tidak semuanya berat, meski harus diakui beberapa membutuhkan pengetahuan historis, filosofis, dan wawasan yang cukup.

Awalnya, ketika membaca PROLOG oleh Rocky Gerung, saya sempat merasa: 'Wah, salah beli buku nih!'. Bagaimana tidak? Dari PROLOG yang hanya 13 halaman itu, rasanya tangan saya sudah keburu pegal membolak-balik kamus dan thesaurus untuk mencari arti sebuah kata (umumnya kata serapan yang langka digunakan). Namun setelah membaca satu per satu cerpennya, saya mulai kepincut juga untuk membacanya.

Ada cerita tentang seorang gastronom (ahli di bidang masakan) yang membentuk kelompok pecinta smokol (makan tanggung di antara sarapan pagi dan makan siang), yang secara berkala menikmati budaya smokol yang mereka ciptakan sendiri. Ada tema, ritual penyajian, dan pemaknaan folisofis dari setiap kesempatan mereka ber-smokol ria.

Ada pula cerita tentang kisah cinta rahasia berselimutkan konflik politik di Thailand. Panglima Pemberontak dan gembong bisnis Segitiga Emas, menjalin hubungan intim dengan seorang wanita pejuang yang amat membenci Junta. Pemaknaan Zita, sang wanita simpanan tersebut, terhadap hidup ketika sang panglima meninggal, mengalir indah dalam cerpen 'Iblis Paris'.

Tak melulu kompleks, ada juga cerita-cerita sederhana macam 'Kartu Pos Dari Surga' dan 'Merah Pekat'. Cerita pertama cukup mengharu biru menceritakan tentang seorang anak yang tiap hari merindukan kartu pos dari Ibunya, meski ternyata sang Ibu sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. 'Merah Pekat' berhasil membangun ketegangan dan suasana mencekam bagi pembacanya. Dante, sang drakula kecil di cerita tersebut, memberikan pilihan pada si tokoh utama wanita, mau memilih siang atau malam? Seketika wanita tersebut memilih malam, Dante pun menjadikan wanita tersebut vampir.

Ke-15 cerpen yang ada di buku tersebut pada akhirnya bisa dinikmati terpisah, sama sekali tanpa keterkaitan. Warna berbeda dari masing-masing cerpen justru membuat buku ini semakin menarik untuk dinikmati. Mengutip kalimat di EPILOG yang ditulis Linda Christanty: 'Tak peduli seberapa canggih gagasan si penulis, tak peduli seberapa dalam makna historis dan filosofis sang penulis, kecakapan berbahasa tetap merupakan kunci utama untuk terhubung dengan pembaca.'

Itu dia yang membuat para penulis cerpen tersebut mampu menuliskan cerpen-cerpen hebat.
Ah! Kapan kecakapan berbahasa ini bisa setara mereka. Iri rasanya melihat profil para penulis yang sudah sangat mumpuni di dunia kepenulisan. hahaha.
Kapan yah saatnya tiba?
Hmm... Pelan-pelan saja lah, Ki! =)

Jakarta, 17 Oktober 2009
Okki Sutanto
(makin terpacu untuk menulis)

Perangkap Tikus, Perangkap Manusia

(terinsipasi dari e-mail berantai lama yang tertimbun di inbox)

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sebuah Cerita Sederhana:

Sepasang suami dan istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. 
Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikur memperhatikan dengan seksama sambil menggumam "hmmm...makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar??"
Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang. Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak " Ada Perangkap Tikus di rumah.... Di rumah 
sekarang ada perangkap tikus!"
Ia mendatangi ayam dan berteriak "Ada perangkat tikus!"
Sang Ayam berkata "Tuan Tikus..., Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap diriku. Mengapa aku harus repot?"
Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak. Sang Kambing pun berkata " Aku turut bersimpati...tapi tidak ada yang bisa aku lakukan."
Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama. "Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali. Untuk apa aku pusingkan?"
Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata, "Ahhh...Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku."
Akhirnya Sang Tikus kembali kerumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.
Sang suami harus membawa istrinya kerumah sakit dan kemudian istrinya sudah boleh pulang namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam. Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya. (sop ceker ayam sangat bermanfaat buat mengurangi demam). Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya.
Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya. Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.
Dari kejauhan... Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.


Mungkin kita berpikir, terlalu mengada-ngada cerita tersebut. Seperti film Final Destination lah, terlalu dibuat-buat! Tapi jika coba kita refleksikan, bisa jadi seringkali hal seperti ini terjadi di kehidupan kita. Ketidakpedulian kita pada hal-hal kecil yang kita anggap tidak bisa menyengsarakan kita, pada akhirnya membuat kita mengalami hal buruk.

Andai di dalam cerita tersebut, salah satu hewan yang dimintai tolong oleh tikus mau sedikit lebih peduli, mungkin tidak perlu ada yang mati. Andai kita, mau sedikit lebih peduli pada hal-hal kecil di sekitar kita, bisa jadi dampaknya baik di masa depan. Misalnya: Kita memberikan senyum pada teman kita yang kelihatan sedang kesulitan. Bisa jadi senyum kita membantu ia menghadapi masalahnya. Dan bisa jadi pula, di masa depan senyum orang tersebut yang malah membantu kita.

Tidak sulit bukan? Harusnya sih. hehehe..


Jakarta, 16 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(merasa belum butuh perangkap tikus buat kamar gw)

Ketika Sirene Itu Tak Berbunyi Lagi

Ketikan Pinggir Hari Ini

Hidup di Jakarta, terlebih lagi bagi mereka yang sering melintas di jalan-jalan protokol macam Sudirman-Thamrin, tentu tidak asing dengan prosesi ketika 'orang penting' lewat. Kadang presiden, kadang wakil presiden, tak jarang pula menteri. Ketika mereka melintas di jalanan, arus kendaraan lain diberhentikan. Beberapa motor PM membuka jalan, lantas Sirine dibunyikan untuk menyuruh kendaraan lain menyingkir, barulah mobil sang 'orang penting' lewat.

Tidak jarang para pengendara yang tersingkirkan mengumpat, menyumpah serapahi pejabat yang lewat. "Wong jalanan sudah macet, koq malah dibikin macet?"
"Kalo gak mao telat, kenapa gak berangkat lebih dulu jadi gak perlu dikawal-kawal segala?"
Pertanyaan-pertanyaan sejenis akan terus memburu, meski pada akhirnya hanya membentur tembok ketidakpedulian dan tidak pernah ditemukan jawabannya.

Aksi para pejabat tersebut sebenarnya membuat risih. Tak jarang arogansi para pengawalnya membuat pengendara lain terpojok. Di beberapa kasus bahkan tindak kekerasan bagi pengendara yang tidak mau memberi jalan bagi sang pejabat. Pernah ada seorang pengguna jalan mengirimkan Suara Pembaca di Kompas terkait masalah ini. Beberapa hari kemudian, ada tanggapan dari pejabat terkait yang kurang lebih mengatakan "Mohon maaf atas ketidaknyamanan, ada tamu negara yang penting pada saat kejadian berlangsung, sehingga pak pejabat harus sampai tepat waktu".

Bah, betapa tidak berperikemanusiaannya respon tersebut. Memangnya empunya urusan yang mahapenting hanya pejabat saja? Naif rasanya. Namun respon serupa akan selalu dimunculkan. Pejabat, seperti biasa selalu memiliki ribuan alasan sebagai pembenaran tindakannya.

Bagi saya, bunyi Sirine dan aksi 'Buka Jalan' tersebut tak lebih dari manifestasi kebutuhan orang-orang tersebut untuk dihargai. Mereka saking tidak bisanya menemukan media lain yang bisa membuat dirinya dihargai, sehingga butuh melakukan suatu perilaku tidak biasa, perilaku merendahkan orang lain, sehingga dirinya terlihat sedikit lebih tinggi.

Mungkinkah suatu hari nanti bunyi sirene tersebut tak terdengar lagi? Mungkinkah tiba saatnya semua pejabat mau merasakan jadi rakyat biasa, tanpa perlu diperlakukan khusus di setiap kesempatan? Bisa kah? Ah. Semoga saja saat itu akan tiba.

Jakarta, 15 Oktober 2009
Okki Sutanto
(berpikir keren juga kalo motor butut gw dipasangin sirine polisi)

Analogi Babi; Siapa di atas, Siapa di bawah

Ketikan Pinggir Hari Ini.


Hari ini saya sedang berselancar di salah satu situs kesayangan, dan menemukan salah satu thread kocak yang saya sebutkan di atas. Ada dua cerita tentang babi dan majikannya. Masing-masing ceritanya seperti ini:

1. Babi multitalented.
Ada babi yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan banyak hal. Mulai dari menggantikan sang ayam berkokok, menggantikan kucing menangkap tikus, dan lain sebagainya.

Ia sangat bangga dengan dirinya dan kerap kali berujar ke binatang lain, "Kalian binatang bodoh, bagaimana mau bersaing dan disayang majikan jika cuma bisa itu-itu aja?".

Begitulah terus, si babi terus belajar berbagai kemampuan baru, dan ia terus membanggakan dirinya.
Suatu ketika, sang majikan datang dan ingin menyembelih sang babi.

Sang babi tentu kebingungan, ia bertanya: "Majikanku, mengapa engkau ingin menyembelihku? Padahal aku sudah begitu berguna bagi dirimu?"

Dengan polos sang majikan berkata, "Ga ada alasan khusus koq, gw cuma lagi pengen makan steak babi aja!"

THE END.

Moral of the story:
Majikan cuma ngeliat apa yang SEHARUSNYA lu lakukan, bukan apa yang BISA lu lakukan.
Gak guna tuh lu kebanyakan improvisasi. hahaha..


2. Masa bos salah?
Suatu ketika majikan ingin membuat pesta, ia menyuruh sang babi bikin biskuit. Sang babi pun bikin biskuit sesuai buku panduan, yakni: apinya secukupnya aja.

Melihat apinya kecil, sang bos marah "Kapan mao jadi kalo apinya kecil? Gedein apinya!"
Si babi berkata, "Nanti gosong bos!"
Si bos marah dan berkata, "Lu ini cuma babi, lakukan aja apa yang gw suruh!"

Akhirnya digedein deh apinya, alhasil biskuitnya gosong.
Si babi bertanya ke majikannya, "Gimana nih bos, biskuitnya gosong karena apinya kegedean?"

Dengan santainya sang majikan menjawab, "Yaudah, ganti menu jadi steak babi aja!"

THE END


Moral of the story:
Bos ga pernah salah, kalo pun salah bawahan yang harus nanggung


Well, mungkin kedua cerita tersebut cukup menggelitik. Tapi di dunia nyata, itu beneran terjadi loh. Makanya, hati-hati bagi yang punya bos, harap sadar diri! Tau diri lah siapa yang di atas, siapa yang di bawah! hahaha..

Jakarta, 12 Oktober 2009
Okki Sutanto
(bertanya-tanya kapan gue jadi bos)

Kelucuan Yang Satir

Ketikan Pinggir Hari Ini.

(Dalam acara kuis di sebuah televisi swasta)

MC kuis: "Siapakah yang menyanyikan lagu Hancur Hatiku?"
Peserta 1: "Olga Syaputra..!!!"
MC Kuis: "Betul...!!! Luar biasa..!!

(Pertanyaan berikutnya)
MC Kuis: "Tanggal berapakah diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda?"
Peserta 1: "9 Oktober..!!"
MC Kuis: "Salah...!!"
Peserta 2: "25 Oktober..!!"
MC Kuis: "Salah...!!!
Peserta 3: "20 April...!!"
MC Kuis: "Salah...!!"

Seharusnya tidak perlu lagi kata-kata untuk menjelaskan kesatiran di atas.
Atau mungkin ada di antara kita yang masih tidak mengerti kelucuan tersebut? Ayo ngacung! hehe..

Jakarta, 10 Oktober 2009
Okki Sutanto
(sudah siap tidur)

Surrogates; Sekali Lagi Manusia Menang

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sore tadi, saya baru saja menonton film "Surrogates" di Blitz. Film berlatar kehidupan mendatang yang dibintangi oleh Bruce Willis tersebut sedang laris dan hangat dibicarakan belakangan. Diangkat dari komik berjudul sama, jejak-jejak fantasi dan imajinasi tingkat tinggi masih amat terasa kental di film ini. Tak bisa disangkal, film ini memiliki terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Misalnya saja mengenai 98% populasi manusia yang menggunakan teknologi ini, apa mungkin teknologi ini sedemikian murahnya hingga hampir semua orang menggunakan? Ada lagi mengenai adiksi yang ditimbulkan, sebegitukah? Terlepas dari segala keganjilan tersebut, film ini menurut saya masih sangat layak untuk ditonton. Khususnya bagi mereka penggemar Sci-Fi dan Fantasi.

Pada intinya, film ini bercerita tentang pertempuran manusis melawan kecerdasan buatan. Mau tidak mau, film ini mengingatkan pula pada beberapa film sejenis, seperti Terminator 3, Eagle Eye, Artificial Intelegence, dsb. Sekali lagi, manusia menang. Sangat jelas pembuat cerita ini lebih pro ke manusia dibandingkan kecerdasan buatan. Jika ditilik lebih dalam, film ini kurang memiliki area abu-abu. Hanya ada setuju dan tidak setuju terhadap penggunaan Surrogates. Cukup disayangkan mengingat sebuah kontroversi justru bisa lebih tajam ketika menyoroti area abu-abu.

Memang, saya yakin sebagian besar orang akan lebih setuju manusia yang menang. Mungkin hanya sedikit yang setuju kecerdasan buatan yang bertahan. Dan sayangnya, saya termasuk ke bagian yang sedikit itu! hehe.. Sebagai orang yang cukup hi-tech minded dan kurang memuja humanitas, saya lebih setuju jika manusia suatu saat kalah oleh kecerdasan buatan. Kenapa? Karena manusia sudah terbukti dalam sejarah, merupakan makhluk angkuh dan sombong, yang sulit mengakui adanya sesuatu yang lebih hebat dibandingkan mereka. Hal ini membuat manusia enggan mengintrospeksi diri. Jika begitu adanya, kan lebih baik kecerdasan buatan saja yang menguasai kita.

Terdengar ekstrem memang, namun begitulah kira-kira yang saya pikirkan. Mungkin ada pendekatan yang lebih tidak ekstrem, tapi lebih bermain di daerah abu-abu, yakni manusia dan kecerdasan buatan bisa hidup beriringan dan saling membantu. Andai saja hal itu bisa terwujud, di mana kecerdasan buatan bisa membantu membimbing manusia ke arah yang benar. Ah, andai saja.

Jakarta, 9 Oktober 2009
Okki Sutanto
(masih berandai-andai)

Pendidikan Sama Rasa Sama Rata

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sering sekali saya membaca, entah di internet maupun majalah, tentang orang-orang yang menguasai suatu hal di usia yang masih sangat muda. Ada anak berusia 13 tahun dari Singapore yang sudah memahami semua bahasa pemrograman, ada anak dari India yang pada usia 11 tahun sudah menjadi dokter bedah, ada pula anak usia 19 tahun di Amerika yang sudah menyelesaikan pendidikan S-3nya.

Sungguh membanggakan, betapa prestasi yang sangat gemilang mampu ditorehkan di usia yang masih sangat muda. Di sisi lain, muncul keprihatinan karena fenomena serupa sangat langka ditemukan di negri tercinta ini. Ada pun anak-anak yang sempat bikin geger adalah yang berbau mistis semacam Ponari, ataupun Ulfa yang dinikahkan dengan Syekh Puji. Jelas bukan prestasi yang membanggakan.

Dalam pengamatan sebagai orang yang mengecap pendidikan dasar hingga universitas di Indonesia, saya melihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu memfasilitasi adanya murid-murid istimewa. Tidak sedikit saya menemukan murid-murid jenius yang tidak layak mendapat pengajaran yang sama dengan kebanyakan murid. Materi yang mungkin membutuhkan waktu sebulan bagi murid lain, dapat dikuasai oleh murid-murid jenius ini dalam beberapa hari saja. Namun karena pembatasan oleh sistem, mereka hanya bisa terkungkung dan menjalani pembelajaran yang normal-normal saja.

Memang, belakangan mulai santer terdengar adanya kelas-kelas akselerasi, meski masih terbatas di sekolah-sekolah tertentu saja. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan beberapa orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, implementasi kelas aksel tersebut masih jauh dari sempurna. Murid-murid di kelas aksel terlalu dilatih otak kirinya saja, namun tidak diseimbangkan dengan bimbingan mental yang baik. Akhirnya mereka malah menjadi depresi, mungkin karena materinya yang malah terlalu padat dan pengajarnya tidak mampu menyesuaikan diri, juga karena pandangan dari sekitar yang terlalu memberatkan harapan pada diri mereka.

Jika ditilik lebih jauh, masalah ini berakar di budaya Indonesia yang kerap kali menganut 'SAMA RASA SAMA RATA'. Tidak jarang kita melihat perwujudan dari nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika kita memahami esensi dari keadilan, adil tidaklah identik dengan sama rata. Paradigma yang salah ini membimbing masyarakat untuk tidak memberikan tempat bagi orang-orang yang 'lebih' dibanding dirinya. Semua ya harus menjalani hal yang sama, mendapatkan hal yang sama, dan berakhir sama pula.

Hal semacam itulah yang masih menjadi momok di dalam masyarakat Indonesia, terlebih di dunia pendidikan. Jika kita terus memiliki paradigma di atas dan mengembangkan nilai yang salah tersebut, jangan harap kita bisa memiliki generasi muda yang lebih unggul dibandingkan negara-negara lain. Tidak dapat dipungkiri, usaha dari Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Namun, maukah kita mulai dari diri kita sendiri?


Jakarta, 7 Oktober 2009
Okki Sutanto
(tidak sabar ingin tidur)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...