Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Sabtu, 30 April 2011

World Book Day Koq gitu? hahaha..


Catatan Pribadi.
#Tulisan keduabelas, hari kesebelas

Sampai pagi ini, saya masih antusias pergi ke acara World Book Day 2011 yang diselenggarakan oleh Forum Indonesia Membaca di Museum Bank Mandiri, Kota. Memang dari beberapa hari sebelumnya saya dan beberapa teman saya berencana pergi bareng ke acara ini. Mengapa? Well, dari namanya saja  kami sudah kepincut. World Book Day bo! Acara tahunan. Langsung di otak kami ada bayangan: lautan buku, bazar buku, buku murah! Waw. Harus datang!

Nyatanya apa yang ada di kepala saya dan teman-teman saya runtuh seketika, saat saya sampai di lokasi acara. Tidak ada apa-apa di sana kecuali pameran sederhana "100 Ilustrasi Buku Anak". Di mana dipajang cover buku anak, berisi keterangan mengenai ilustratornya. Tidak ada tumpukan buku yang dijual. Tidak ada buku asing. Tidak ada penjual. Juga (nyaris) tidak ada pengunjung.

Rupanya kami tertipu dua hal. Pertama mengenai konsep "pameran". Ketika mendengar kata pameran, dan berkaitan dengan buku, otak kami langsung membayangkan suasana book fair pada umumnya. Nyatanya, pameran yang dimaksud lebih mirip ke pameran foto atau lukisan. Kedua adalah mengenai tanggal pelaksanaan kegiatan. Ketika dituliskan bahwa acara ini berlangsung 23 April - 17 Mei 2011, kami menganggap setiap harinya akan ada acara menarik yang digelar di World Book Day. Nyatanya lagi-lagi kami salah. Kegiatan menarik selain pameran ilustrasi buku anak tersebut, ternyata hanya ada di dua hari pertama (23-24 April lalu) dan lima hari terakhir (13-17 Mei nanti). Di jeda antara pembukaan dan penutupan, ya praktis tidak ada acara apa-apa.

Yah, untunglah tadi saya datang lebih dulu ke sana, sehingga saya bisa langsung mengabari teman-teman saya lainnya untuk tidak perlu datang ke lokasi acara, daripada ikut-ikutan menyesal seperti saya. Sebenarnya, dikatakan "tertipu" pun rasanya kurang tepat. Jika pun benar, maka kami tertipu oleh skema otak dan asumsi kami sendiri! hahaha.

Yasudah, mumpung saya sudah berada di Museum Bank Mandiri, akhirnya saya memutuskan berkeliling dan mampir ke perpustakaannya. Untunglah perpustakaannya buka. Meski koleksi bukunya tidak terlalu banyak (hanya sekitar 2000an buku, dalam perkiraan saya), koleksinya cukup menarik! Saya sempat membaca beberapa buku di sana, dan sudah mencatat beberapa judul buku untuk nantinya saya beli dan koleksi. hehe.

Begitulah perjalanan saya hari ini ke World Book Day. Hari ini saya belajar dua hal. Pertama, untuk meminimalkan asumsi dan bertanya sejelas mungkin ke panitia, sebelum datang ke sebuah acara. Jelas-jelas di websitenya sudah dicantumkan kontak yang bisa dihubungi, mulai dari e-mail, nomor telepon, nomor handphone, hingga akun facebook dan twitter dari acara tersebut. Andai saya bertanya lebih dahulu, mungkin saya tidak perlu terkecewakan oleh asumsi saya sendiri. Pelajaran kedua adalah untuk membiasakan diri menikmati kesalahan / kegagalan. Jika saya langsung pulang di saat saya kecewa oleh isi pamerannya, mungkin saya tidak akan pernah tahu apa isi Museum Bank Mandiri, terlebih perpustakaannya.

Ya. Ya. Ya. Lagi-lagi pepatah lama masih saja mujarab: Malu Bertanya Sesat Di Jalan! hehehe.. Sekian laporan saya hari ini. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya.


Jakarta, 30 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(masih berniat datang ke penutupan World Book Day 2011)




LAMPIRAN!

Pameran "100 Ilustrasi Buku Anak"
Keterangan di bawah ilustrasi buku yang ditampilkan.

Perpustakaannya.

Buku Menarik, Kumpulan Cerpen sepanjang 55 kata

Salah satu cerpennya
Buku menarik lainnya
Kumpulan buku menarik GM

Jumat, 29 April 2011

Perlukah sosok "ke-kakak-an"?

Catatan Pribadi.
#Tulisan kesebelas, hari kesepuluh.

Ada yang masih ingat nama Dominic Purcell? Aktor kelahiran Inggris ini berperan sebagai Lincoln Burrows di serial televisi Prison Break. Saya masih ingat aksinya bersama Wentworth Miller di serial tersebut. Di mana mereka berdua menjadi sepasang kakak-beradik yang berjuang melarikan diri dari penjara. Ia dengan sangat baik memerankan sang kakak. Belum lama ini, saya menonton film Creek dan ternyata ia memainkan film tersebut, lagi-lagi menjadi seorang kakak.

Entah mengapa, saya sangat menangkap sosok "ke-kakak-an" yang diperankan oleh Dominic dalam dua kesempatan tersebut. Jujur saya tak bisa menjabarkan dengan mendetil, apa yang saya maksud dengan sosok "kekakakan" tersebut. Melindungi adikkah? Menjadi contoh yang baikkah? Mengorbankan dirikah? Entahlah. Lantas saya merefleksikan, mengapa ya selama ini kita tidak akrab dengan istilah "kekakakan"? Apa karena tidak enak diketik dan dilafalkan? Rasanya tidak. Atau karena tidak semua orang akan menjadi seorang kakak? Rasanya tidak juga.

Kita sering sekali terekspos dengan kalimat:
"Wah, dia keibuan sekali.", atau "Dia kebapakan ya?"
Tapi pernahkah kita mendengar kalimat serupa untuk sosok "kekakakan"? Saya sendiri tidak pernah.

Padahal, dengan adanya sosok keibuan dan kebapakan, kita jadi bisa memiliki gambaran ideal di benak kita. Kita juga jadi bisa punya pegangan, jika suatu saat nanti kita menjadi seorang ibu atau ayah. Meski istilah keibuan dan kebapakan kadang mengandung stereotip yang tak selalu benar, tetap saja bagi saya istilah tersebut bisa membentuk suatu skema di otak. Dan itu penting.

Bisa jadi karena kenihilan sosok "kekakakan" tersebut, jutaan kakak di dunia ini bingung, bagaimana sebaiknya mereka bersikap terhadap adik mereka. Terhadap orangtua mereka. Terhadap keluarga mereka. Padahal, jelas seorang kakak dilahirkan dengan tanggung jawabnya sendiri, meski tak selalu berarti lebih besar. Atau memang lebih baik tak perlu ada konvensi tentang sosok "kekakakan", sehingga masing-masing kakak bisa mengembangkan gayanya sendiri? Sehingga kosakata "kakak" tidak perlu dinodai oleh stereotip semu yang dangkal, sebagaimana yang sudah dialami kosakata "istri"?

Entahlah. Untuk apa juga saya repotkan?
Toh sudah lama saya tidak lagi menjabat seorang kakak. hehehe.


Jakarta, 29 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
(kekakakan-kah saya? Atau kebapakan? Atau justru keibuan? hehehehe)

Kamis, 28 April 2011

Ketika Akhirat pun Outsourcing

Cerpen.
#Tulisan kesepuluh, hari kesembilan.
(Pengantar: dibutuhkan latar belakang Psikologi yang kuat untuk memahami cerpen ini)

Alkisah, dunia akhirat kelabakan. Ujung tombak operasional mereka, Pengadilan Terakhir, keteteran menghadapi arwah-arwah yang mengantri minta diadili. Setiap hari makin banyak orang yang meninggal, sementara divisi Sumber Daya Malaikat (SDM) belum membuka lowongan bagi malaikat pengadil baru. Chaos! Kini satu malaikat pengadil bisa melakukan FGD sekaligus ke 10 arwah. Lantas dalam satu jam verbatim sudah harus diketik, data sudah harus dikoding, disusul analisis dan kesimpulan: "masuk mana arwah-arwah tadi, surga atau neraka?"

Manajer SDM pun mengambil kebijakan sensasional: outsourcing! Kebetulan belum lama ini segelintir penghuni surga mendirikan Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Meski mahal, tapi tetap lebih efektif dibanding merekrut malaikat pengadil baru dan mengirim mereka ke berbagai training dan workshop, sebelum akhirnya menjadi tenaga siap pakai. Kesepakatan pun dihasilkan: "Mulai besok, semua proses pengadilan terakhir & penentuan nasib para arwah menjadi tanggung jawab BPP"

Perdebatan hebat terjadi di internal Biro Pengukuran Psikologi (BPP). Pendekatan mana yang harus dipilih? Kuantitatif, atau kualitatif? Karena keterbatasan waktu, akhirnya mereka memilih kuantitatif. Masing-masing arwah diminta mengerjakan Tes Kesucian Dasar. Ada lima domain dan tiga puluh indikator di dalamnya, yang secara keseluruhan ingin mengukur tingkat kesucian seseorang. Expert judgment dilakukan ke tiga tokoh yang dianggap sangat suci: Bunda Teresa, Paus Yohanes Paulus II, dan Gandhi. Uji validitas lolos. Uji reliabilitas pun lolos setelah menghilangkan beberapa item yang dirasa memiliki derajat kesulitan terlalu tinggi: 0.1.

Alat tes diadministrasikan klasikal, langsung ke seratus arwah sekaligus. Cukup menghemat waktu, antrian arwah semakin cepat dipangkas. Setelah hasil tes diskoring, keseratus arwah diurutkan dari yang skornya terendah ke tertinggi. Permasalahan pun muncul: norma belum ada. Tidak ada cutting point yang jelas. Mereka yang skornya 70 ke atas bisa langsung dikirim ke surga. Mereka yang skornya di bawah 30 dikirim ke neraka. Lantas, bagaimana dengan mereka yang berada di tengah kurva normal, antara Z-Score -0.5 dan +0.5? Apa yang membedakan mereka yang ada di persentil 49 dan persentil 51? Mengapa skor setipis itu bisa membedakan nasib mereka ke depannya? Perbedaan pendapat pun tidak terselesaikan. Pendekatan kuantitatif gagal.

Dalam waktu singkat mereka beralih ke pendekatan kualitatif. Panduan FGD disusun, sekaligus manual berisi rating dan cara penilaian. Dalam melakukan FGD, tiga praktisi BPP menghadapi sepuluh arwah. Setelah FGD selesai, mereka melakukan kalibrasi untuk menguji inter-rater validity. Boom! Masalah baru muncul: definisi teoritis mereka tentang kesucian berbeda, sesuai aliran mereka. Ada yang beraliran humanis, ada yang behaviorisme, ada yang psikodinamis. Perbedaan standar tidak terjembatani. Pendekatan kualitatif bubar jalan.

Setelah kurang lebih seminggu tidak menemukan solusi, Guru Besar di BPP pun memberi usul untuk menggunakan kedua pendekatan sekaligus, kuantitatif, dan kualitatif. Skor di kedua tes dianalisa dan diukur pengaruh multivariatnya. Dengan bantuan aplikasi Lisrel versi terbaru, analisis dimudahkan. Data dimasukkan, lantas hasil keluar. SURGA. NERAKA. SURGA. NERAKA.

Semua berjalan cukup lancar, hingga suatu saat ada "kecelakaan". Seorang yang sudah dinyatakan gagal ditolak ke neraka, baik oleh pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, malah dimasukkan ke surga oleh Dewan Agung Pengadilan Terakhir. Praktisi BPP gerah. Mereka merasa kerja keras mereka tidak dihargai. Setelah dikonfirmasi ke Dewan Agung, ternyata orang tersebut memang semasa hidupnya adalah pendosa berat. Namun, tepat sebelum kematiannya, orang tersebut menyatakan bertobat. Hal itu membuatnya pantas dimasukkan ke surga. Praktisi BPP tetap tak terima. Debat runcing tak terelakkan. Kerja sama berakhir. Izin praktik BPP pun dicabut oleh Dewan Agung.

Setahun ternyata cukup untuk membuat BPP berbenah diri. Setelah sekitar setahun vakum dari surga, mereka membuka kantor baru di neraka. Kini fokus mereka tidak lagi ke pengukuran, melainkan ke konseling dan bimbingan arwah. Mereka yakin, arwah pun memiliki kesempatan yang sama untuk berubah dan menjadi lebih baik. Mereka mulai mendekati arwah-arwah jahat, dan menyadarkan mereka, satu per satu. Setelah penuh perjuangan, usaha mereka terdengar hingga ke telinga orang nomor satu di dunia akhirat. Terkesima dengan usaha mereka, sang presiden dunia akhirat mengeluarkan dekrit: "Semua penghuni neraka yang sudah mengikuti program konseling selama setahun dan menunjukkan perubahan perilaku menjadi lebih baik, berkesempatan dipindahkan ke surga.". Satu per satu penghuni neraka pun termutasi ke surga.

Tak lama kemudian, neraka bangkrut. BPP semakin dikenal dan diakui jasanya. Kantor cabangnya semakin banyak, hingga ke bumi. Karena mereka yakin, pada dasarnya setiap orang memiliki kualitas personal yang baik dalam diri masing-masing. Yang membedakan hanya lingkungan tempat mereka dibesarkan, agama tempat mereka disangkarkan, dan sederet faktor situasional lainnya. Maka tak adil rasanya mengevaluasi mereka di Pengadilan Terakhir dengan mengacuhkan peranan faktor situasional. Sekali lagi, mereka yakin setiap orang itu pada dasarnya baik. Setiap orang bisa menjadi baik. Hanya saja kita kerap tidak menyadarinya. Juga enggan disadarkan.


Jakarta, 28 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
(beneran berencana buka BPP di neraka)

Rabu, 27 April 2011

Kangen.

Prosa.
#Tulisan kesembilan, hari kedelapan.

Aku tiba di ruangan 2X3 tempatmu melukis hari.
Hanya ada kamu di dalamnya.
Entahlah, mungkin ada perabot lain juga.
Tapi di mataku hanya ada kamu.
Cuma mau kamu.

Kita pun mengeluarkan peliharaan kesayangan kita: kangen.
Kita biarkan kangen kita bersahutan.
Punyaku dan milikmu.
Bergulat hebat.
Tak terbedakan lagi mana kangenku mana kangenmu.

Ciuman pertama kita di sore itu.
Tidak ada waktu untuk menikmatinya.
Karena yang kedua, ketiga, dan berikutnya langsung menyambar tanpa jeda.
Kita tak membiarkan jeda hadir.
Sudah terlalu sering jeda meraja, antara ruang kerjaku dan panggungmu.

Sore itu pemikiranku dan tarianmu tak perlu tampil.
Izinkan mereka beristirahat, biarkan kangen menikmati kedigdayaannya.
Menguasai kita.
Memeras ruang sunyi di antara kita.
Sampai habis tak bersisa.


Jakarta, 27 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
(Terinspirasi salah satu prosa dalam "Filosofi Kopi"-nya Dee)

Gunting

Prosa.
#Tulisan kedelapan, hari kedelapan.

Sebuah gunting
tak selalu harus
dikawinkan dengan
pupusnya harap

kadang
ia
hadir
di
awal

Saat memutus sempurna sebuah pita merah,
satu roda penghidupan baru pun terawali

Saat membuka ujung sebuah bungkus makanan,
satu perut lapar pun terisi

Pun tak pernah ia absen,
di ruang operasi.

Karena amputasi jelas membutuhkannya.
Untuk merelakan organ yang busuk,
dan menyelamatkan pemiliknya
sebelum ikut membusuk


Jakarta, 27 April 2011
Okki Sutanto | octovary.blogspot.com
(Satu tulisan lagi, dan saya bisa menggunting garis kematian)

Bermain Di Tepi Garis Kematian

Catatan Pribadi.
#Tulisan ketujuh, hari kedelapan.

Saya sering bermain di tepi garis kematian (baca: deadline). Baik ketika mengerjakan tugas perkuliahan, organisasi, maupun pekerjaan-pekerjaan lainnya. Bukan karena saya suka, tapi karena saya terbiasa. Sekuat apa pun saya coba mendorong diri saya mengerjakan sesuatu jauh dari deadline, lebih sering saya menemukan diri saya berjibaku dengan pekerjaan di detik-detik terakhirnya. Begitu pun ketika menulis.

Tepat seminggu yang lalu saya berjanji pada diri saya sendiri untuk menulis satu tulisan per hari. Untungnya janji tersebut lumayan sukses membuat saya rajin menulis. Tapi, setiap harinya saya selalu baru mulai menulis ketika hari sudah nyaris berakhir, ketika saya sudah nyaris mampir di garis kematian. Lihat saja tulisan-tulisan saya seminggu belakangan:
1. Banyak Mau Versus Ga Punya Mau (Catatan Pribadi) | 20 April 2011 | Selesai ditulis Pukul 22:31
2. Menyoal Film Tanda Tanya (Ketikan Pinggir) | 21 April 2011 | Selesai ditulis Pukul 23:33
3. Bom Gereja (Cerpen) | 22 April 2011 | Selesai ditulis Pukul 22:02
4. Saat Malam Membunuh Teman-temannya (Prosa) | 23 April 2011 | Selesai ditulis Pukul 19:21
5. Tiket Sekali Jalan (Prosa) | 24 April 2011 | Selesai ditulis Pukul 22:56.
6. Besok! (Cerpen) | 25 April 2011 | Selesai ditulis Pukul 23:14

Dari enam tulisan, lima di antaranya baru selesai selepas pukul sepuluh malam. Hanya tulisan keempat yang selesai ditulis lebih awal, sekitar pukul tujuh malam. Apakah kali itu saya tidak mendekati garis kematian? Nyatanya tidak. Tulisan itu saya selesaikan pukul 19:21, karena sembilan menit kemudian saya sudah harus meluncur ke gereja, mengikuti misa Sabtu Suci. hehehe.

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan sebenarnya saya selalu menulis di ambang batas waktu yang saya miliki. Saya tahu kebiasaan tersebut tidak selalu bagus. Dan semalam saya merasakan ketidak-bagusannya. Saat saya baru ingin mulai menulis selepas pukul sepuluh malam, rasa kantuk menyerang dahsyat. Saya memutuskan untuk tidur sebentar, barang sepuluh-lima belas menit. Pada dunia ideal, saya akan terbangun sekitar pukul setengah sebelas, lalu mulai menulis dan sekitar pukul sebelas tulisan tersebut akan saya poskan di blog dan facebook. Pada dunia nyata, saya baru terbangun keesokan harinya, dan tulisan di hari ketujuh pun terbengkalai.

Tidak enak rasanya ada satu hari yang bolong dalam rangkaian satu-hari-satu-tulisan saya. Sangat tidak enak. Rasanya seperti seorang koruptor yang mengingkari sumpahnya sendiri untuk bekerja demi bangsa dan negara, bukan justru plesiran ke negeri tetangga bersama keluarga dengan dalih studi banding. Ya, setidak enak itu rasanya. Tapi saya juga sadar, ke depannya belum tentu saya akan hidup jauh-jauh dari garis kematian. Lagi-lagi, bukannya saya suka. Saya belum terbiasa hidup jauh dari garis kematian, meski saya sedang berusaha membiasakannya.

Jika berpegangan pada teori Operant Conditioning, cara terbaik untuk membentuk perilaku adalah dengan reinforcement dan punishment. Dan karena saya sudah memunculkan suatu perilaku yang tidak diinginkan (tidak menepati janji menulis satu tulisan per hari), maka saya memutuskan untuk menghadiahi diri saya sendiri dengan punishment: MENGHASILKAN TIGA TULISAN UNTUK HARI INI! Meski saya suka menulis, namun menghasilkan tiga tulisan dalam satu hari membutuhkan perjuangan ekstra. Apalagi bagi penari di tepi garis kematian seperti saya.

Sanggupkah saya? Entahlah. Di penghujung hari ini jawabannya akan muncul. Dan semoga saja jawabannya adalah IYA. Semoga juga ke depannya saya bisa semakin menjauhi garis kematian tersebut, khususnya tidak harus bergulat dengan skripsi di garis kematian batas studi saya. Amin.

Jakarta, 27 April 2011.
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
((Tulisan ini didedikasikan bagi orang-orang yang mungkin pernah saya repotkan karena kebiasaan saya bermain di tepi garis kematian, juga bagi para pejuang garis kematian lainnya))

Senin, 25 April 2011

Besok!

Fiksi.
#Hari-Keenam menepati janji menulis satu tulisan per hari 

Tiga tahun lalu.
Ia mengaku memiliki cinta, untukku.

Aku ragu ia sungguh memilikinya. Kami baru kenal beberapa minggu. Berawal dari saling sapa di lorong sekolah, kadang kami mengobrol. Kami sama-sama penghuni pertama gedung sekolah setiap harinya. Alasanku: rumahku jauh, dan daerah rawan macet. Berangkat pukul lima, aku akan tiba pukul enam di sekolah. Terlambat berangkat lima belas menit, bisa-bisa pukul delapan aku baru tiba. Sederhana bukan? Alasan dirinya lebih sederhana lagi. Suatu hari ia salah melihat jam, dan datang kepagian ke sekolah. Semenjak "kecelakaan" itulah ia jadi rajin datang pagi ke sekolah, menunggangi motor kesayangannya. Biar tidak kena macet, kilahnya. Belakangan, baru ia akui, akulah alasan dirinya selalu datang pagi ke sekolah.

Dua tahun lalu.
Ia bilang masih menyimpan cinta, untukku.

Aku masih ragu. Aku tahu, kami sudah cukup akrab. Semangkok bubur ayam hangat di meja kantin menjadi saksi bisu setiap harinya. Pun setumpuk surat cinta darinya di lokerku. Juga ratusan tiket bioskop dan puluhan buku yang kami nikmati bersama. Kami suka membunuh waktu bersama. Dengan indah, tentunya. Berdua. Tapi aku ragu, bahwa ruang bening berjarak di antara kami itu betul-betul cinta. Aku rasa ia hanya butuh seorang teman. Dan aku rasa aku teman terbaiknya. Untuk apa bertaruh memulai sesuatu yang bisa berakhir menyakitkan? Jika tanpa itu pun aku masih bisa dekat dengannya. Mereguk manisnya.

Tahun lalu.
Ia nyatakan lagi cintanya, tanpa kata-kata.

Ia melepas tawaran beasiswa dari universitas di kota sebelah. Ia memilih tetap di Jakarta, di tempatku ingin merajut masa depan. Tapi sejentik keraguan lain kini menggoyahkan harapanku. Di depan kami akan ada lembaran kehidupan yang baru. Bukankah kini dunia akan berputar lebih cepat, dan aku dengan segera akan menjadi lembaran kenangan lama baginya? Aku lebih memilih menjadi kenangan yang indah, abadi, dengan tetap sebagai sahabatnya. Dibanding menjadi kenangan yang lebih indah, namun berpotensi tak kekal.

Besok.
Giliranku menyatakan cintaku. Aku mencintainya. Lebih dari sekedar ribuan pelukan hangat seorang sahabat. Lebih dari ratusan kalimat-kalimat penopang kesedihan. Lebih dari puluhan momen di mana aku merasa tak kuat lagi menjadi sekedar sahabat, namun hati dan bibirku tak pernah berharmoni seutuhnya.

Aku mencintainya. Sesederhana itu. Seabsolut itu. Dan besok akan aku curahkan semua perasaanku. Tentang kesempurnaannya yang membuatku ingin berada di sisinya. Sekaligus tentang ketidaksempurnaannya yang juga membuatku ingin berada di sisinya.

Besok, aku akan menyatakan cintaku padanya. Tak noleh ada lagi keengganan bibir untuk berucap. Tak boleh ada lagi keraguan hati untuk bersikap. Tak boleh. Karena besok adalah kesempatan terakhirku. Aku tahu itu.

Karena di saat petinya tertutup sempurna, dan tanah segenggam mulai menutupi liangnya, kami akan berpisah. Juga saat amin terucap dan air mata keluarganya menderas kembali, saat itu pula namanya terhapus dari dunia ini selamanya. Kosa kata itu akan terhapus tanpa jejak dari semua kamus di kehidupanku.

Semoga pernyataan cintaku besok belum terlambat.
Aku yakin ia masih mendengar.
Iya kan, sayang?


Jakarta, dimulai 4 Februari 2011, diselesaikan 25 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Berusaha tak melulu berharap pada esok)

Minggu, 24 April 2011

Tiket Sekali Jalan

Fiksi.
#Hari-Kelima menepati janji menulis satu tulisan per hari

Seringkali cinta tak ubahnya tiket pulang-pergi.
Setelah puas membawa kita bertualang,
ke hamparan padang kebahagiaan, bukit kedamaian, dan pantai pengharapan,
Ia akan mengembalikan kita.
Ke tempat asal kita bernama realita, ke kesendirian kita.

Sebenarnya kita sudah diberitahu, bahkan memilih sendiri, dengan sadar.
Saat kita menyobek tiket keberangkatan, seketika pula kita menyimpan erat tiket kepulangan.
Namun seringkali kita berusaha mengacuhkannya.
Segenap tenaga membuaikan diri dalam indah perjalanan.
Dan di saat tiket itu perlahan menyelip keluar dari saku, kita gopoh memasukkannya kembali.

Pada akhirnya, sang tiket mencuat seutuhnya, mendeklarasikan kuasanya.
Sontak perjalanan usai, kita dipaksa pulang.
Sekuat apa pun kita berontak, kuasanya absolut, tak terelakkan.
Pilihannya hanya dua: membuatnya mudah atau membuatnya sulit.
Dan itu pun hanya proses, karena akhirnya jelas: kita kembali ke realita, kembali ke kesendirian.

Kita terhempas.
Sesenggukan menahan kecewa, meronta melepas amarah.
Tapi selintas kemudian, akan kita cari lagi tiket pulang-pergi itu.
Mungkin destinasi lama, mungkin juga baru.
Semua tergantung perjalanan sebelumnya, lebih tepatnya akhir perjalanan sebelumnya.

Dan meski konon menyebutkan adanya tiket sekali jalan, aku pongah percaya.
Aku tak pernah menemukannya, pun tak berharap suatu saat akan menemukannya.
Bagiku semua tiket keberangkatan memiliki pasangannya: kepulangan.
Karena tidak ada perjalanan yang kekal.
Dan tiket kepulangan bisa saja berbentuk apa pun, termasuk maut.

Jakarta, 24 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Belum berusaha menggenggam tiket apa pun)

Sabtu, 23 April 2011

Saat Malam Membunuh Teman-temannya.

Prosa.
#Hari-Keempat menepati janji menulis satu tulisan per hari

Pagi datang, saat Malam belum tuntas bergegas.
Sebenarnya Malam belum rela beranjak.
Ia masih ingin bercinta dengan cahaya bulan, terang bintang, dan nyanyian burung hantu.
Tapi Malam tak punya pilihan. Pagi sudah tiba.

Malam menyimpan iri, terhadap Pagi yang selalu muncul setelahnya.
Memaksanya menyudahi giliran.
Merebut perannya.
Menghapus jejaknya.

Ia ingin seperti Pagi.
Menyaksikan manusia memulai aktivitas.
Ditemani kicauan burung gereja, cahaya matahari, dan biru langit.
Tapi Malam tak punya pilihan. Ia bukan Pagi.

Suatu saat, Malam membunuh Pagi.
Kini ia memiliki seperempat hari sebagai tambahan waktu.
Ia bahagia setengah mati.
Tak ada lagi Pagi yang menyudahi gilirannya.

Tapi tak lama Malam kembali meradang.
Kini ia menghujat siang, juga sore.
Ia ingin pula menyaksikan manusia di tengah kesibukan mereka.
Ditemani terik matahari, panas udara, dan indahnya awan.

Malam pun membunuh siang, sekaligus sore.
Kini ia merajai hari.
Tanpa perlu berganti peran.
Berbagi giliran.

Malam terus menguasai hari.
Hingga ia kelelahan.
Ia sudah bosan bercinta dengan bulan, bintang, dan nyanyian burung hantu.
Ia sudah muak melihat manusia dengan segala kesibukannya.

Malam pun memutuskan ingin bunuh diri.
Ia tak sanggup lagi.
Tapi ia lupa, ia tak bisa.
Saat ia membunuh Pagi, sebenarnya saat itu pula ia sudah mati.


Jakarta, 23 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Bergegas ke gereja, bersama MALAM)

Jumat, 22 April 2011

Bom Gereja

Cerita Pendek.
#Hari-Ketiga menepati janji menulis satu tulisan per hari

Jarum pendek tepat menghujam angka tiga, saat pastor mengumandangkan bahwa Yesus telah wafat. Dalam sekejap satu per satu umat berlutut. Udara larut dalam keheningan. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Pada detik kedelapan, tepat di saat umat bersiap untuk berdiri, dentuman keras terdengar. Asap mengepul. Orang-orang berteriak, entah kesakitan, panik, atau ketakutan. Di saat seperti inilah insting naluriah menunjukkan peringai aslinya. Semua umat berdiri, berlari sekuat tenaga menuju gerbang keluar terdekat. Tak ada lagi yang peduli akan prosesi liturgi. Ribuan orang membuncah keluar gereja, mulai dari umat, petugas tata laksana, misdinar, imam, hingga pastor kepala.

Semua sibuk berusaha menyelamatkan diri. Salib di atas altar pun kehilangan daya magisnya memusatkan konsentrasi dan menenangkan umatnya. Aku tetap duduk. Di tempat dudukku sedari awal. Tak beranjak sama sekali. Aku memperhatikan semua detil dengan seksama, dengan perasaan berdebar, dengan konsentrasi penuh, hingga seakan-akan semua berjalan sangat lambat. Aku tak perlu takut dianggap aneh karena tidak berusaha menyelamatkan diri, aku yakin di saat seperti ini semua orang tak sanggup memikirkan apa pun kecuali tentang keselamatan dirinya sendiri.

Aku menutup mata, berlutut, mulai memanjatkan doa. Aku berharap tidak ada yang terluka, bahkan tewas, saat semua umat berhimpitan keluar dari gereja. Itu saja. Karena aku yakin, ledakan itu sendiri takkan melukai siapa pun. Bom meledak di dalam ruangan tak terpakai di belakang goa maria. Daya ledaknya pun tidak besar, meski asap yang ditimbulkannya memang dibuat seolah bom tersebut mampu meruntuhkan gedung bertingkat. Sudah cukup, sekedar untuk menakuti umat satu gereja.

Saat lautan umat yang saling berdesakan keluar mulai surut, aku ikut beranjak keluar dari gereja. Menghilang dalam lautan umat yang masih diselimuti cemas dan takut. Sejurus kemudian aku sudah tiba di rumahku, langsung menyalakan televisi. Benar saja, berita tersebut langsung muncul menjadi headline news di stasiun-stasiun televisi nasional. Pemadam kebakaran, polisi, dan tim Gegana sudah tiba di lokasi. Berbagai foto dampak ledakan disorot berulang-ulang. Saat pembawa berita mengumumkan tidak adanya korban luka maupun jiwa, aku menghembuskan nafas panjang. Bersyukur. Televisi pun aku matikan.

Senyum tersimpul. Semua berjalan sesuai rencana. Besok, peristiwa tadi akan menjadi berita terhangat seantero negeri. Semua petunjuk yang bisa mengarah pada keterlibatanku sudah terhapus tanpa jejak. Aku yakin dalam beberapa hari polisi akan putus asa. Dan seperti biasa, mereka akan menciptakan tokoh-tokoh rekaan untuk dijadikan kambing hitam. Seorang ekstremis, anggota jaringan teroris internasional, dan berbagai embel-embel yang kelihatan nyata, padahal tidak. Untungnya, media dan masyarakat sedemikian mudahnya mempercayai karangan tersebut. Mereka lebih memilih keberadaan seorang tokoh antagonis, tanpa perlu tahu apakah tokoh tersebut benar-benar ada atau tidak, dibandingkan dibiarkan terus menerka, siapa yang patut dipersalahkan dari kejadian tersebut.

Semua akan lebih percaya pada hasil karangan polisi, tak peduli seberapa absurd dan minim verifikasinya karangan tersebut. Siapa yang percaya, kalau bom tersebut tak lebih dari sekedar ungkapan kekecewaan sang pelaku terhadap gerejanya sendiri? Gereja yang telah terlalu memegahkan diri, dan kehilangan kekhusyukannya sama sekali. Gereja yang terlalu mementingkan ukiran-ukiran indah di sekujur tubuhnya sendiri, dan mengacuhkan keimanan pengunjungnya. Gereja yang sudi repot-repot memasang pendingin ruangan, proyektor, hingga sound-system canggih nan mahal, meski harus mengorbankan kesakralan pemaknaan iman umatnya sendiri. Gereja yang sudah terlalu menyamankan fisik penggemarnya, hingga tak pantas lagi mengenang kesederhanaan anak manusia yang mereka salib dan teladani secara bersamaan.

Semoga saja, usahaku kali ini membuahkan hasil. Mungkin ledakan kecil ini bisa lebih efektif dibandingkan ratusan surat yang sudah kulayangkan sebelumnya ke para petinggi gereja. Jika masih belum berhasil juga, mungkin usaha berikutnya akan melibatkan sedikit darah. Sebagaimana yang telah diteladankan oleh Ia yang tersalib, kadang pengorbanan itu penting, untuk suatu kebaikan yang lebih besar. Dan jelas, tak perlu mengorbankan banyak orang, sebagaimana yang sudah diteladankan oleh Ia yang tersalib, korbankanlah pertama-tama dirimu sendiri. Darahmu sendiri. Nyawamu sendiri. Imanmu sendiri. Amin.

Jakarta, 22 April 2011
(sama-sekali-tidak-berencana-merakit-bom)

Kamis, 21 April 2011

Menyoal Film Tanda Tanya!

Ketikan Pinggir
#Hari-Kedua menepati janji menulis satu tulisan per hari

Menonton film Tanda Tanya memang seru. Tapi, mengikuti diskusi terkait film tersebut ternyata jauh lebih mengasyikan. Sebagai sebuah karya, adalah wajar sekali bermunculan berbagai ulasan, interpretasi, maupun komentar terhadap film Tanda Tanya. Yang membuat ini menjadi seru, selain isunya yang sensitif, juga karena sang sutradara sendiri, Hanung Bramantyo, ikut bersuara.

Yang paling banyak dibaca dan diperbincangkan adalah debat, atau lebih tepat disebut dialog, antara Hanung dan seorang wartawan. Hanung menjawab berbagai tuduhan negatif dan tendensius sang wartawan dengan tenang dan konsisten, berpegangan pada film yang diproduksinya, menit per menit, adegan per adegan. Dalam tulisannya (http://dapurfilm.com/2011/04/dialog-terbuka-film-tanda-tanya/), Hanung menyamarkan identitas sang wartawan. Namun, entah memang mencari popularitas, entah kadung kesal karena tidak bisa menembus perisai pertahanan Hanung dan filmnya dengan alur logika yang waras, sang wartawan dengan naif dan polosnya malah membuka identitasnya sendiri di media online tempatnya bernaung (http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/2496-debat-hanung-versus-wartawan-suara-islam-di-facebook). Masih dari media yang sama, seorang lain lagi turut menghujat film Tanda Tanya (http://www.suara-islam.com/news/berita/opini-si/2465-catatan-untuk-hanung-film-qq-gambaran-toleransi-yang-ngawur).

Dialognya lumayan enak dibaca, namun menganalisa apa yang terjadi di dalam diskusi tersebut bagi saya menjadi jauh lebih penting. Bukannya bermaksud mengagungkan Hanung, tapi kedua penulis di atas terlihat seperti anak TK yang berusaha mendebatkan teori relativitas khusus. Saya bukan ahli film, apalagi agama, tapi setidaknya saya tahu bagaimana harus berdialog. Dialog kedua penulis tersebut terlalu dangkal, tendensius, dan tidak fokus. Mereka meracau mulai dari adegan-adegan yang dirasa kurang pantas, lalu berubah haluan ke pribadi dan keimanan Hanung, lalu banting setir ke ajaran agama dan hal-hal lain yang berbau afektif. Alhasil, perbedaan kualitas berpikir mereka pun terlihat dengan jelas.

Salah satu tulisan lain yang menurut saya cukup baik dan tidak tendensius menyoal film Tanda Tanya adalah tulisan Salim Said (http://cekricek.co.id/tentang-film-karya-terbaru-sutradara-terkemuka-hanung-bramantyo/). Tulisan tersebut tidak mengarah ke ranah agama. Namun saya tidak sependapat dengan sang penulis. Bagi saya, film yang baik tak harus menjelaskan latar belakang dan motif setiap tokohnya dengan mendetil. Kadang, ruang itu dibiarkan kosong untuk diisi sendiri oleh imaji penontonnya.

Pada intinya, saya sangat bingung dengan kebiasaan di negri ini, yang kerap membahas film dari sudut pandang agama. Film, sebagaimana karya seni lainnya, membuka ruang bagi interpretasi masing-masing penontonnya. Film pun tak harus selalu dipandang sebagai propaganda yang secara langsung akan mempengaruhi penontonnya. Jika film semudah itu mempengaruhi penontonnya, tidak ada lagi orang Indonesia yang takut akan setan atau hantu. Kenapa? Beberapa tahun belakangan, begitu banyak film dalam negri yang mengeksploitasi setan dan hantu, baik menjadikannya bahan tertawaan, maupun bahan rangsangan seksual. Jika sekarang ada orang yang melihat hantu malah tertawa atau terangsang, barulah kita boleh berkata film berpotensi kuat mempengaruhi penontonnya.

Kembali ke kasus film Tanda Tanya, bagi saya jawaban-jawaban Hanung sudah cukup. Jika penonton mengambil jarak ketika menonton film tersebut, tanpa harus terpengaruh label-label tertentu yang tendensius, tanpa hasrat membela agamanya habis-habisan, maka seharusnya tidak ada masalah yang muncul. Jika film Tanda Tanya saja sudah dipermasalahkan, bagaimana jika penduduk Indonesia menonton film Monty Python's: Life of Brian (1979)? Sungguh tak terbayangkan apa reaksi yang akan muncul.

Film dan agama adalah dua entitas yang sama sekali berbeda, sehingga bagi saya pribadi kurang pantas mendebatkan suatu film dari sudut pandang agama. Berbeda dengan agama, yang cenderung mengusaikan diri dengan tanda titik, film dan karya seni lainnya selalu membuka diri untuk tanda koma, tanya, bahkan kalimat-kalimat baru di belakangnya. Ada ruang untuk berbagai interpretasi. Ada ruang untuk revisi dan perbaikan, bahkan lanjutan. Maka dari itu, tidaklah perlu kita mendebatkan suatu film dari sudut pandang agama. Film adalah film. Sebuah karya seni, dengan segala kelebihan, juga kekurangannya.


Jakarta, 21 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com/
(Omong-omong, selamat Hari Kartini!)

Rabu, 20 April 2011

Banyak Mau versus Ga Punya Mau!

CATATAN PRIBADI.

Seringkali kita dihadapkan pada pertanyaan: Milih kaya atau bahagia? Rasanya kebanyakan dari kita akan memilih yang kedua. Jawaban yang lebih diterima norma sosial pun memang yang kedua. Jika seseorang menjawab "GUE MILIH KAYA!", niscaya ia akan banyak mendapatkan cap kurang sedap. Entah matre, mata duitan, kapitalis, tolol, dan lain sebagainya. Padahal, pada kenyataannya orang-orang kaya jauh lebih diekspos daripada orang-orang bahagia. Setiap tahunnya, beberapa majalah berpengaruh mengeluarkan artikel "Daftar 100 Orang Terkaya di Dunia". Aneh bukan? Jika memang kebanyakan dari kita mementingkan bahagia daripada kaya, mengapa tidak pernah ada majalah yang berani membuat "Daftar 100 Orang Paling Bahagia di Dunia"? Hehehe.

Oke, itu cuma pemikiran absurd saya saja. Lah, gimana kita mau bikin daftar orang paling bahagia, wong definisi bahagia setiap orang aja beda-beda. Malah kadang saling bertolak belakang. Ada yang bahagia kalau bisa dapet pacar. Ada juga yang bahagia kalau bisa putus. Ada yang bahagia kalau bisa kelarin skripsi. Ada juga yang bahagia kalau bisa nunda-nunda skripsi. Intinya, masing-masing orang punya standarnya sendiri. Saya? Saya mah asal bisa turun 5 kilo juga udah bahagia! *curcol* hahahaha. Pada akhirnya, semua orang mau bahagia. Entah dibarengi kaya atau tidak. Kalau iya, ya syukur. Kalaupun enggak, yaudah. Bagi yang enggak, biasanya bakal rajin ngucapin: "Kekayaan kan bukan segalanya.", entah karena sudah benar-benar bahagia, atau hanya mencari kalimat penghiburan. hehe.

Beberapa waktu lalu, salah seorang teman saya menjuarai lomba membuat poster di Surabaya. Salah satu kalimat sakti yang menjadi poin penting di posternya berbunyi: "Do What You Love, and Happiness always with you". Katanya sih, dapat inspirasinya dari salah seorang dosen. Kayak-kayaknya sih saya kenal juga dengan dosen ybs. Kayak-kayaknya doang yah. Mungkin cuma asumsi saja. haha. Intinya, saya setuju dengan kalimat tersebut. Kalau mau bahagia, ya lakukanlah hal yang kita cinta/suka. Berasal dari tesis tersebut, maka syarat pertama untuk jadi bahagia adalah: mengerti apa yang sebenarnya kita cintai. Bisa musik, agama, sastra, olahraga, fotografi, dan lain sebagainya. Nah, pertanyaan berikutnya: "Apa kabar dong orang-orang yang ga punya kecintaan akan apa pun?"

Meski kedengarannya langka, tapi nyatanya ada juga orang-orang yang sulit menemukan apa yang mereka cintai. Kadang saya memikirkan nasib orang-orang tersebut. Apa ya yang akan mereka lakukan dalam hidup mereka? Gimana cara mereka bisa bahagia ya? Apa tujuan hidup mereka ya? Pokoknya, banyak pertanyaan berseliweran deh. Jadi pusing + bingung + prihatin sendiri. Haish.

Belakangan, saya jadi merefleksikan nasib saya sendiri. Sudahkah saya memiliki kecintaan dalam hidup saya? Tahukah saya apa yang bisa membuat saya bahagia? Syukurlah jawabannya cukup optimis. Tapi, ketika saya mencoba menilik lebih dalam lagi, nasib saya ternyata tidak jauh berbeda dengan mereka yang tidak tahu apa yang mereka cintai. Mengapa? Saya mencintai terlalu banyak hal! Mulai dari jurnalistik sampai teknologi. Mulai dari musik sampai dunia pendidikan. Mulai dari politik sampai sastra. Mulai dari film sampai pengabdian masyarakat. Aduh, banyak ya. Ngetiknya aja capek, apalagi ngejalaninnya.

Awalnya saya merasa tidak ada yang salah dengan mencintai banyak hal. Nyatanya, seringkali hal tersebut mendatangkan masalah dalam hidup saya. Saking sukanya sama banyak hal, saya sampai kebingungan setengah mati sama topik skripsi saya. Saking tertariknya dengan berbagai hal, saya sampai suka lupa sama target yang sudah saya tentukan sebelumnya. Hal ini dua kali terjadi: pertama ketika ada kesempatan menjadi ketua lembaga eksekutif di kampus, saya mengambil kesempatan tersebut karena merasa bisa memfasilitasi kecintaan saya di bidang pengabdian masyarakat dan politik, meski taruhannya masa studi saya mundur. Untungnya nasib tidak mengizinkan saya meneruskan kesempatan tersebut. Saya pun lantas berpikir "Bagus deh, jadi bisa fokus ngelarin skripsi dan ngejar kesempatan yang lain". Ternyata, pemikiran tersebut hanya bertahan beberapa bulan. Selang berapa lama, datang kesempatan baru lagi: "menjadi tim inti sebuah proyek pengabdian masyarakat". Dan tanpa pikir panjang, saya terima kesempatan tersebut! Imbasnya, target untuk fokus di skripsi pun jadi harus dimodifikasi lagi. Yasudah lah, toh skripsi kelar ga bikin saya kaya atau bahagia, tapi kalau saya menerima kesempatan ini, mungkin saya bisa bahagia. hehehe.

Dari pengalaman di atas, saya jadi tahu bahwa mencintai banyak hal kadang kurang baik. Oleh sebab itu saya tak berani lagi terlalu memikirkan nasib mereka-mereka yang justru tidak mencintai apa pun. Awalnya, saya kira mereka perlu diperhatikan. Ternyata, orang-orang seperti saya ini juga perlu diprihatinkan. hahaha. Harapannya sih, ke depannya saya bisa tahu, apa hal yang paling saya cintai, sehingga saya tidak terlalu go with the flow dalam hidup saya. Takutnya, flow-nya di situ-situ doang. hehe


Jakarta, 20 April 2011
Okki Sutanto.
(Hore sukses nepatin janji nulis satu tulisan per hari #day-one)

Selasa, 19 April 2011

Satu tulisan per hari? Yuk!

Catatan Pribadi.


Kapan terakhir kali saya menulis? Saya sendiri tidak ingat persisnya kapan.
Yang pasti, sudah cukup lama. Entah tulisan ilmiah, cerpen, maupun esai, sudah cukup lama tidak saya hasilkan. Alasannya tentu ada: berbagai pekerjaan, pikiran, dan masalah yang datang silih berganti beberapa bulan belakangan. Entah itu pekerjaan / pikiran / masalah yang benar-benar ada, atau sebenarnya hanya saya ada-adakan. Hehehe.

Padahal, saya tahu saya suka menulis. Saya juga berangan merintis karir di dunia kepenulisan. Lantas, apa yang saya harapkan jika saya tidak menulis? Gila memang. Ibarat saya ingin jadi anggota DPR, tapi tidak pernah berusaha mendengarkan aspirasi rakyat (maaf jika analoginya kurang tepat, saya tahu sebagian dari kita merasa di negeri ini hal barusan tidak berlaku, untuk jadi anggota dewan tidak butuh persyaratan apa-apa, kecuali uang, mungkin).

Arswendo pernah berkata "Mereka bilang saya ini gila karena senang betul menulis. Mereka itu salah. Yang benar adalah saya bisa gila kalau saya tidak menulis,". Rasanya saya kini mengerti apa yang dikatakan Arswendo. Ide untuk menulis selalu muncul setiap harinya! Berbagai pemikiran juga berseliweran di kepala. Tapi ya sudah. Hanya sebatas di otak saja, tanpa berusaha dituangkan dalam kata-kata. Jika ini saya biarkan, mungkin apa yang ditakutkan Arswendo akan terjadi: saya bisa gila.

Oleh sebab itu saya berikhtiar, mulai hari ini saya akan menulis setiap harinya. Baik itu tulisan santai atau serius, baik itu tulisan fiksi atau ilmiah. Satu tulisan per hari. Menjelang ulangtahun saya yang ke-20, saya juga melakukan hal serupa, dan cukup berhasil. Selama sebulan saya menghasilkan nyaris dua puluh tulisan. Jika dibandingkan dengan 1.5 tahun yang lalu, di mana kuliah sedang di puncak kepadatannya, harusnya saat ini hambatan untuk menulis sudah jauh berkurang. Kesibukan organisasi sudah jauh berkurang, kuliah pun tinggal menyisakan skripsi.

Baiklah, sekian saja tulisan pembuka hari-hari penuh tulisan saya ke depannya. Anggap saja tulisan ini menjadi tulisan pertama saya. Semoga saya sanggup bercinta dengan kata-kata, setiap harinya, sebagaimana yang dilakukan rekan-rekan saya di http://makna-kata.blogspot.com/ (sekaligus promosi! hahahaha)

Sekian dan terima kasih.
Sampai jumpa di tulisan-tulisan saya berikutnya.

Jakarta, 19 April 2011
Okki Sutanto
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...