Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Senin, 31 Mei 2010

(Cerpen) Aku dan Pak Iman

AKU DAN PAK IMAN

Semua orang yang mengenal Pak Iman, pasti menyukai beliau. Mulai dari murid-muridnya, bekas murid-muridnya, hingga rekan-rekan guru di sekolahnya. Rasanya Pak Iman cocok dijadikan panutan oleh semua orang. Ibarat malaikat, ia tidak memiliki suatu kekurangan apa pun. Pintar, beriman (sebagaimana namanya), jujur, dan segala kata sifat baik-baik lainnya rasanya cocok disematkan untuk beliau. Andai ada pemilihan guru teladan tahun ini, sudah bisa dipastikan Pak Iman juara satunya, juara duanya, dan juara tiganya. Tidak ada saingan.

Hingga kini tidak pernah ada yang menyangkal karisma Pak Iman. Semua orang menghormati dan mengaguminya, begitu pula aku. Kepadanyalah aku bertanya jika kesulitan mengerjakan pe er. Kepadanyalah aku bercerita ketika mengalami kesulitan. Kepadanya juga aku belajar banyak hal. Pak Iman adalah gambaran ideal bagiku dan rekan-rekan seumuranku. Aku ingin menjadi seperti Pak Iman!

Namun semuanya berubah malam itu. Tatkala aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, hal yang mungkin tidak akan pernah kupercaya, tapi mau tak mau kupercaya. Berawal dari pertengkaran kecil dengan istrinya, ia lantas memukul istrinya. Belum puas, ia memukul lagi, menendangi, menjambak, hingga meludahi istrinya. Puncaknya ketika ia mendorong sang istri yang memberikan perlawanan. Tak sengaja, kepala sang istri terbentur sudut meja. Istrinya jatuh, terkapar, lantas tak sadarkan diri, untuk selama-lamanya.

Sejak kejadian itu semuanya berubah. Semua hal baik tentang Pak Iman terhapus dalam sekejap. Dari pujaan jadi hinaan. Ia dipecat, lantas dipenjara. Desas desusnya, Pak Iman mengalami gangguan psikologis berat, justru karena tuntutan yang ia terima dari lingkungannya. Entah apa nama gangguan itu, aku tak peduli. Yang jelas, sejak saat itu Pak Iman bukan ayahku lagi.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jakarta, 11 Maret 2010
Okki Sutanto.
(tidak ada hubungan sama sekali dengan orang bernama Pak Iman)

Tentang "Being Stood Up"

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Tidak mudah mencari padanan kata untuk "Being Stood Up". Kurang lebih: ditelantarkan oleh orang yang sudah berjanji dengan kita. Dua film terakhir yang saya tonton, menceritakan tentang bagaimana "being stood up" bisa berakibat sangat fatal. Dalam film "THE WRESTLER", ketika Randy tidak sengaja lupa janji makan malam dengan putrinya, ia kehilangan kesempatan mendapatkan kasih sayang putrinya kembali. Dalam film "IT'S COMPLICATED", ketika Jake tidak bisa memenuhi janjinya kepada Jane, mantan istrinya, pintu untuk rujuk kembali pun tertutup untuk selamanya.

Mungkin ada pandangan: "Masa iya satu kesalahan saja sebegitu sulitnya termaafkan, dan berakibat sedemikian fatal?" Jawabannya adalah "YA". Coba kita bayangkan, ketika orang yang sangat kita sayangi berjanji akan menemui kita di suatu tempat. Kita berharap sesuatu yang indah akan terjadi. Kita menyiapkan segala sesuatunya. Kita datang ke tempat yang dijanjikan. Satu menit, lima menit, dan satu jam pun berlalu. Orang yang kita nantikan tidak kunjung datang. Sendirian, tercampakkan, terlupakan. Segala pengharapan kita hancur. Percayalah, tidak mudah menghadapinya. Dan ketika orang tersebut dengan polos berkata "Maaf", apa mudah untuk menerimanya? Belum tentu.

Inti dari pengalaman "being-stood-up" di atas adalah membuat orang lain kecewa, karena kita menjanjikan sesuatu yang melebihi kapasitas kita. Randy berjanji untuk meluangkan waktu bagi anaknnya, namun ia lupa keterbatasannya untuk memiliki agenda sehari-hari di tengah kehidupan urakannya. Jake berjanji datang ke rumah Jane, namun ia lupa bahwa ia masih memiliki istri dan anak yang harus diurus di rumahnya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin seringkali kasus-kasus di atas disebabkan karena satu hal: Overcommit. Kita kadang terlalu berkomitmen terhadap berbagai hal, di mana kita belum tentu bisa memenuhi hal tersebut. Kita terlalu yakin pada diri sendiri, untuk bisa melakukan berbagai hal dengan sempurna. Hal ini kerap kali melanda mahasiswa. Di tengah krisis identitas dan minimnya kemampuan menakar diri sendiri, bisa saja seorang mahasiswa berkomitmen terhadap terlalu banyak hal. Organisasi A, Organisasi B, Asisten Dosen C, Asisten Dosen D, Kegiatan E, Kegiatan F, Urusan G, Urusan H, dan lain sebagainya. Seru memang, mengeksplorasi kemampuan diri di berbagai bidang. Tapi kadang kita harus bisa menakar diri sendiri. Dan ketika memperhitungkan kemampuan diri, janganlah secara parsial! Oke saya bisa-bisa saja ikut di organisasi A. Oke saya bisa-bisa saja aktif di kegiatan B. Oke saya fine-fine saja jadi pengurus C. Tapi, apa yakin saya bisa menjalankan kesemuanya sekaligus?

Acap kali kita terlalu menyederhanakan masalah. "Tidak apa saya komit ke berbagai hal, toh kalau keteteran juga saya sendiri yang rugi." Pandangan simplistic ini sering membawa "neraka-dunia" pada orang-orang di sekitar kita. Jangan lupa bahwa kita adalah makhluk sosial, dengan pola interaksi dan ketergantungan yang kompleks dengan sesama kita. Ketika kita alpa / lupa / lalai / tidak bisa melakukan suatu hal yang menjadi tanggung jawab kita, bisa saja kita mengecewakan orang lain sebagaimana kasus "being-stood-up" di atas. Dampaknya fatal.

Mungkin sedari sekarang kita harus mulai memikirkan masalah ini. Kita harus mulai sadar, bahwa sebuah tanggung jawab tidak sekedar memiliki dampak personal, seringkali ia bisa berimbas sosial. Ada baiknya kita ingat kembali kalimat bijak dari film Spiderman: "With great power comes great responsibility". Benar begitu bukan?

Jakarta, 14 Mei 2010
Okki Sutanto
(hanya mengajak ber-refleksi, bukan meragukan, apalagi menuduh orang lain overcommit)

Bangsa Artifisial

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Beberapa tahun belakangan, makin marak tayangan televisi yang mengusung konsep Reality Show. Ada yang mengarah ke investigasi, romantisme, hingga konseling perkara rumah tangga. Menarik memang, biasanya malah jika ada satu acara yang sukses (ratingnya), stasiun televisi lainnya ikut membuat acara serupa. Alhasil, makin banyak acara-acara Reality Show menghiasi layar kaca setiap harinya.

Jujur, saya amat jarang menonton televisi, jadi saya rasanya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari bibit-bebet-bobot berbagai tayangan tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah isu di balik reality show tersebut. Diskusi di milis, forum, dan di berbagai pelosok mengajukan pertanyaan: "Benarkah apa yang ditayangkan di televisi benar-benar kenyataan?". Kerap kali orang sangsi, apa yang mereka saksikan adalah kenyataan. Mereka menduga bahwa berbagai tayangan tersebut tidaklah benar-benar terjadi, hanya sekedar rekayasa. Pernah suatu kali saya membaca tulisan yang dibuat oleh "orang-dalam" televisi, yang menyatakan bahwa memang apa yang ditayangkan itu tidak sepenuhnya realita. Memang ada kasus-kasusnya, tapi yang disajikan di televisi itu hanya reka ulang. Reka ulang pun kerap kali sudah dibumbui dengan dramatisasi yang berlebihan. Intinya: tayangan-tayangan tersebut sebatas artifisial, buatan.

Beralih ke tayangan televisi lainnya, yakni acara musik. Beberapa stasiun televisi menyajikan acara musik yang disiarkan langsung setiap pagi. Ada pembawa acara, ada band yang diundang, ada penonton yang memeriahkan acara. Ternyata, tayangan seperti ini pun hanyalah artifisial belaka. Band yang menyanyi hanya memutar rekaman yang sudah dibuat sebelumnya. Lebih parah lagi, penonton-penontonnya pun artifisial juga! Di salah satu surat kabar, saya pernah membaca liputan, bahwa orang-orang yang menonton acara televisi tersebut, memeriahi panggung, berteriak-teriak, semuanya bukan sungguhan. Mereka bukan fans dari band / penyanyi yang diundang, tapi mereka adalah penonton-penonton "bayaran", yang dari hari ke hari berpindah-pindah lokasi "syuting". Bahkan kegiatan mereka pun sudah terorganisir dengan baik, ada makelar / manager yang memberikan order. Makelar inilah yang dihubungi oleh penyelenggara acara. Mereka tinggal menerima telepon massa, lantas penonton pun berangkat ke lokasi "syuting". Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan 100-200 massa setiap harinya, dan memiliki "katalog" massa yang bisa disesuaikan dengan acaranya, mau yang muda, tua, rapih, rusuh, ada semua.

Nah, semalam di salah satu stasiun televisi, saya menyaksikan lagi bisnis makelar manusia. Kali ini, lingkupnya bukan penonton acara musik lagi. Kali ini adalah pendemo. Ya, pendemo! Yang melakukan aksi unjuk rasa, berteriak-teriak di bundaran H.I, di gedung MPR DPR, di sekitar Monas, dan lain sebagainya. Massa tersebut juga ternyata memiliki makelar yang mengkoordinir. Para "oknum" / "dalang" / "biang" yang memiliki kepentingan politis untuk mengadakan demonstrasi tinggal menghubungi makelar tersebut. Bayaran per pendemo berkisar antara 10-15ribu. Bayaran ini bisa meningkat, tergantung tingkat aksi yang di-pesan. Jika aksi damai, bayaran murah. Jika aksi agak rusuh, seperti menggoyang-goyangkan pagar, lebih mahal. Mau aksi anarkis, bayaran paling mahal, bisa mencapai 50ribu per pendemo. Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan ratusan hingga ribuan massa. Dalam sekali aksi, mereka mendapatkan bayaran 30-50juta, belum termasuk biaya akomodasi bagi pendemo. Keuntungan sang makelar per event kurang lebih hanya 10-15% saja. Sisanya untuk membiayai aksi demo.

Menilik berbagai uraian di atas, menarik bukan tren kehidupan artifisial di Indonesia? Entah sejak kapan, makin banyak hal-hal yang tidak asli, hanya tiruan saja, di negeri ini. Entah sampai kapan, bangsa ini mau menjadi bangsa artifisial. Menonton televisi, isinya reality show "buatan". Mau nonton konser musik, isinya penonton "buatan". Melihat demo di jalanan, ternyata pendemonya pun "buatan". Wah, makin lama makin susah membedakan mana yang asli dan mana yang buatan. Jangan-jangan, presiden saya juga buatan doang? Hahahaha.. Semoga saja tidak.

Jakarta, 11 Februari 2010
Okki Sutanto
(mulai ragu otak-nya buatan atau aseli)

Punahnya Pejabat Bersih

Ketikan Pinggir Hari Ini

Acap kali kita prihatin, mempersoalkan mengenai “busuk”nya para pejabat. Sebut saja beberapa perilaku “biadab” mereka yang membuat hati siapa pun yang melihatnya miris: membeli mobil dinas baru masing-masing berbanderol RP 1.3M, meloloskan pembelian pesawat kepresidenan seharga ratusan miliar, hingga ke pelbagai perilaku non-etis yang menghiasi sidang Pansus Bank Century.

Menyikapi hal tersebut, sering muncul kebingungan mengapa para pejabat sedemikian payahnya. Mereka selalu mengedepankan kepentingan individu dan golongan, tanpa berkontribusi optimal memajukan kesejahteraan bangsa ini. Korupsi terus dibudidayakan, kenyamanan pejabat terus diupayakan, tapi kinerja tidak pernah maksimal. Coba saja sebut, bidang apa di negeri ini yang patut diacungi jempol? Olahraga nol besar, Ekonomi merangkak, Lingkungan Hidup sekarat, Pendidikan hancur lebur, Kesehatan memprihatinkan, dan seterusnya.

Menurut hemat penulis, penyebab jarangnya orang-orang bersih, baik, pro-rakyat, dan bersungguh sungguh memajukan negri ini ada 2, yakni Buruknya citra politik di Indonesia, dan Terlalu kuatnya budaya politik di Indonesia.

Buruknya citra politik

Setiap orang tentu memiliki pengetahuan sebelumnya terhadap profesi yang akan dipilihnya. Misalnya saja, tidak mungkin seseorang mau menjadi dokter tanpa tahu apa itu dokter dan bagaimana pekerjaan dokter. Nah, di sinilah sumber masalahnya. Citra penyelenggara negara tidak pernah bagus semenjak masa Orde Baru. Yang mengemuka bukanlah bahwa tujuan pekerjaan mereka memajukan bangsa dan negara, melainkan kemudahan-kemudahan hidup yang akan didapatkan ketika menjadi pejabat: Kinerja yang tidak dikontrol ketat, gaji dan tunjangan yang nilainya tinggi, serta fasilitas-fasilitas khusus yang didapatkan. Hasilnya, ketiga hal tersebutlah yang menjadi sasaran ketika seseorang mau menjadi pejabat. Alhasil, orang-orang “kotor”lah yang memasuki lingkarang penyelenggara negara. Orang-orang yang bersih, jujur, dan memiliki idealisme, justru menjadi ANTI terhadap dunia politik. Mereka menjaga jarak, mengkritik penyelenggara negara dari lingkar luar kekuasaan.

Kuatnya budaya politik

Buruknya citra politik nasional tidak serta merta menyebabkan seluruh politikus menjadi busuk. Faktor kedua yang menyebabkan punahnya pejabat bersih adalah terlalu kuatnya budaya politik di Indonesia yang sudah “terinfeksi”. Dalam salah satu karya Yuma Ando, “KUNIMITSU”, terdapat ilustrasi yang sempurna bagaimana seorang politikus bersih menjadi kotor seiring ia mengenal dunia politik. Politikus tersebut pada awalnya memiliki ambisi, idealisme, dan visi membangun bangsa. Pada awal karir politiknya, ia meneguhkan hati bahwa ia harus memiliki jabatan tinggi, lantas setelah itu barulah ia akan mengubah negaranya. Namun, di tengah perjalanan karir politiknya, ia mau tidak mau harus mengikuti “aturan-main” yang sudah ada sejak lama. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan terpaksa ia lakukan agar ia bisa diterima di dunia politik, dan karirnya akan menanjak. Lambat laun, praktik kotor itu mendarah daging dalam dirinya. Memang, pada akhirnya ia mendapatkan karir yang bagus di dunia politik, namun ternyata ia sudah kehilangan tujuan awalnya berkecimpung di dunia politik.

Bukannya mengubah negara melalui dunia politik, dunia politiklah yang mengubah seseorang yang bersih menjadi korup. Hal ini juga yang terjadi di Indonesia. Mereka yang bersih pada akhirnya harus mengikuti budaya yang telah terbentuk di dunia politik. Jika tidak, mereka tersisih. Hanya sedikit yang berhasil menerobos arus budaya yang sudah demikian kuatnya. Alhasil, hampir seluruh pejabat di negeri ini morbid, sakit!

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara memutus “lubang-hitam” politik ini? Bisakah? Jawaban optimisnya tentu bisa. Jawaban realistisnya: HAMPIR MUSTAHIL. Untuk merubah citra dunia politik, mau tidak mau budaya politik harus diperbaiki. Dan untuk memperbaiki budaya yang telah mengakar, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita membutuhkan orang-orang bersih yang mau berkecimpung di dunia politik untuk memperbaiki budaya di sana. Untuk membentuk orang-orang bersih tersebut, dibutuhkan “lembaga” pendidikan yang bisa mencetak orang-orang teguh, kompeten, dan peka terhadap masalah bangsa. Masalahnya, adakah “lembaga” pendidikan tersebut? Tidak.

Jakarta, 1 Februari 2010
Okki Sutanto
(hanya bisa prihatin)

Pancasila Sekarang

Ketikan Pinggir Hari Ini

Pancasila tidaklah diciptakan, melainkan digali. Mungkin fakta ini sudah kita ketahui melalui pelajaran Sejarah ataupun Pancasila sewaktu sekolah menengah. Mungkin juga kita sekedar tahu fakta tersebut, tanpa memahami makna lebih lanjutnya. Berdasar dari sana, maka Pancasila sama seperti umbi-umbian dalam dua hal: merupakan hasil dari jerih payah, serta bisa diolah lebih jauh lagi.

Jika umbi-umbian merupakan jerih payah petani, maka Pancasila adalah hasil jerih payah sejarah bangsa ini sendiri. Jika umbi-umbian setelah digali akan diolah untuk memiliki nilai guna lebih, demikian pula hendaknya Pancasila. Ia tak butuh di’sakti’-kan, ia tak butuh di-‘mulia’-kan. Sama seperti umbi-umbian, Pancasila berasal dari, oleh, dan untuk rakyat itu sendiri.

Kesalahan fatal memaknai Pancasila terjadi di zaman Orde Baru. Pancasila dimuliakan, disaktikan, diluruskan, dan dilindungi sedemikian rupa hingga tafsir penguasa lah yang dianggap paling benar. Hal ini membuat banyak orang menjadi fanatik akan Pancasila, dan menganggap tabu, bahkan haram, untuk merevisi Pancasila.

Semua sila dalam Pancasila sejatinya baik dan benar, tidak ada yang membantah. Akan tetapi apa penting kita memiliki Pancasila yang dihormati sebatas simbol belaka tanpa pengamalan dan pengimplementasian? Apa masih ada jiwa Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari?

Mari kita tilik kelima sila tersebut. Pertama, KeTuhanan yang Maha Esa. Hingga detik ini, persatuan dan toleransi antar umat beragama masih belum pantas diacungi jempol. Masing-masing agama sendiri, terutama yang mengusung konsep keTuhanan, belum mampu menghasilkan umat yang berbudi luhur. Bahkan tak sedikit yang menelikung sila pertama ini menjadi “Tuhan-kuyang paling Esa”. Belum lagi Pejabat korupsi, Mahasiswa tawuran, Masyarakat berkonflik, Kriminalitas meningkat, di mana ke-ESA-an Tuhan kita masing-masing jika begitu?

Sila berikut membahas mengenai Kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradabkah kita, ketika menyumpahserapahi sesama rekan dewan di ruangan negara, disiarkan televisi nasional? Beradabkah kita saling serobot di jalan raya, bahkan tak peduli keselamatan orang lain? Adilkah kita saat tahanan lain berdesak-desakan dalam satu sel, namun kita memiliki sel bak kamar hotel bintang lima?

Sila berikutnya berbunyi: “Persatuan Indonesia!”. Sudah bersatukah kita? Di saat masing-masing partai mengusung negara utopia sendiri. Di saat begitu banyaknya aliansi, kelompok, golongan, ikatan, dan lain sebagainya yang demikian banyak padahal memiliki tujuan yang sama? Juga di saat intra golongan pun harus bentrok dan terjadi perpecahan.

Sila keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Adakah mufakat dan kebijaksanaan ketika yang benar adalah mereka yang berkuasa? Adakah keterwakilan yang benar-benar mewakili rakyat? Omong kosong dengan Dewan Perwakilan Rakyat, mereka adalah Utusan Wakil Partai, dengan kepentingan golongan, dengan tujuan individu.

Sila kelima sekali lagi membahas keadilan: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adilkah bangsa ini ketika mahasiswa berprestasi dibunuh di negeri tetanga tanpa investigasi dan pemberitaan memadai? Juga ketika orang yang kebetulan terkenal mengupdate twitter dengan kata makian, berita itu justru menghiasi layar televisi berminggu-minggu? Adilkah bangsa ini saat pencuri kakao dan pencuri kapas dengan harga di bawah sepuluh ribu rupiah dibui, ketika korupsi miliaran bahkan triliunan berlangsung tanpa ada yang diadili? Absurd nian 'keadilan' di negeri ini.

Jika demikian adanya pengamalan Pancasila di negeri ini, masih sakti-kah Pancasila kita? Jika tidak, harus bermuram durjakah kita memandang kondisi bangsa ini? Tidak juga. Setidaknya kita bisa bersyukur atas satu hal: bersyukurlah Pancasila digali saat awal kemerdekaan, bukan saat ini. Bayangkan apa yang bisa dijadikan Pancasila tatkala carut marut persoalan negara tak hentinya menggerus moral bangsa saat ini.

Namun bersyukur saja tidak cukup. Kita bisa mulai memaknai dan mengamalkan Pancasila, membangkitkannya kembali. Mulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri kita sendiri, mulai dari saat ini. Jikalau generasi ini sudah demikian bebal untuk mengerti makna Pancasila, setidaknya kita bisa mengajarkannya pada anak-cucu kita nantinya. Sehingga muncullah generasi baru yang berjiwa Pancasila, yang mampu menahkodai lagi bangsa ini ke arah yang benar.

Jakarta, 14 Januari 2010.
Okki Sutanto
(sedikit banyak terinspirasi dari Caping Goenawan Mohammad)

Ketika Sang Waktu Berlari

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sudah cukup lama jemari ini tak mengetik. Selain karena kondisi pikiran yang tak mendukung untuk menulis, waktu yang sedemikian sempit juga rasanya tak memungkinkan. Akhirnya bulan menulis (khusus bagi diri saya) kemarin, saya tidak berhasil mencapai target 30 tulisan. Ketikan Pinggir bulan lalu hanya 18 tulisan (http://www.facebook.com/notes.php?id=1417375192&start=10). Tak apalah, toh selanjutnya saya akan terus menulis. hehe..

Waktu. Ia tak pernah bisa memuaskan banyak orang. Sebagian merasa waktu dalam sehari terlalu banyak. Lainnya merasa terlalu sedikit (termasuk saya). Tak jarang ketika melewati danau di dekat rumah, saya melihat banyak sekali orang menghabiskan waktu di sana saat jam kerja. Hanya untuk duduk-duduk, melihat orang memancing, atau menyantap es kelapa. Mulai dari anak muda, karyawan kantoran, hingga yang sudah mulai beruban, bisa dijumpai di danau tersebut. Kadang juga ketika melintas di flyover-flyover ibu kota, saya melihat orang-orang memarkirkan motornya di puncak flyover. Lalu berhenti dan melihat ke jalanan di bawahnya. Sambil bengong, kadang sambil merokok.

Mungkin bagi orang-orang tersebut waktu dalam sehari terlalu banyak. 24 jam kelebihan, cukup lah 15-20 jam! Wong kerjaan aja gak ada koq. Ngapain sih ampe 24 jam? hahaha..

Namun bagi kelompok lainnya, 24 jam sangatlah tidak mencukupi. Tugas, Pekerjaan, dan Aktivitas-aktivitas lainnya seakan berkejaran tanpa lelah. Jangankan tidur berkualitas, bisa tidur 6 jam saja sudah sangat bersyukur rasanya. Jangankan meluangkan waktu untuk bersenang-senang, bisa memejamkan mata sejenak tanpa diganggu urusan lain pun sudah nikmat rasanya. Waktu rasanya terus berlari, dan ia tanpa sadar membuat kita ikut berlari juga.

Sempat terlintas pikiran nyeleneh ketika memikirkan ironi waktu ini. Andai ada alat untuk barter waktu! Jadi waktu dalam sehari dapat ditukarkan antar individu. Orang yang merasa 24 jam terlalu banyak bisa menyumbangkan waktunya ke orang-orang yang merasa 24 jam terlalu sedikit. Begitu pula sebaliknya. Sehingga tidak ada lagi yang tidak puas dan memprotes sang waktu. Semua senang, semua enak.

Ah! Lagi-lagi hanya angan belaka. Mungkin memang sudah demikian adanya diatur oleh sang empunya waktu. Mungkin ada makna yang jauh lebih besar yang belum bisa kita pahami, mengapa waktu harus seperti itu. Mungkin, dan hanya mungkin...

Jakarta, 1 November 2009.
Okki Sutanto
(mungkin terinspirasi oleh doraemon)

P3K: Pak Presiden, Perhitungkanlah Kami!

Ketikan Pinggir Hari Ini

Presiden dan kabinet yang baru, akhirnya dilantik 20 Oktober yang lalu. Meski tidak sempat mengikuti rangkaian acara dan seremoni tersebut melalui layar televisi, namun saya tetap berusaha mencari tahu berbagai hal tentang hari tersebut. Salah satunya adalah dengan mencari skrip pidato pelantikan presiden. Untungnya tidak perlu lama mencari dan saya menemukannya di: http://www.tvone.co.id/berita/view/25865/2009/10/20/isi_pidato_pelantikan_presiden_sby

Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, pidato tersebut isinya terlampau diplomatis. Hanya hal-hal umum yang sudah diketahui semua orang, formalitas belaka. Jauh dari detil dan gambaran konkrit! Bahkan pidato pelantikan Dekanat fakultas saya pun jauh lebih baik dan inspiratif. Ada satu hal yang cukup menjadi pertanyaan saya: 'Bagaimana ya peran generasi muda (lebih spesifik: mahasiswa!), di mata pak presiden?'. Koq sepertinya isu ini tidak pernah tersentuh ya? Baik saat kampanye, debat, bahkan hingga pidato pelantikan presiden tersebut.

Tidak usah diragukan lagi, betapa potensi yang dimiliki generasi muda bangsa ini adalah suatu hal yang membanggakan. Kita hanya terlalu rendah diri untuk mengakuinya, termasuk pemerintah. Mungkin ini pula yang kemudian membuat pemerintah enggan memberikan perhatian lebih pada generasi muda, dan pada akhirnya memberikan mereka ruang bebas untuk berkembang sendiri, sedemikian bebasnya hingga bisa kata 'diacuhkan' terasa lebih tepat. Pendidikan tidak pernah diperhatikan secara serius. Menteri pendidikan sebelumnya orang berlatar belakang ekonomi. Menteri saat ini? Hibah-an dari departemen komunikasi! Yang bahkan sempat menjadi menteri pariwisata ad-interim. Lantas pertanyaannya, di mana sih sebenarnya lahan keahlian orang ini? Koq seperti superman yang bisa melakukan semua hal. Oke, tidak perlu terlalu dalam membahas menteri tersebut, cukup sedangkalnya saja.

Kembali ke masalah generasi muda tadi. Sudah rahasia umum bahwa generasi muda memiliki berbagai kelebihan dibanding pendahulunya. Pemahaman yang lebih terhadap teknologi, Kemampuan berpikir kreatif dan inovatif, Kekritisan, serta Kinerja otak yang jelas lebih baik (sebuah artikel menyebutkan setiap harinya terdapat ribuan sel otak yang mati. Tentu hal ini secara tidak langsung membuat generasi muda berpikir lebih baik daripada generasi pendahulunya). Terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki generasi muda saat ini, tetap tidak bijak untuk mengesampingkan peran dan potensi yang bisa mereka sumbangkan.

Alangkah indahnya, jika pemerintah menggandeng generasi muda untuk bersama-sama memajukan negeri ini. Tidak perlu muluk-muluk dan langsung ingin berjalan beriringan. Semua bisa dimulai dari kerja sama yang sederhana. Pemerintah bisa mulai menjalin kerja sama dengan berbagai universitas untuk menghasilkan banyak hal. Misalnya jika seluruh departemen ingin membuat situs internet, kerja samalah dengan universitas yang jurusan unggulannya di bidang informatika. Misalkan pemerintah ingin meningkatkan perekonomian di sebuah pedesaan, libatkanlah mahasiswa-mahasiswa ekonomi dari universitas-universitas yang terbukti unggul. Proyek di bidang kesehatan? Libatkanlah mahasiswa kedokteran, keperawatan, farmasi, dan lain sebagainya. Ingin mendalami dan mengatasi konflik di berbagai daerah? Libatkanlah mahasiswa FISIP. Ingin membuat iklan untuk promosi pariwisata? Mintalah bantuan mahasiswa jurusan disain komunikasi visual. Yakin deh, hasilnya akan jauh lebih baik daripada proyek iklan setengah hati seperti sekarang. Mau menerapkan peraturan / undang-undang baru? Libatkanlah mahasiswa hukum. Mau melakukan perubahan budaya dan membentuk perilaku baru di masyarakat? Percayakanlah pada mahasiswa jurusan Psikologi.

Lihat, begitu banyak potensi dari generasi muda khususnya mahasiwa, dalam membantu pekerjaan pemerintah. Tidak perlu malu atau pun gengsi, menyatakan keunggulan yang dimiliki generasi muda. Bangsa ini sudah sakit, morbid!. Perlu perubahan, kesegaran, dan tangan-tangan baru dalam membantu membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.

Sudah bukan saatnya pemerintah hanya berkoalisi dengan Parpol saja! Koalisilah dengan rakyat! Koalisilah dengan segenap komponen bangsa, termasuk generasi muda! Sebagaimana salah satu syarat Good Governance adalah interaksi yang sinergis antara pemerintah dan rakyatnya. Tanpa itu, mustahil negri ini akan menuju ke arah yang lebih baik. Mau?


Jakarta, 22 Oktober 2009
Okki Sutanto
(jadi kepikiran untuk membuat pidato kenegaraan jika gw jadi presiden nanti)

Memaknai Dua Puluh

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Hari ini cukup istimewa buat saya. Selain bertepatan dengan hari pelantikan presiden, tepat dua puluh tahun yang silam, saya dilahirkan ke dunia. Seorang bayi yang dihempaskan tanpa sehelai benang pun ke pelukan kedua orang tua saya, seorang bayi yang tidak memusingkan urusan apa pun di dunia ini, dan seorang bayi yang belum memiliki apa pun. Ibarat selembar kertas, masih kosong! Putih, bersih, tanpa coretan.

Kini, kertas itu sudah cukup penuh terisi dengan berbagai coretan. Bukan saya sendiri yang menuliskannya, tapi semua orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dengan saya. Ada orang tua, ada sahabat, teman, guru, dosen, dan masih banyak lagi. Setiap interaksi yang pernah terjalin pasti membekas di 'kertas' itu, sedikit maupun banyak.

Menginjak usia dua puluh ini, saya sadar masih banyak sekali coret-coretan tidak penting yang mewarnai 'kertas' lama saya. Namun saya yakin bahwa dua puluh tahun rasanya saat yang tepat untuk berganti 'kertas' baru, dan mencoba membuat coretan yang lebih baik lagi, dengan panduan dari 'kertas' yang lama. Di kertas yang baru pula, berbagai coretan yang belum memiliki makna dan fokus rasanya harus diperbaiki. Menjadi lebih bermakna dan berfokus.

Bagi saya, ulang tahun bukan lah ajang makan-makan belaka. Bertambahnya usia, secara tidak langsung menambahkan pula ekspektasi orang akan kedewasaan diri kita. Hal ini yang pada akhirnya membuat seseorang, mau tidak mau, suka tidak suka, menapaki jalan menuju kedewasaan. Kedewasaan itu bukan soal pilihan mau atau tidak, melainkan pilihan jalan mana yang akan kita ambil dalam menujunya.

Seorang dosen pernah berkata, "Hidup adalah proses pencarian jati diri. Ia proses, yang tidak pernah selesai. Ia proses, karena semua orang terus belajar mencapainya". Sudah saatnya pula di usia yang menapaki kepala dua ini, upaya pencarian jati diri saya dimulai. Sudah bukan pada tempatnya saya terus berjalan melingkar di tempat yang sama, tanpa memiliki kejelasan apa yang saya tuju. Sudah bukan saatnya pula saya berdiam di sebuah anak tangga, dengan kebimbangan untuk melangkah naik atau turun. Fokus dan tujuan itu harus dicari! Wajib.

Meski tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa usia dua puluh masih terlampau hijau dalam memaknai hidup, saya tidak peduli. Sebuah kata bijak dari presiden amerika ke-16 menjadi acuan saya:
“And in the end, it's not the years in your life that count. It's the life in your years.”


Ya! Usia dalam hitungan bulan-tahun tidaklah berarti. Tapi bagaimana kita memaknai hari-hari dalam hidup kita-lah yang sesungguhnya penting. Mau terus hidup sebatas hari-bulan-tahun saja? Mau terus hidup tanpa pemaknaan yang jelas akan apa yang kita jalani?
Semoga Anda tidak.

Jakarta, 20 Oktober 2009
Okki Sutanto
(mencoba menentukan 'Aim', 'Objectives', 'Indicators', dan 'Session Plans' dalam hidup. haha.)

Tenar Benar!

Ketikan Pinggir Hari Ini

Tak bisa dipungkiri, ketenaran makin lama makin diimpikan banyak orang. Ada yang ingin tenar menjadi penyanyi (lewat acara idol2an), ada yang ingin tenar menjadi artis sinetron (lewat syuting sinetron2an), tenar saat mencari jodoh (lewat acara reality show), tenar jadi pesulap (melalui 'the master'), dan lain sebagainya. Jika sudah tenar, rasanya mau ngapain juga enak. Uang serta merta datang, orang banyak pun rasanya makin mudah melakukan hal yang kita mau.

Tak jarang, perilaku orang untuk menjadi tenar pun mulai aneh-aneh. Kasus teranyar adalah yang menggegerkan Amerika beberapa hari lalu, 'Runaway Balon Hoax'. Keluarga Heene, melaporkan anak mereka secara tidak sengaja terbawa balon terbang yang mereka terbangkan. Polisi ditelepon, 911 dihubungi. Alhasil, semua pihak terkait berusaha mengejar balon tersebut. Mobil polisi, helikopter, ambulans, semua berusaha menyelamatkan si anak. Pengejaran ini pun ditayangkan LIVE di televisi nasional hingga menjadi perhatian publik.

Setelah balon tersebut melayang jauh dan mendarat, polisi menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di balon tersebut. Usut punya usut, si anak yang dilaporkan terbawa balon udara ternyata ada di loteng rumahnya, sedang bermain di tempat persembunyian rahasianya. Usai penyelidikan lebih jauh, polisi mengindikasikan adanya usaha penipuan dan kesengajaan yang dilakukan keluarga Heene. Mereka sengaja membuat sensasi untuk mencari perhatian masyarakat, untuk menjadi tenar.

GILA! Cuma demi ketenaran, mereka membuat repot polisi, tenaga paramedis, dan menipu warga amerika. Apa sebegitu hausnya mereka akan ketenaran? Ah, dahsyat sekali kalau begitu pengaruh budaya dewasa ini. Sampai-sampai semua orang ingin menjadi tenar. Tenar pun tak jarang diidentikkan dengan bahagia. Padahal, rasanya terlalu dangkal jika mengaitkan ketenaran dengan kebahagiaan. Ketenaran itu sesuatu yang sifatnya temporer, mau tidak mau, suka tidak suka. Hampir tidak ada orang yang tenar sepanjang masa, dari lahir hingga mati. Ketenaran itu cuma sejumput kenikmatan yang lekang oleh waktu, terhempas oleh ingatan. Sedangkan kebahagiaan, sesuatu yang sifatnya lebih permanen, dan lebih cenderung ke proses. Ketika seseorang mencari cara untuk menjadi bahagia, saat itu pula ia membuktikan dirinya tidak bahagia. Tapi ketika seseorang benar-benar merasa bahagia, ia akan terus berproses secara spiral (bukan lingkaran yang berputar di tempat yang sama, melainkan spiral yang makin lama makin meninggi).

Tidak mudah memang menyadarkan banyak orang bahwa ketenaran itu tak harus menjadi prioritas. Media berlomba-lomba menyajikan cerita orang terkenal, dengan segala kemudahan dan keuntungannya. Menjadi teroris pun bisa tenar sekarang! Bisa membuat dalil-dalil sesat mereka makin tersebar luas, bisa membuat pengikut mereka bertambah. Nah, jika jadi teroris tenar saja banyak keuntungannya, mengapa tidak menjadi tenar-tenar yang lain yang sedikit lebih halal? hahaha..
Susah kan? Memang.

Jakarta, 19 Oktober 2009
Okki Sutanto
(tak mau tenar meski tiga jam lagi akan menjadi tenar sesaat di dunia maya)

Smokol; Gak Berat Koq!

Ketikan Pinggir Hari Ini

Beberapa minggu terakhir buku kumpulan cerpen KOMPAS tahun 2008, 'SMOKOL', bersarang di tas saya. Meski setiap hari selalu saya bawa kemana-mana, nyatanya keterbatasan waktu membuat saya baru selesai membacanya hari ini. Reaksi pertama: Huff!! Kelar juga. Entah mengapa selalu ada kepuasan tersendiri setiap kali menyelesaikan membaca sebuah buku. hahaha.

Entah mengapa, sukar menemukan anak muda yang tertarik membaca buku tersebut. Mungkin sudah terlanjur 'ngeri', mendengar kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh KOMPAS. Padahal, cerpen-cerpen yang terdapat di buku ini cukup menarik dan tergolong enak untuk dibaca. Ceritanya pun tidak semuanya berat, meski harus diakui beberapa membutuhkan pengetahuan historis, filosofis, dan wawasan yang cukup.

Awalnya, ketika membaca PROLOG oleh Rocky Gerung, saya sempat merasa: 'Wah, salah beli buku nih!'. Bagaimana tidak? Dari PROLOG yang hanya 13 halaman itu, rasanya tangan saya sudah keburu pegal membolak-balik kamus dan thesaurus untuk mencari arti sebuah kata (umumnya kata serapan yang langka digunakan). Namun setelah membaca satu per satu cerpennya, saya mulai kepincut juga untuk membacanya.

Ada cerita tentang seorang gastronom (ahli di bidang masakan) yang membentuk kelompok pecinta smokol (makan tanggung di antara sarapan pagi dan makan siang), yang secara berkala menikmati budaya smokol yang mereka ciptakan sendiri. Ada tema, ritual penyajian, dan pemaknaan folisofis dari setiap kesempatan mereka ber-smokol ria.

Ada pula cerita tentang kisah cinta rahasia berselimutkan konflik politik di Thailand. Panglima Pemberontak dan gembong bisnis Segitiga Emas, menjalin hubungan intim dengan seorang wanita pejuang yang amat membenci Junta. Pemaknaan Zita, sang wanita simpanan tersebut, terhadap hidup ketika sang panglima meninggal, mengalir indah dalam cerpen 'Iblis Paris'.

Tak melulu kompleks, ada juga cerita-cerita sederhana macam 'Kartu Pos Dari Surga' dan 'Merah Pekat'. Cerita pertama cukup mengharu biru menceritakan tentang seorang anak yang tiap hari merindukan kartu pos dari Ibunya, meski ternyata sang Ibu sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. 'Merah Pekat' berhasil membangun ketegangan dan suasana mencekam bagi pembacanya. Dante, sang drakula kecil di cerita tersebut, memberikan pilihan pada si tokoh utama wanita, mau memilih siang atau malam? Seketika wanita tersebut memilih malam, Dante pun menjadikan wanita tersebut vampir.

Ke-15 cerpen yang ada di buku tersebut pada akhirnya bisa dinikmati terpisah, sama sekali tanpa keterkaitan. Warna berbeda dari masing-masing cerpen justru membuat buku ini semakin menarik untuk dinikmati. Mengutip kalimat di EPILOG yang ditulis Linda Christanty: 'Tak peduli seberapa canggih gagasan si penulis, tak peduli seberapa dalam makna historis dan filosofis sang penulis, kecakapan berbahasa tetap merupakan kunci utama untuk terhubung dengan pembaca.'

Itu dia yang membuat para penulis cerpen tersebut mampu menuliskan cerpen-cerpen hebat.
Ah! Kapan kecakapan berbahasa ini bisa setara mereka. Iri rasanya melihat profil para penulis yang sudah sangat mumpuni di dunia kepenulisan. hahaha.
Kapan yah saatnya tiba?
Hmm... Pelan-pelan saja lah, Ki! =)

Jakarta, 17 Oktober 2009
Okki Sutanto
(makin terpacu untuk menulis)

Perangkap Tikus, Perangkap Manusia

(terinsipasi dari e-mail berantai lama yang tertimbun di inbox)

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sebuah Cerita Sederhana:

Sepasang suami dan istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. 
Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikur memperhatikan dengan seksama sambil menggumam "hmmm...makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar??"
Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang. Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak " Ada Perangkap Tikus di rumah.... Di rumah 
sekarang ada perangkap tikus!"
Ia mendatangi ayam dan berteriak "Ada perangkat tikus!"
Sang Ayam berkata "Tuan Tikus..., Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap diriku. Mengapa aku harus repot?"
Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak. Sang Kambing pun berkata " Aku turut bersimpati...tapi tidak ada yang bisa aku lakukan."
Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama. "Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali. Untuk apa aku pusingkan?"
Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata, "Ahhh...Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku."
Akhirnya Sang Tikus kembali kerumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.
Sang suami harus membawa istrinya kerumah sakit dan kemudian istrinya sudah boleh pulang namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam. Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya. (sop ceker ayam sangat bermanfaat buat mengurangi demam). Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya.
Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya. Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.
Dari kejauhan... Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.


Mungkin kita berpikir, terlalu mengada-ngada cerita tersebut. Seperti film Final Destination lah, terlalu dibuat-buat! Tapi jika coba kita refleksikan, bisa jadi seringkali hal seperti ini terjadi di kehidupan kita. Ketidakpedulian kita pada hal-hal kecil yang kita anggap tidak bisa menyengsarakan kita, pada akhirnya membuat kita mengalami hal buruk.

Andai di dalam cerita tersebut, salah satu hewan yang dimintai tolong oleh tikus mau sedikit lebih peduli, mungkin tidak perlu ada yang mati. Andai kita, mau sedikit lebih peduli pada hal-hal kecil di sekitar kita, bisa jadi dampaknya baik di masa depan. Misalnya: Kita memberikan senyum pada teman kita yang kelihatan sedang kesulitan. Bisa jadi senyum kita membantu ia menghadapi masalahnya. Dan bisa jadi pula, di masa depan senyum orang tersebut yang malah membantu kita.

Tidak sulit bukan? Harusnya sih. hehehe..


Jakarta, 16 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(merasa belum butuh perangkap tikus buat kamar gw)

Ketika Sirene Itu Tak Berbunyi Lagi

Ketikan Pinggir Hari Ini

Hidup di Jakarta, terlebih lagi bagi mereka yang sering melintas di jalan-jalan protokol macam Sudirman-Thamrin, tentu tidak asing dengan prosesi ketika 'orang penting' lewat. Kadang presiden, kadang wakil presiden, tak jarang pula menteri. Ketika mereka melintas di jalanan, arus kendaraan lain diberhentikan. Beberapa motor PM membuka jalan, lantas Sirine dibunyikan untuk menyuruh kendaraan lain menyingkir, barulah mobil sang 'orang penting' lewat.

Tidak jarang para pengendara yang tersingkirkan mengumpat, menyumpah serapahi pejabat yang lewat. "Wong jalanan sudah macet, koq malah dibikin macet?"
"Kalo gak mao telat, kenapa gak berangkat lebih dulu jadi gak perlu dikawal-kawal segala?"
Pertanyaan-pertanyaan sejenis akan terus memburu, meski pada akhirnya hanya membentur tembok ketidakpedulian dan tidak pernah ditemukan jawabannya.

Aksi para pejabat tersebut sebenarnya membuat risih. Tak jarang arogansi para pengawalnya membuat pengendara lain terpojok. Di beberapa kasus bahkan tindak kekerasan bagi pengendara yang tidak mau memberi jalan bagi sang pejabat. Pernah ada seorang pengguna jalan mengirimkan Suara Pembaca di Kompas terkait masalah ini. Beberapa hari kemudian, ada tanggapan dari pejabat terkait yang kurang lebih mengatakan "Mohon maaf atas ketidaknyamanan, ada tamu negara yang penting pada saat kejadian berlangsung, sehingga pak pejabat harus sampai tepat waktu".

Bah, betapa tidak berperikemanusiaannya respon tersebut. Memangnya empunya urusan yang mahapenting hanya pejabat saja? Naif rasanya. Namun respon serupa akan selalu dimunculkan. Pejabat, seperti biasa selalu memiliki ribuan alasan sebagai pembenaran tindakannya.

Bagi saya, bunyi Sirine dan aksi 'Buka Jalan' tersebut tak lebih dari manifestasi kebutuhan orang-orang tersebut untuk dihargai. Mereka saking tidak bisanya menemukan media lain yang bisa membuat dirinya dihargai, sehingga butuh melakukan suatu perilaku tidak biasa, perilaku merendahkan orang lain, sehingga dirinya terlihat sedikit lebih tinggi.

Mungkinkah suatu hari nanti bunyi sirene tersebut tak terdengar lagi? Mungkinkah tiba saatnya semua pejabat mau merasakan jadi rakyat biasa, tanpa perlu diperlakukan khusus di setiap kesempatan? Bisa kah? Ah. Semoga saja saat itu akan tiba.

Jakarta, 15 Oktober 2009
Okki Sutanto
(berpikir keren juga kalo motor butut gw dipasangin sirine polisi)

Analogi Babi; Siapa di atas, Siapa di bawah

Ketikan Pinggir Hari Ini.


Hari ini saya sedang berselancar di salah satu situs kesayangan, dan menemukan salah satu thread kocak yang saya sebutkan di atas. Ada dua cerita tentang babi dan majikannya. Masing-masing ceritanya seperti ini:

1. Babi multitalented.
Ada babi yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan banyak hal. Mulai dari menggantikan sang ayam berkokok, menggantikan kucing menangkap tikus, dan lain sebagainya.

Ia sangat bangga dengan dirinya dan kerap kali berujar ke binatang lain, "Kalian binatang bodoh, bagaimana mau bersaing dan disayang majikan jika cuma bisa itu-itu aja?".

Begitulah terus, si babi terus belajar berbagai kemampuan baru, dan ia terus membanggakan dirinya.
Suatu ketika, sang majikan datang dan ingin menyembelih sang babi.

Sang babi tentu kebingungan, ia bertanya: "Majikanku, mengapa engkau ingin menyembelihku? Padahal aku sudah begitu berguna bagi dirimu?"

Dengan polos sang majikan berkata, "Ga ada alasan khusus koq, gw cuma lagi pengen makan steak babi aja!"

THE END.

Moral of the story:
Majikan cuma ngeliat apa yang SEHARUSNYA lu lakukan, bukan apa yang BISA lu lakukan.
Gak guna tuh lu kebanyakan improvisasi. hahaha..


2. Masa bos salah?
Suatu ketika majikan ingin membuat pesta, ia menyuruh sang babi bikin biskuit. Sang babi pun bikin biskuit sesuai buku panduan, yakni: apinya secukupnya aja.

Melihat apinya kecil, sang bos marah "Kapan mao jadi kalo apinya kecil? Gedein apinya!"
Si babi berkata, "Nanti gosong bos!"
Si bos marah dan berkata, "Lu ini cuma babi, lakukan aja apa yang gw suruh!"

Akhirnya digedein deh apinya, alhasil biskuitnya gosong.
Si babi bertanya ke majikannya, "Gimana nih bos, biskuitnya gosong karena apinya kegedean?"

Dengan santainya sang majikan menjawab, "Yaudah, ganti menu jadi steak babi aja!"

THE END


Moral of the story:
Bos ga pernah salah, kalo pun salah bawahan yang harus nanggung


Well, mungkin kedua cerita tersebut cukup menggelitik. Tapi di dunia nyata, itu beneran terjadi loh. Makanya, hati-hati bagi yang punya bos, harap sadar diri! Tau diri lah siapa yang di atas, siapa yang di bawah! hahaha..

Jakarta, 12 Oktober 2009
Okki Sutanto
(bertanya-tanya kapan gue jadi bos)

Kelucuan Yang Satir

Ketikan Pinggir Hari Ini.

(Dalam acara kuis di sebuah televisi swasta)

MC kuis: "Siapakah yang menyanyikan lagu Hancur Hatiku?"
Peserta 1: "Olga Syaputra..!!!"
MC Kuis: "Betul...!!! Luar biasa..!!

(Pertanyaan berikutnya)
MC Kuis: "Tanggal berapakah diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda?"
Peserta 1: "9 Oktober..!!"
MC Kuis: "Salah...!!"
Peserta 2: "25 Oktober..!!"
MC Kuis: "Salah...!!!
Peserta 3: "20 April...!!"
MC Kuis: "Salah...!!"

Seharusnya tidak perlu lagi kata-kata untuk menjelaskan kesatiran di atas.
Atau mungkin ada di antara kita yang masih tidak mengerti kelucuan tersebut? Ayo ngacung! hehe..

Jakarta, 10 Oktober 2009
Okki Sutanto
(sudah siap tidur)

Surrogates; Sekali Lagi Manusia Menang

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sore tadi, saya baru saja menonton film "Surrogates" di Blitz. Film berlatar kehidupan mendatang yang dibintangi oleh Bruce Willis tersebut sedang laris dan hangat dibicarakan belakangan. Diangkat dari komik berjudul sama, jejak-jejak fantasi dan imajinasi tingkat tinggi masih amat terasa kental di film ini. Tak bisa disangkal, film ini memiliki terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Misalnya saja mengenai 98% populasi manusia yang menggunakan teknologi ini, apa mungkin teknologi ini sedemikian murahnya hingga hampir semua orang menggunakan? Ada lagi mengenai adiksi yang ditimbulkan, sebegitukah? Terlepas dari segala keganjilan tersebut, film ini menurut saya masih sangat layak untuk ditonton. Khususnya bagi mereka penggemar Sci-Fi dan Fantasi.

Pada intinya, film ini bercerita tentang pertempuran manusis melawan kecerdasan buatan. Mau tidak mau, film ini mengingatkan pula pada beberapa film sejenis, seperti Terminator 3, Eagle Eye, Artificial Intelegence, dsb. Sekali lagi, manusia menang. Sangat jelas pembuat cerita ini lebih pro ke manusia dibandingkan kecerdasan buatan. Jika ditilik lebih dalam, film ini kurang memiliki area abu-abu. Hanya ada setuju dan tidak setuju terhadap penggunaan Surrogates. Cukup disayangkan mengingat sebuah kontroversi justru bisa lebih tajam ketika menyoroti area abu-abu.

Memang, saya yakin sebagian besar orang akan lebih setuju manusia yang menang. Mungkin hanya sedikit yang setuju kecerdasan buatan yang bertahan. Dan sayangnya, saya termasuk ke bagian yang sedikit itu! hehe.. Sebagai orang yang cukup hi-tech minded dan kurang memuja humanitas, saya lebih setuju jika manusia suatu saat kalah oleh kecerdasan buatan. Kenapa? Karena manusia sudah terbukti dalam sejarah, merupakan makhluk angkuh dan sombong, yang sulit mengakui adanya sesuatu yang lebih hebat dibandingkan mereka. Hal ini membuat manusia enggan mengintrospeksi diri. Jika begitu adanya, kan lebih baik kecerdasan buatan saja yang menguasai kita.

Terdengar ekstrem memang, namun begitulah kira-kira yang saya pikirkan. Mungkin ada pendekatan yang lebih tidak ekstrem, tapi lebih bermain di daerah abu-abu, yakni manusia dan kecerdasan buatan bisa hidup beriringan dan saling membantu. Andai saja hal itu bisa terwujud, di mana kecerdasan buatan bisa membantu membimbing manusia ke arah yang benar. Ah, andai saja.

Jakarta, 9 Oktober 2009
Okki Sutanto
(masih berandai-andai)

Pendidikan Sama Rasa Sama Rata

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Sering sekali saya membaca, entah di internet maupun majalah, tentang orang-orang yang menguasai suatu hal di usia yang masih sangat muda. Ada anak berusia 13 tahun dari Singapore yang sudah memahami semua bahasa pemrograman, ada anak dari India yang pada usia 11 tahun sudah menjadi dokter bedah, ada pula anak usia 19 tahun di Amerika yang sudah menyelesaikan pendidikan S-3nya.

Sungguh membanggakan, betapa prestasi yang sangat gemilang mampu ditorehkan di usia yang masih sangat muda. Di sisi lain, muncul keprihatinan karena fenomena serupa sangat langka ditemukan di negri tercinta ini. Ada pun anak-anak yang sempat bikin geger adalah yang berbau mistis semacam Ponari, ataupun Ulfa yang dinikahkan dengan Syekh Puji. Jelas bukan prestasi yang membanggakan.

Dalam pengamatan sebagai orang yang mengecap pendidikan dasar hingga universitas di Indonesia, saya melihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu memfasilitasi adanya murid-murid istimewa. Tidak sedikit saya menemukan murid-murid jenius yang tidak layak mendapat pengajaran yang sama dengan kebanyakan murid. Materi yang mungkin membutuhkan waktu sebulan bagi murid lain, dapat dikuasai oleh murid-murid jenius ini dalam beberapa hari saja. Namun karena pembatasan oleh sistem, mereka hanya bisa terkungkung dan menjalani pembelajaran yang normal-normal saja.

Memang, belakangan mulai santer terdengar adanya kelas-kelas akselerasi, meski masih terbatas di sekolah-sekolah tertentu saja. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan beberapa orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, implementasi kelas aksel tersebut masih jauh dari sempurna. Murid-murid di kelas aksel terlalu dilatih otak kirinya saja, namun tidak diseimbangkan dengan bimbingan mental yang baik. Akhirnya mereka malah menjadi depresi, mungkin karena materinya yang malah terlalu padat dan pengajarnya tidak mampu menyesuaikan diri, juga karena pandangan dari sekitar yang terlalu memberatkan harapan pada diri mereka.

Jika ditilik lebih jauh, masalah ini berakar di budaya Indonesia yang kerap kali menganut 'SAMA RASA SAMA RATA'. Tidak jarang kita melihat perwujudan dari nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika kita memahami esensi dari keadilan, adil tidaklah identik dengan sama rata. Paradigma yang salah ini membimbing masyarakat untuk tidak memberikan tempat bagi orang-orang yang 'lebih' dibanding dirinya. Semua ya harus menjalani hal yang sama, mendapatkan hal yang sama, dan berakhir sama pula.

Hal semacam itulah yang masih menjadi momok di dalam masyarakat Indonesia, terlebih di dunia pendidikan. Jika kita terus memiliki paradigma di atas dan mengembangkan nilai yang salah tersebut, jangan harap kita bisa memiliki generasi muda yang lebih unggul dibandingkan negara-negara lain. Tidak dapat dipungkiri, usaha dari Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Namun, maukah kita mulai dari diri kita sendiri?


Jakarta, 7 Oktober 2009
Okki Sutanto
(tidak sabar ingin tidur)

Bumi Manusia; karya besar yang tak lekang oleh waktu

Ketikan Pinggir Hari Ini


Mungkin sebagian di antara kita ada yang pernah membaca buku 'Bumi Manusia' karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Buku tersebut adalah buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru, yang ditulis Pram saat ia ditahan dan diasingkan di pulau Buru. Saya sendiri membaca buku tersebut dan mulai mengenal karya-karya Pram saat semester 2, ketika mengikuti kuliah Filsafat Manusia. Tak akan cukup satu notes untuk mengagumi Pram, beliau terlampau hebat, dengan segala kontroversinya. Cukup ijinkanlah saya dalam kesempatan ini menceritakan sedikit mengenai buku Bumi Manusia tersebut. Siapa tahu bisa menjadi pencerahan, bisa juga tidak.

Dalam buku tersebut, melalui kehidupan sang tokoh utama, Minke, realita kehidupan pada akhir abad 19 terdeskripsi dengan amat baik. Negri ini masih berupa angin, belum terlahir seutuhnya, bahkan masih belum terkonsepsi. Mungkin kata "Indonesia" belum sekali pun terucap. Belanda masih menjadi penguasa, sepeda masih menjadi barang mewah, koran masih belum terdengar, dan sekolah pun masih diperuntukkan untuk bangsawan belaka. Intinya, 'jadul' dalam arti sebenar-benarnya.

Yang menarik dari buku tersebut adalah problematika yang terjadi persis seabad yang lalu. Permasalahan mendasar yang dihadapi Minke pada masa itu kurang lebih ada 2. Yang pertama adalah pemerintahan yang 'sakit'. Pemerintahan korup, otoriter, 'jauh' dari rakyat, dan gagal. Masalah kedua adalah tidak adanya gerakan persatuan. Minke yang berkoar-koar demi persatuan pada saat itu sungguh kesulitan dan mendapat tekanan luar biasa dari Belanda. Berbagai pihak umumnya mencari aman di bawah perlindungan Belanda saja.

Buku tersebut bersetting seabad yang lalu. Bahkan di saat negri ini belum terbentuk. Jika dipikir, rasanya mustahil permasalahan yang sama tetap berputar dan menggerogoti sebuah negri dalam jangka waktu seabad. Namun ternyata jika ditilik lebih jauh, berbagai masalah yang terjadi pada saat itu masih juga kita rasakan di masa sekarang. Pemerintahan yang gagal, jauh dari usaha pensejahteraan rakyat. Persatuan, yang harusnya sudah kita dapatkan sejak enam puluh empat tahun yang lalu, nyatanya tidak lebih dari ikatan semu belaka. Tidak ada lagi kebanggaan dari hari kemerdekaan. Sulit membuat suatu simbol persatuan yang dihormati semua kalangan. Lagu kebangsaan tak sanggup, bendera tak mampu, bahkan presiden pun tak bisa menjadi ikon penyatu bangsa. Nasionalisme lambat laun menggerogoti dari dalam, dan bangsa ini pun sakit tanpa ada obatnya.

Berapa lama lagi yang harus kita habiskan untuk menunggu?
Berapa banyak lagi rakyat yang harus menderita dalam penantian itu?
Berapa banyak manusia gagal lagi yang harus duduk di kursi pemerintahan?
Cukupkah 1 abad lagi?
Bisakah lebih cepat?

Jakarta, 6 Oktober 2009
Okki Sutanto
(kangen membaca karya Pram lainnya)

Minggu, 30 Mei 2010

(Cerpen) Ah, Aku Ingat!

AH, AKU INGAT!

Sedari bangun pagi tadi, aku tidak mampu mengingat apa pun tentang kehidupanku. Siapa namaku, apa pekerjaanku, tanggal berapa sekarang, bagaimana aku bisa ada di tempat aku bangun? Aku tidak ingat semua itu. Mungkin ini yang namanya amnesia. Dari tanda pengenal yang kutemukan, namaku adalah Astrid, kelahiran tahun 1990. Dari kalender yang terpampang di sudut kamar, sekarang tanggal 1 April 2009. Untunglah, kemampuan matematikaku tidak ikut sirna dari otak. Aku tahu aku berumur 19 tahun.

Pagi hari kuhabiskan untuk mengacak-acak seisi rumah. Entah mengapa, rumah yang tidak terlalu besar ini tidak ada orang sama sekali. Senyap. Aku enggan keluar rumah terlebih dahulu, tanpa tahu siapa sebenarnya diriku. Tidak terlalu banyak petunjuk yang aku dapatkan. Satu-satunya petunjuk, aku pernah sekolah di "SMA BAHAGIA", terlihat dari seragam yang ada di lemari baju dan beberapa buku di dalam sebuah tas.

Berbekal pengetahuan itu, aku bergegas ke SMA tersebut. Berharap menemukan petunjuk. Entah mengapa aku ingat jalan ke sana, tidak terlalu jauh dari rumah. Sepanjang perjalanan, aku merasakan pandangan aneh dari orang-orang di sekitarku. Rasanya semua orang berusaha mengacuhkanku, tidak menganggap aku ada. Aku sih tak peduli. Anehnya, perasaan diacuhkan terasa begitu familier bagiku.

Sepuluh menit perjalanan, aku tiba di sekolah. Sepi, tidak ada orang. Aku baru ingat saat melihat kalender di kamar, hari ini hari minggu. Pintu gerbang kecil ternyata dibuka, aku memutuskan untuk menyelinap masuk. Kususuri lorong-lorong sekolah, ruang-ruang kelas, perpustakaan, kantin, hingga ruang guru. Potongan-potongan ingatan samar mulai muncul. Aku sekarang yakin sekali dulu aku bersekolah di sini.

Lama aku duduk di pinggiran lapangan sekolah, berusaha sekuat tenaga mengingat masa laluku. Ingatan yang samar itu lama kelamaan makin jelas. Aku ingat, aku dulu seorang murid yang pendiam, tidak suka bergaul, tidak menonjol di bidang apa pun, dan kerap menjadi sasaran olok-olok teman seangkatanku. Apa pun yang aku lakukan untuk mengubah keadaan, rasanya tidak pernah berhasil.

Pada tanggal 1 April 2006, mereka berusaha membuat lelucon. Aku lupa bahwa hari itu semua orang diperbolehkan menipu satu sama lain. Aku disuruh memberikan sebuah kotak bingkisan kepada salah seorang guru, katanya guru tersebut berulang tahun. Aku menurut saja, daripada dipukuli seperti biasa. Ternyata, isi kotak tersebut adalah beberapa keping film porno. Di depan ruang kelas, di hadapan banyak guru lainnya, serta murid-murid yang bersiap untuk tertawa, aku ditampar oleh guru tersebut. Nyatanya, teman-temanku tetap tertawa. Rencana mereka sukses. Ah! Tiba-tiba aku lupa kelanjutan kisah tersebut. Mungkin beban kerja otakku sudah begitu berat, berusaha mengingat banyak hal dalam waktu singkat.

Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah dan kembali ke rumah. Tepat sebelum keluar dari sekolah, aku tiba-tiba ingin buang air. WC terdekat ada di belakang pos satpam. Aku masuk ke sana. WC ini yang paling jorok dari semua WC di sekolah. Bau , banyak kotoran, dan cat dindingnya pun sudah kusam. Hampir tidak ada orang yang menggunakan WC ini.

Hmm, rasanya aku ingat kelanjutan cerita tadi! Sehabis ditampar oleh guruku, aku berlari ke WC ini. Aku menangis, mengurung diri. Lima jam kemudian baru guru-guru menemukanku. Pintu didobrak, aku dikeluarkan dengan bantuan beberapa satpam. Pergelangan tangan kiriku bersimbah darah. Tangan kananku menggenggam pecahan kaca WC. Tubuhku mulai kaku, tak bernyawa. Ah, akhirnya aku ingat! Dulu aku bunuh diri di sini. Kali itu aku sukses. Mereka berhenti tertawa.
----------------------------------------------------------------------

Jakarta, 14 Maret 2010.
Okki Sutanto
(sama sekali tidak berencana bunuh diri) 

Kamis, 27 Mei 2010

Berlayar atau berlabuh?

Ketikan Pinggir hari ini.

Belakangan ini di kampus saya sedang berlangsung acara pemilihan ketua HIMAPSI (Badan Setara BEM Fakultas). Minggu ini, ketiga calon ketua melakukan kampanye. Kampanye ketiganya sangat menarik, masing-masing membawa idealisme yang sungguh mulia. Saya pun yakin, siapa pun yang terpilih akan sanggup memberikan yang terbaik nantinya.

Dalam kampanye salah seorang calon, ada tagline dan kata mutiara berkesan yang digunakan. Meski ini bukan kali pertama saya mendengar kata mutiara tersebut, namun kesan yang ditinggalkan kali ini cukup mendalam. Bunyi kata mutiara tersebut adalah:
"A ship in the harbor is safe, but that's not what ships are built for"

Calon tersebut menjelaskan kata mutiara di atas dengan menganalogikan kapal dengan mahasiswa. Mahasiswa, jika hanya mencari aman dan tidak ingin mengambil resiko dengan mengembangkan potensinya, akan sia-sia seperti kapal yang hanya dilabuhkan saja. saya setuju sekali dengan hal tersebut.

Menggunakan kata mutiara yang sama, saya ingin mencoba melihat dalam konteks yang sedikit lebih besar. Bagi saya, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi mahasiswa saja, tapi juga bagi setiap individu, setiap manusia.

Berada di zona aman, melakukan hal-hal biasa, menghindar dari tantangan dan tanggung jawab, lari dari resiko, memang menjauhkan kita dari bahaya. Namun kita, sebagai manusia, tidak hanya diciptakan untuk terus berada di zona aman. Ada kalanya, kita harus keluar dari zona aman tersebut, dan mengembangkan segala potensi dan talenta yang kita miliki. Cobalah untuk mengambil pengalaman sebanyak-banyaknya, ikutilah berbagai hal yang mungkin sulit untuk dilakukan, namun berpotensi memajukan diri kita.

Mungkin akan sering sekali respons yang keluar adalah:
"Tapi, itu kan berisiko?"
"Kalau saya salah gimana?"
"Kalau nantinya saya malah gagal gimana?"
"Siapa yang menjamin saya enggak bakal kenapa-kenapa?"

Bagi saya, pendapat-pendapat seperti itu udah saatnya masuk museum, klasik! Salah & gagal adalah hal lumrah. Manusia justru belajar dari yang namanya salah dan gagal. Kita jatuh, maka kita berdiri kembali. Kita terjerembab, maka kita bisa bangkit. Kita terluka, maka kita menjadi lebih kuat.

Pada akhirnya, pilihan itu memang tetap berada di tangan individu masing-masing. Mau menjadi manusia yang biasa-biasa saja, melakukan hal biasa-biasa saja, menghasilkan hal yang biasa-biasa saja, dan berakhir tanpa menjadi siapa-siapa? Silahkan-silahkan saja.

Tapi jika kita mau menjadi manusia yang lebih dari sekedar biasa saja, mari kita coba melakukan sesuatu mulai dari sekarang. Cobalah untuk melihat potensi apa yang terdapat di dalam diri kita. Jika sudah, bukalah mata, hati, dan pikiran kita terhadap hal-hal yang bisa mengembangkan potensi kita tersebut. Mulailah melakukan hal-hal yang luar biasa, dan janganlah ragu untuk mengambil resiko! Akhir kata, sampai bertemu ketika kita sudah menjadi 'seseorang'! hehe..


Jakarta, 3 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(berharap besok tidak hujan)

Batik, tak sekedar corak

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Hari ini, 2 oktober 2009, ada yang unik dengan gaya berpakaian masyarakat. Tidak seperti biasanya, di mana kaos dan kemeja mendominasi, hari ini sejauh mata memandang batik terlihat di mana-mana. Penumpang bus transjakarta, pejalan kaki di trotoar, para mahasiswa dan dosen di kampus, banyak sekali yang mengenakan batik. Tidak sekedar baju, bahkan celana, tas, selendang, hingga boxer pun bercorak batik!

Memang, sejak beberapa pekan lalu gencar disosialisasikan gerakan menggunakan batik pada tanggal 1-3 Oktober, khususnya 2 Oktober. Gerakan ini sebagai perayaan, atas diresmikannya batik menjadi salah satu Warisan Dunia Tak Benda yang berasal dari Indonesia, oleh UNESCO. Sekedar informasi, kurang lebih terdapat 70 produk kebudayaan di seluruh dunia yang telah diresmikan oleh UNESCO, dan sebagian besar berasal dari Jepang dan Cina. Indonesia sendiri telah memiliki enam buah Warisan Dunia yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni Komodo, Hutan Tropis, Situs Purbakala Sangiran, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Keris.

Jujur, melihat banyaknya orang mengenakan batik, dan melihat betapa batik dihargai pada hari ini, rasa bangga sulit dielakkan. Rasa kebersamaan dan nasionalisme pun cukup terasa. Jika 81 tahun yang lalu para pemuda seantero nusantara mengumandangkan SUMPAH PEMUDA dan bersatu dalam bahasa, hari ini kita juga disatukan oleh batik. Namun masih patut disayangkan, pemaknaan sebagian besar orang terhadap batik masih belum mendalam.

Batik masih dipandang sebagai motif atau corak pakaian saja. Padahal, jika batik hanya sebatas itu, UNESCO tak mungkin menetapkan batik sebagai salah satu Warisan Dunia. Batik itu karya seni yang berfilosofis! Setiap jenis corak dan ragamnya memiliki arti berbeda. Kegunaan masing-masing corak batik pun berbeda. Ada KAWUNG, yang menandakan kerajaan. Ada PARANG, yang melambangkan kekuasaan dan keperkasaan. Ada NITIK yang menggambarkan kebijaksanaan. Ada SIDO MULYO, UDAN LIDRIS, dan masih banyak lagi. Sayangnya, filosofi yang terkandung dalam batik masih kurang dipahami dan dipedulikan oleh masyarakat.

Sulit memang, melakukan edukasi dan memberitahu masyarakat mengenai makna filosofis dari batik. Sejauh ini belum banyak pihak yang memberikan atensi terhadap hal tersebut kecuali beberapa musem batik di Jogja. Oleh sebab itu mungkin kita bisa memulai dari sekarang, dan dari diri kita sendiri, untuk membantu menanamkan dan menyebarkan keluhuran nilai dari batik pada masyarakat luas. Jika batik dipandang sebagai pakaian saja, dan lambat laun tak ada lagi yang mengerti nilai filosofis batik, lantas apa lagi kelebihan batik? Lantas, apa lagi yang bisa kita banggakan dari batik?

Jakarta, 2 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(masih berhalusinasi melihat corak batik di mana-mana)

Gempa, Tonijack, & Miyabi

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Belakangan ini saya tidak mendapat asupan berita yang mencukupi. Kalo dulu tiap pagi minimal saya punya waktu setengah jem untuk baca koran pagi, belakangan tidak. Televisi dan radio pun memang sudah sejak lama tak menjadi sumber berita saya lagi. Alhasil, saya jadi agak terisolasi dari dunia perberitaan.

Namun, berkat penemuan mahacanggih abad ini bernama INTERNET, saya masih bisa mendapatkan sayup-sayup berita nasional maupun internasional. Belakangan ini ada tiga berita yang cukup menarik perhatian saya. Yang pertama adalah Gempa di Padang yang terjadi Rabu sore (30/9). Berita tersebut sangat mengejutkan. Tanpa peringatan terlebih dahulu, gempa meluluhlantahkan Padang. Gedung-gedung runtuh, jalanan rusak, listrik padam, jalur komunikasi mati. Amat mencekam! Terbayang jika hal serupa terjadi di Jakarta, pasti Indonesia lumpuh, bisa sejenak, bahkan mungkin berkepanjangan.

Berita kedua adalah berita yang kurang santer terdengar, namun cukup menarik buat saya. Tahu restoran cepat saji paling laris dari Amerika yang lambangnya huruf M besar? Yup! McDonalds (McD) maksud saya. Diberitakan, ada pengalihan aset perusahaan pemegang merk dagang McD, yang mengakibatkan 13 outlet McD di Indonesia harus mengubah nama. Awalnya saya membaca berita ini sekilas saja, tapi saya jadi teringat lagi tatkala pagi ini melewati Sarinah, dan saya tidak menemukan gerai McD di sana. Yang saya temukan adalah gerai Tonijack! Kaget sih, dan jujur masih bertanya-tanya kenapa McD SarinH berganti nama menjadi Tonijack. Selain kurang familiar, kurang nasionalis aja gitu. Kenapa enggak ganti nama jadi Mc Bambang aja, meminjam nama pemilik ke-13 outlet tersebut. Atau apa pun lah yang lebih ke-Indonesiaan! hahaha..

Nah, berita terakhir nih yang paling kontroversial bagi saya. Yakni tentang wacana kedatangan Miyabi, sang bintang film dewasa dari Jepang, ke Indonesia untuk membintangi film bersama Raditya Dika, penulis muda yang bukunya sempat difilmkan. Pembicaraan di milis-milis, forum internet, dan antar teman saya, mau tidak mau membuat saya tahu berita ini. Debat kusir pun terus bergulir. Ada dua kubu, yang menentang dan yang mendukung. Reaksi dan kecaman pun berdatangan dari berbagai pihak, meski sampai kini belum ada keputusan resmi mengenai masalah tersebut dari tim produksi film.

Mencermati ketiga berita di atas, saya ingin menyoroti peran media massa sebagai sumber informasi utama masyarakat luas. Untuk berita pertama, sudah layak dan sepantasnya menjadi fokus, bahkan headline. Berita ini menyangkut keselamatan dan kepentingan banyak orang. Nilai penting dan gentingnya sangat mengemuka. Dan untunglah pada kenyataannya berita ini memang menjadi headline di hampir seluruh media terkemuka. Pada berita kedua, karena tidak menyangkut orang banyak, maka porsi pemberitaannya pun minim. Cukup proporsional sih, karena memang sebatas informasi saja, tanpa berdampak apa apa ke banyak orang. Berita terakhir yang paling gak proporsional menurut saya, kurang tepat jika media membesar-besarkan hal ini.

Miyabi, yang sebelumnya hanya menjadi retorika ruang tertutup dan obrolan di sudut-sudut kamar remang-remang, kini menjadi buah bibir masyarakat luas. Data google menunjukkan, dua pekan terakhir pencarian dari Indonesia dengan kata kunci seputar Miyabi maupun Maria Ozawa meningkat tajam. Dampak inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh para pengecam kedatangan Miyabi. Efek domino yang akan ditimbulkan terlalu luas.

Berkomparasi dengan berita-berita sebelumnya, berita tentang Miyabi amat tidak tepat masuk ke arus media utama. Selain daya tarik pornografinya, berita tersebut tidak memiliki fungsi dan sifat penting sama sekali. Konyolnya, media belakangan ini semakin tak bisa membedakan mana yang merupakan berita penting dan tidak penting. Proses penyaringan berita makin menjauh dari esensinya. Lambat laun, berita utama dan berita infotainment akan sulit dibedakan.

Berita yang 'baik' akan dipandang dari tingkat rating dan daya 'jual'-nya saja, tanpa memperhatikan aspek kualitas dan efeknya. Pendewaan terhadap rating dan popularitas, pada akhirnya akan menumpulkan ketajaman dan kualitas berpikir media massa itu sendiri. Padahal, sebagai media massa, tidak diragukan lagi kemampuannya dalam membentuk opini publik dan tren perilaku. Imbasnya terhadap kemajuan masyarakat pun tidak bisa dinafikan.

Seharusnya, para pemangku kepentingan di dunia jurnalistik dan pemberitaan mulai berbenah. Dunia jurnalistik bukanlah dunia persinetronan, di mana kualitas yang buruk akan selalu dikorbankan demi rating. Setiap kata, kalimat, dan tulisan yang dihasilkan, bisa berdampak luas dan kuat bagi banyak orang. Alangkah baiknya pun masyarakat bisa lebih cerdas mencerna berita dan isu, sehingga tidak terjebak dalam paradigma dan pembentukkan perilaku yang kurang bijak. Mari kita menjadi pembaca yang kritis, yang tidak pernah puas dan selalu mempertanyakan apa yang kita baca! Mau? (dengan gaya iklan salah satu provider seluler di Indonesia)

Jakarta, 1 Oktober 2009.
Okki Sutanto
(tak sabar melihat jakarta dipenuhi batik besok)

Minggu, 23 Mei 2010

Mengenal Blog

Blog ini adalah sarana saya mendokumentasikan semua tulisan-tulisan yang pernah saya hasilkan. Sejak SMP saya ingin sekali menulis, dan kadang frustasi karena tulisan-tulisan yang saya hasilkan tidak enak dibaca. Namun setelah melewati berbagai hal, pada akhirnya saya kembali ke pepatah inggris terkenal: Practices make perfect.


Banyak membaca buku. Banyak menulis. Kedua hal tersebut membuat kemampuan menulis saya berkembang (meski belum bisa dikatakan baik). Dan semakin hari saya semakin menyukai menulis. Oleh sebab itu saya kembali mengurusi lagi blog yang sempat saya tinggalkan ini. Untuk latihan menulis, selain juga untuk mengekspresikan berbagai hal.

Area ketertarikan saya cukup luas, sehingga bisa saja saya menulis berbagai hal yang sama sekali tidak berkaitan. Namun, untuk mempermudah kategorisasi (entah mengapa saya suka mengelompokkan sesuatu), saya membagi tulisan-tulisan saya menjadi 5 jenis: Ketikan Pinggir, Catatan Pribadi, Fiksi, Review, dan Lainnya (Uncategorized).

Ketikan Pinggir adalah opini/pandangan/sikap saya tentang berbagai hal, yang sedikit banyak berupa refleksi. Biasanya Ketikan Pinggir mengajak para pembacanya untuk sama-sama berrefleksi. Nama Ketikan Pinggir sendiri terinspirasi dari Kolom Goenawan Mohammad di TEMPO, yakni Catatan Pinggir. Idealnya Ketikan Pinggir mengambil jarak dari suatu hal, karena memang memosisikan diri di pinggir jauh lebih mudah (dan netral?). Bisa juga ia sebatas coret-coret di pinggiran buku yang sedang kita baca. Mungkin tidak berguna, mungkin sebatas pengingat, mungkin juga lebih dari sekedar itu.

Catatan Pribadi lebih berupa diari/catatan saya terhadap berbagai pengalaman keseharian yang terjadi di hidup saya. Bisa berupa kejadian lucu, mengharukan, mengesalkan, dan lain sebagainya. Bagi saya, catatan-catatan pribadi ini bisa mengingatkan saya kembali ke suatu kejadian, dan nilai memorabilia dari catatan-catatan ini tentu sangat berarti, setidaknya bagi saya loh.

Fiksi adalah jenis tulisan yang berupa imajinasi/fiktif/kreasi belaka. Bisa terinspirasi dari pengalaman nyata, bisa juga tidak. Salah satu cita-cita saya adalah menjadi penulis skenario, dan saya sangat suka bermain dengan kata-kata. Oleh sebab itu kadang saya menulis cerpen atau puisi. Lumayan kan, selain berkarya bisa juga memberdayakan otak kanan dengan lebih optimal.

Review merupakan kumpulan resensi/ulasan saya terhadap berbagai hal, biasanya sih film atau buku. Namun tidak menutup kemungkinan mengulas produk lainnya juga seperti lagu atau barang. Sekedar berbagi rasa saja dan mudah-mudahan berguna bagi orang lain.

Uncategorized adalah semua tulisan yang tidak bisa dikategorikan ke 4 kategori sebelumnya. Bisa saja berupa tips, bisa saja berupa informasi/trivia/berita. Ya.... Apa pun lah. hehe..


Akhir kata, selamat menikmati.
Segala komentar, saran, kritik, pujian, makian, diterima dengan senang hati. =)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...