Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Senin, 30 Mei 2011

Eh, Sahabat Saya Ulang Tahun

(Baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Eh,
ternyata
hari ini
sahabat saya ulang tahun.

Sudah lama tak dengar kabarnya
Hanya di saat-saat zelfin16 kedap-kedip di ruang obrol,
atau saat ada yang baru saja di parsimonia.
sebatas itu.

Ruang hidup kami terpaut jauh,
Dia hidup di tanah pembenci merah putih
Saya hidup di tanah sang merah putih
Tapi hati kita sama: mencintai bumi merah putih ini sepenuh hati

Waktu hidup kami juga tak bertaut,
Rasa-rasanya,
Dia amat sibuk dengan segudang aktivitasnya,
dan saya juga sepertinya sama

Genap sudah
dua puluh dua kali
ia bertualang
mengelilingi matahari

Saya rasa tak lama lagi,
ia pun akan sebenderang matahari.
dengan segenap kedewasaan dan kebijaksanaan
yang sudah ditabungnya sejak dini

Terakhir saya dengar studi sarjana sudah ia rampungkan
Dan kini sedang melanjutkan studinya lagi
Lalu ia makin sibuk mengurusi ini
mengurusi itu

Eh,
ternyata
hari ini
sahabat saya ulang tahun.

SELAMAT ULANG TAHUN!

Jakarta, 30 Mei 2011
Okki Sutanto

Jumat, 27 Mei 2011

Obrolan Absurd Pelemas Dengkul

(Baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Pembimbing: "Kamu itu mau bikin ground theory. Kompleksitas skripsimu setingkat disertasi. Memangnya kamu siap?"
Mahasiswa skripsi: "Siap mas. Aku punya waktu sampai Desember. Keburu kan?"
Pembimbing: "Keburu sih Desember."
Mahasiswa skripsi: (bernafas lega)
Pembimbing: "Tapi Desember 2013."

KREK!!

Rasanya ada yang bergeser di dengkul sang mahasiswa.
Entah dengkulnya yang mati gaya, atau sekrup di otaknya ada yang lepas.

Di sebuah ruang rapat yang baru saja habis masa overstaynya.
Didengar oleh teman si mahasiswa skripsi yang teriak kegirangan.


Jakarta, 27 Mei 2011
Okki Sutanto
(Kebanyakan baca NgupingJakarta)

Kamis, 26 Mei 2011

Hei Kamu!

Prosa // Pengganti ucapan selamat ulang tahun.
(Baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Hei kamu,
yang cantik karena:
keleluasan saat berpikir,
keliaran dalam bermimpi,
kecintaan pada manusia,
kebencian pada kedangkalan,
kehausan akan pengetahuan,
kepercayaan akan layaknya memperjuangkan sesuatu,
keyakinan akan pentingnya cinta dalam sebuah aktivitas,
juga karena keberanian menjadi diri sendiri.

Hei kamu,
terus berusaha mencintai bumi manusia ya,
dengan segala permasalahan di dalamnya.
Dan jangan mau cuma numpang jadi masalah,
jadi setitik harapan juga kedengarannya tidak jelek.

Hei kamu,
terus berusaha mengangkasa tanpa takut terjatuh ya,
karena tanpa hancur lebam karena berjuta kesalahan,
kebenaran yang cuma satu pun
bisa jadi tidak kesampaian.

Hei kamu............
Selamat ulang tahun!


Jakarta, 26 Mei 2011
Okki Sutanto
(jangan bosan jadi sahabat berdebat gue ya! kapan lagi gue bisa berdebat sama juara nasional? hahahaha)

Selasa, 24 Mei 2011

Kamu Kayak Klinik Anti Jerawat

Prosa
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Tadi kalau gak salah,
kamu bilang klinik anti jerawat itu gak ada gunanya
emang sih, jerawatnya hilang pas lagi ke sana
tapi sesudahnya, jerawatnya muncul lagi

Kalau dipikir-pikir,
kamu itu ya kayak begitu juga
kalau lagi sama kamu,
semua penderitaanku hilang

Isi kepala yang kayak lagi latian sirkus
Sekujur badan yang gemeteran overdosis angin
Sampe mulut yang mogok ngunyah
semuanya hilang kalau aku lagi sama kamu

Tapi ya itu tadi,
efek kamu itu cuma sementara
selepas kita berjalan tolak arah
sakitnya menyerbu kembali

Ya pusingnya
ya meriangnya
ya sariawannya
ah, tak ketinggalan penyakitnya nambah satu...... kangen!

Jakarta, 24 Mei 2011
Okki Sutanto
(tapi aku akan tetep balik ke "klinik" ga berguna itu koq)

Minggu, 22 Mei 2011

Mencintai Lidah

Catatan Pribadi.
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Beberapa hari belakangan ini, saya mendapat kado istimewa: sariawan di lidah.
Sakitnya itu luar biasa. Digerakkan sedikit saja, rasa perih menghujam.
Terkena sedikit air, rasa perih pun kembali menghujam.
Pokoknya, mau ngapa-ngapain jadi susah.

Hanya karena luka yang diameternya tidak sampai satu centi itu, hidup saya benar-benar menderita.
Berbagai aktivitas harian yang seharusnya bisa dijalankan tanpa usaha sama sekali,
belakangan menjadi aktivitas yang menguras energi, daya tahan, dan air mata.
Padahal, sebelumnya bagi saya lidah itu gak ada penting-pentingnya.
Ternyata saya salah. Begitu banyak aktivitas penting yang membutuhkan peran lidah.

Berikut hal-hal yang belakangan ini tidak bisa saya lakukan dengan maksimal, karena sariawan di lidah:
- Minum, mulai dari secangkir teh sampai sebotol air mineral
- Makan, bahkan roti dan bubur
- Ngobrol
- Ngatain orang
- Nelfon
- Presentasi
- Wawancara orang
- Nyanyi-nyanyi pas mandi
- Gosok gigi
- Bertanya
- Menyampaikan pendapat
- dsb.

Begitulah. Karena luka setitik yang mengganggu itu, banyak sekali masalah yang ditimbulkannya.
Mungkin luka ini ingin mengajarkan sesuatu.
Bahwa hal-hal kecil dan rutin seringkali tidak kita anggap dan nikmati.
Padahal, hidup kita ini didominasi oleh rangkaian hal-hal kecil yang rutin.
Jika kita hanya bisa menikmati hal-hal besar yang datang sekali-sekali,
bagaimana kita bisa menikmati hidup?

Ah, saya tak peduli
Yang saya butuhkan hanya lidah saya ini cepat beroperasi normal kembali.


Jakarta, 22 Mei 2011
Okki Sutanto
(mencoba lebih mencintai lidah)

Rabu, 18 Mei 2011

P U A S!

Prosa.
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Setelah,
hari-hari panjang yang memperkosa badan.
juga malam-malam tak berbatas membunuhi kata.

Setelah,
tujuh kali siang mengejar malam.
seratus tiga puluh delapan halaman tercipta.
tiga puluh tiga tulisan tersunting.
tujuh belas ribu seratus sembilan puluh delapan (17.198) kata terpahami.
dan sembilan puluh tujuh ribu sembilan ratus tujuh puluh (97.970) huruf terbaca.

Ada rasa puas terselip.
Mungkin lebih.
Membuncah?
Entah.

Pokoknya, puas.
dan semua terbayar.
karena otak dan otot tak sendiri,
ada hati yang turut menemani.

Puas.
Tak kurang.
Mungkin lebih.


Jakarta, 18 Mei 2011
Okki Sutanto
(SAATNYA BISA TIDUR TANPA DIHANTUI HURUF, KATA, DAN KALIMAT)

Jumat, 13 Mei 2011

Ternyata Otak Saya Gak Meledak

Catatan Pribadi
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan melalui Facebook)

Kalau bisa meledak, mungkin otak saya ini udah meledak. Isinya muncrat ke mana-mana.
Lha gimana enggak? Baru diistirahatin tiga jam dan masuk ke mode non aktif, otak ini udah harus dipaksa beralih ke mode aktif lagi.

Pagi-pagi, si otak udah harus diputer kenceng-kenceng ngebahas proyek bikin film yang baru saja menang tender. Asik loh! Baru sekali rapat sama penyandang tuna netra, dan doi itu orangnya keren mampus! Naik transjakarta sendirian dari Pulo Gadung ke Semanggi. Fasih banget mengoperasikan telepon genggamnya, baik telepon maupun sms. Juga sama sekali gak keteteran ngerjain berbagai hal di laptopnya. Becandaannya, pemikirannya, cara bicaranya, jauh lebih humanis dan asik dibanding mereka yang terlahir sempurna.

Dua jam selesai si otak diperkosa di sana, saya pun pindah ke sebuah kafe di bilangan Semanggi. Bukan, bukan buat nongkrong. Tapi buat belajar gimana caranya bikin layout buku. Juga buat cari tempat cetak buku satuan. Dilanjutin sama ngerapihin beberapa hal hasil rapat tadi paginya. Diselangi juga bantuin temen saya mikirin beberapa konsep desain. Juga nemenin salah seorang temen saya ngobrolin politik dan skripsi.

Selang sejam, si otak udah harus mikirin konsep modul pelatihan siswa SMP. Kali ini bareng rekan saya yang kepedesan bukan main karena salah mesen menu! hahaha. Gak lama, si otak harus konsentrasi penuh pas ikutin rapat pembahasan modul pelatihan SD - SMP - SMA. Denger dan komentarin dua modul lain. Lalu presentasiin dan pertimbangin masukan buat modul SMP yang saya buat bareng rekan saya itu. Tiba-tiba saja, jam diberlakukannya three-in-one sudah nyaris usai. Rapat pun ikutan usai. Diskusi dan ngobrol-ngobrol santai sedikit, saya pun lantas bergegas pulang.

Setelah di setengah perjalanan pulang saya harus melajukan motor saya menghantam derasnya hujan, akhirnya saya sampai juga di rumah. Obrol-obrol sedikit dengan keluarga, makan buah sebagai pengganti makan malam, lantas mandi. Selepas mandi (dan berpakaian tentunya), otak saya ternyata masih harus kerjain beberapa hal. Masih ada beberapa email untuk dibalas. Masih ada satu tulisan ini untuk ditulis. Juga sejumlah tulisan untuk disunting.

Kalau dihitung, rasanya otak saya ini sudah diperas non stop lebih dari empat belas jam. Seperti yang tadi saya bilang di awal, kalau bisa meledak, pasti dia udah meledak, sampai isinya muncrat ke mana-mana. Tapi nyatanya otak saya gak meledak. Lagi-lagi dosen saya yang satu itu benar. Ketika kita mengerjakan sesuatu dengan hati, rasanya akan berbeda. Ada kebahagiaan di sana. Ada energi tak terbatas di sana. Ada kepuasan dan optimisme di sana. Dan jelas, ada cinta di sana.


Jakarta, 13 Mei 2011
Okki Sutanto
(hari ini Jumat Kliwon, tanggal 13, dan saya sama sekali gak merasa sial)

Rabu, 11 Mei 2011

Mas E itu Pinternya Cuma Mitos

# diarsipkan dari: http://a-tribute-to-eric.blogspot.com/
[Sudah dibukukan dalam kumpulan tulisan "A King's Lecture: His Way to Humanized Students", diterbitkan untuk kalangan terbatas]

Denger-denger, mas E itu pinter luar biasa. Banyak temen-temen saya yang kagum kalau si mas E ini lagi ngajar atau menganalisa sesuatu. Apalagi kalau lagi ceritain pengalamannya sebagai market researcher. Wah, kagum banget deh kita sama kepinteran mas E. Saking pinternya, biasanya kita-kita ini cuma bisa pasrah kalau disuruh menjawab pertanyaan si mas E. Dan pastinya lebih pasrah lagi kalau si mas E nyuruh kita ngajuin pertanyaan. Soalnya kita itu ya sering minder kalo berargumen di hadapan si mas E. Pasti mas E siap banget membantai kita. Siap banget membuat kita-kita ini mawas diri, bahwa kita-kita ini masih jauh dari yang namanya pinter.

Ga sedikit temen saya yang terkesima, terpana, terkagum-kagum, dan "tersentuh" hidupnya oleh si mas E. Semua itu ya berkat kepinteran si mas E. Keluwesannya saat membangun argumen. Ketajamannya ketika menganalisa. Kehebatannya saat memaparkan sesuatu. Banyak deh pokoknya. Tapi, kok saya ini kadang-kadang meragukan kepinteran si mas E ya. Buat saya, seringkali mas E itu bagaikan mitos doang. Bukan kedatangannya ke kelas ya, kalau itu sih memang seringnya mitos doang. Kirain bakal ngasih kuliah, eh ternyata enggak. Kirain bakal nongol di kelas, eh ternyata enggak. Hehehe.. Bukan, bukan itu maksud saya. Yang saya maksud mitos itu, ya kepintarannya si mas E.

Habisnya, saya itu seringkali gak habis pikir. Kenapa si mas E yang katanya pinter itu, koq mau-maunya buang waktu, tenaga, dan pikiran, buat jadi dosen. Padahal, dengan ilmu yang mas E punya, kita-kita itu yakin mas E bisa jadi apa aja. Jadi superman bisa. Jadi batman bisa. Jadi nabi juga mungkin bisa. Intinya, mas E itu pasti sanggup "menyelamatkan" banyak orang. Tapi, si mas E malah memilih "menyelamatkan" mahasiswa seperti kita-kita ini yang jiwanya tersesat dan perlu dibimbing.

Mas E itu lebih milih ngurusin para mahasiswanya, termasuk saya, dibanding melakukan banyak hal-hal hebat lainnya. Gak jarang loh, si mas E ini meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan mimpi-mimpi mahasiswanya. Ide-ide nyeleneh mahasiswanya. Obrolan-obrolan absurd mahasiswanya. Selain itu si mas E ini juga ga sungkan-sungkan mempercayakan sesuatu pada mahasiswanya. Beragam tugas, kerjaan, dan tanggung jawab yang cukup "berat" sering dipercayakan pada mahasiswanya. Padahal, mahasiswa itu kan sering banget ngeluh, ngasal, dan ngegampangin. Mahasiswa itu kan jauh dari yang namanya pinter. Tapi tetep aja loh, si mas E mau aja deket dan percaya sama kita-kita ini.

Begitulah, saya kadang bingung sebenernya si mas E itu beneran pinter, setengah pinter, atau cuma mitos doang sih pinternya? Tapi, ya sudah lah. Meski mas E itu pinternya cuma mitos, tapi saya yakin kepeduliannya sama mahasiswa itu bukan mitos. Mau pinter ataupun enggak, si mas E juga tetep guru saya. Guru kami. Segenap ide, pemikiran, dan cara pandangnya itu sedikit banyak kami teladani. Dan itu bukan cuma mitos. Saya yakin banget.

Jakarta, 2011.
Okki Sutanto.

Selasa, 10 Mei 2011

Ah, Kafe Gak Sekeren Itu.

Catatan Pribadi
#Tulisan keduapuluhempat, hari keduapuluhsatu

Saya itu dulu sering mikir, kalau jadi penulis enak kali ya. Kerjanya ga harus di kantor. Bisa nongkrong di kafe sepanjang hari, nyari inspirasi sambil menyeruput kopi pahit. Bisa berpetualang nyobain kopi dari satu kafe ke kafe lainnya, padahal saya tahu lidah saya itu tuna-rasa. hehehe.. Pokoknya, sama selalu membayangkan kalo orang yang bisa nongkrong sambil kerja di kafe itu keren banget. Hidupnya asik, seru, ga ngebosenin.

Tapi kini saya merevisi pikiran saya tersebut. Kebetulan, hari ini saya berkesempatan mencobanya: bekerja sambil nongkrong di kafe seharian. Pagi, sejak jam setengah sembilan, saya sudah nongkrong di Dunkin Donut Plaza Semanggi untuk diskusi kru produksi film. Sebenarnya belum tentu diproduksi juga sih, karena tadi itu kita diskusi untuk membahas proposal pengajuan tender. Jadi kalau proposalnya ga lolos, ya ga jadi dapet proyek bikin film. hehe. Lalu siangan dikit, sekitar pukul setengah sebelas, saya dan rekan-rekan yang tersisa pindah ke EMAX CAFE Plaza Semanggi untuk melanjutkan pembuatan proposal. Soalnya menurut kami Dunkin itu kurang kondusif buat mengetik di laptop. hehe.

Jadilah saya mendaratkan pantat saya di EMAX sejak jam setengah sebelas. Sekitar jam satu, teman saya datang untuk berdiskusi tentang penulisan skripsi. Setelah itu saya pun sedikit menyicil skripsi. Pukul empat, proposal dan cicilan tahap awal skripsi selesai. Masih di meja yang sama, saya lanjut melakukan rapat penyusunan modul pelatihan bersama dua rekan saya lainnya. Tanpa disadari jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Rapat pun usai karena saya harus beranjak ke Pacific Place menghadiri sebuah acara. Untunglah saya harus pergi, soalnya kalau tidak saya yakin akan terus terperangkap di kafe itu, entah melakukan apa.

Jika ditotal, hari ini saya di kafe selama nyaris sepuluh jam. Dari pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore  sudah setengah berganti kulit menjadi malam. Rasanya? Wah, bosannya bukan main. Mata pegal karena berkutat di laptop terus, otak butek karena dipake mikir mulu, perasaan juga bosan setengah mati karena suasananya itu-itu terus.

Pokoknya, saya gak mau lagi bekerja sepanjang hari di kafe kalau nanti saya jadi penulis. Udah gak keren lagi. Udah gak seru lagi. Maksimal di kafe itu tiga jam rasanya cukup. Lebih dari itu, sudah kurang baik bagi kesehatan mental. Tapi, kalau begitu saya harus mulai memikirkan tempat-tempat baru yang oke untuk nongkrong, ketika nanti saya menjadi penulis. Sesaat terpikirkan di toilet umum, tapi kok gak elegan ya? Atau kuburan, tapi kok horor ya? Ah, kapan-kapan aja deh dipikirinnya. Wong jadi penulis aja belum, koq udah repot-repot mikirin gaya idup penulis? hehehe..


Jakarta, 10 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(nulis di atas gerbong kereta api yang lagi berjalan kayaknya seru, tapi... ada colokan ga ya?)

Senin, 09 Mei 2011

Buat Saya, Pemimpin Itu...

Ketikan Pinggir.
#Tulisan keduapuluhtiga, hari keduapuluh

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengajukan pertanyaan menarik ke saya: "Bagaimana sih caranya jadi pemimpin?". Wah, otomatis saya itu bingung. Wong saya sendiri merasa belum pernah jadi pemimpin. Kalau kebetulan jadi pencetus ide, koordinator, atau pimpinan sih sering. Tapi yang namanya jadi pemimpin, kata banyak orang kan lebih dari sekedar itu saja. Dan berhubung saya juga kurang tahu "lebih"nya itu seberapa banyak. Jadi, ya saya bingung gimana jawabnya.

Singkat kata, karena penasaran, saya pun ikut merenungkan pertanyaan itu. Gimana ya jawabnya? Ada ga ya jawabannya? Hehehe.. Karena saya bingung mau mulai mencari tahu dari mana, saya coba saja berangkat dari definisi teoritis. Begini kurang lebih definisi dari pemimpin: Seseorang yang memegang posisi kunci dalam sebuah kelompok, dan dengan bekal berupa keterikatan dengan anggota kelompok lainnya, mengarahkan kelompok ke tujuan bersama (Bass dalam Widiawati, 2009).

Dari beberapa buku yang saya baca, memang mendefinisikan pemimpin itu tidak mudah. Setiap orang, baik pemimpin maupun bawahan, ya sah-sah saja memiliki pandangannya sendiri terkait sosok seorang pemimpin. Lah, kalau sudah begini, jadilah saya terbujur-kaku-meraung-sedih-di-pojokan-kamar-malam-malam, sambil mikirin gimana caranya menjawab pertanyaan teman saya di atas. Apalagi yang ditanya teman saya itu GIMANA caranya jadi pemimpin, bukan sekedar definisi dari pemimpin.

Karena saya tidak tega membiarkan teman saya itu rasa penasarannya tidak terpuaskan, saya memutuskan untuk menjawabnya dengan apa yang saya yakini. Saya gak yakin ini jawaban yang benar, meski saya lebih ga yakin lagi kalau sebenarnya ada jawaban absolut dari pertanyaan tersebut. Berikut adalah beberapa hal, yang menurut saya SEBAIKNYA dimiliki oleh seorang pemimpin:

1. Tujuannya jelas.
Ya, pertama-tama kita harus punya tujuan. Dan tujuan itu harus jelas. Kalau tujuan aja ga jelas, apa yang mau Anda pimpin? Kadang ini terjadi loh. Ada saja orang yang sudah dijadikan pemimpin tapi masih ga tau apa alasan dia jadi pemimpin, dan apa tujuannya. Kalau yang kayak gini-gini nih namanya pemimpin "KTP". Ya, cuma sebatas hitam di atas putih saja. Ga lebih. Dan biasanya sih yang kayak gini akan tenggelam dengan sendirinya, ya nama baiknya, ya kepercayaan orang-orangnya, ya riwayatnya.

2. Punya pengikut.
Kalau Anda lihat orang teriak-teriak di pinggir jalan, gerak-gerakin tangan ke kanan kiri atas bawah, lantas ngomongin tentang akhir jaman, kira-kira siapa ya orang tersebut? Kalau ga ada pengikutnya, ya pasti orang gila. Kalau punya banyak pengikut, bisa aja itu pastor / pendeta lagi khotbah. Lihat kan bedanya? Cuma sebatas ada-tidaknya pengikut, bedanya jauh. Dari orang gila, jadi pemimpin. Jadi, ya seorang pemimpin itu harus punya pengikut. Pengikut itu bukan berarti budak, kacung, atau pembantu ya. Kalau Anda punya itu semua, saya yakin Anda itu bukan pemimpin, tapi ya orang kaya. Pengikut itu ya orang yang percaya dengan Anda. Percaya dengan ide/gagasan Anda. Percaya dengan apa yang ingin Anda lakukan. Percaya pada tujuan Anda.

3. Siap bertanggungjawab.
Kalau sudah jadi pemimpin. Ya kita harus siap bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan, juga apa yang dilakukan oleh orang-orang yang kita pimpin. Nah, untuk itu penting sekali bagi seorang pemimpin untuk setidaknya tahu secara garis besar, apa yang dilakukan oleh bawahannya. Tidak harus detil sekali, yang jelas ia tahu bawahannya itu mau ngapain, kenapa, dan bagaimana. Kalau itu saja kita gak tahu, gimana caranya kita siap bertanggungjawab?

4. Siap membimbing.
Bisa membimbing bukan berarti kita harus tahu segalanya. Setidaknya, jika ada pengikut kita yang bertanya, kita bisa memberi tahu, ke mana ia harus mencari tahu. Soalnya yang namanya pengikut itu biasanya hobi sekali bertanya, kalau hobinya itu ga tersalurkan, siap-siap saja kehilangan pengikut. Jadi, kalau ada pengikut kita yang bertanya gimana caranya bikin proposal, ya kita siap contohin. Kalau ada yang bertanya gimana caranya bikin bom, kita harus siap merujuknya ke ahli bom atau psikolog. Kalau ada pengikut kita yang bertanya siapa itu Moammar Khadafy, ya kita harus siap menjelaskan dengan sabar bahwa di luar sana ada teknologi bernama Google. Dan google itu mudah dipakai. Juga google itu gratis. Juga google itu tidak akan marah meskipun setiap hari diajukan pertanyaan sebanyak apa pun.

5. Tahu kapan harus bersikap.
Pemimpin itu bukan berarti dia harus bermata tajam, bermimik serius, dengan bibir tertutup dan tangan disilangkan di depan dada. Itu namanya kepala sekolah lagi ngambek. Ya, pemimpin itu harus tahu tempat, dan tahu waktu, kapan ia harus bersikap seperti apa. Kalau mukanya tegang dan serius pas pengikutnya lagi bercanda ya itu namanya kurang bijak. Kalau cekikikan sambil bbm-an pas lagi kerja dengan instansi lain juga itu namanya kurang bijak. Ya, tahu tempat lah. Kapan bisa bercanda. Kapan bisa serius. Kapan harus mendengar. Kapan harus didengar.

6. Tahu kapan harus mundur.
Biasanya, candu kekuasaan itu sebegitu hebatnya, sampai-sampai seorang pemimpin enggan melepaskan statusnya. Buat saya, jadi pemimpin itu ga harus kekal, abadi. Bisa jadi ada orang lain yang lebih tepat memimpin. Dan kita harus tahu kapan saat itu tiba. Lebih bagus lagi kalau kita sendiri yang menciptakan saat-saat itu, baik mempersiapkan momentumnya maupun mempersiapkan sang pemimpin yang baru itu.

7. Berani salah.
Poin terakhir ini sangat terkait dengan poin ketiga. Jadi pemimpin itu bukan berarti harus selalu sempurna. Saya yakin pemimpin yang matang adalah mereka yang pernah, bahkan sering melakukan kesalahan. Yang penting itu dia berani salah untuk sesuatu yang benar. Berani mengaku salah ketika ada yang lebih benar. Dan berani membenarkan kesalahannya, bukan sekedar mencari pembenaran akan kesalahannya.

Ya, demikianlah pandangan saya akan sosok seorang pemimpin. Bisa jadi ada yang berpandangan sama, bisa juga ada yang berbeda. Ya itu sah-sah saja. Namanya juga pandangan. Dan ini adalah pandangan saya saat ini, yang mana bisa saja berubah karena saya itu kan masih di tahap belajar. Jadi, mungkin suatu saat prinsip-prinsip ini akan saya tambahkan, kurangi, atau lengkapi. hehehe.. Semoga saja ini cukup menjawab kepenasaran teman saya yang satu itu. Meski saya yakin sebenarnya langkah pertama yang harus ia lakukan adalah berhenti bertanya "bagaimana" jadi pemimpin. Pemimpin itu bukan buat dipelajari teorinya, tapi dijalani langsung. Karena setiap orang bebas memiliki versinya masing-masing akan seorang pemimpin. Tidak ada yang boleh, berhak, dan bisa menyalahkannya. =)


Jakarta, 9 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(males nulis daftar pustaka ah, cari aja via teknologi bernama google itu)

Minggu, 08 Mei 2011

Mau Tampar Cermin

Puisi / Prosa
#Tulisan keduapuluhdua, hari kesembilanbelas

Kamu itu...
kalau emang susah kerja di pagi hari,
ya coba dong dicicil dari siang.

Kalau ternyata siang pun belum bisa mulai kerja,
ya coba dong dicicil sorenya.

Kalau ternyata ga cocok kerja sore juga,
ya mau ga mau malemnya harus fokus.

Tapi kalau ternyata kamu itu pulangnya aja udah malem,
gimana kamu mau selesaikan kerjaan yang kamu bikin-bikin sendiri?

Kalau gini kan, saya yang repot.
Sudah otak, mata, dan badan capek, masih saja dipaksa tuntasin kerjaan kamu.

Kalau gini kan, saya bisa-bisa jadi gila.
Dari tadi saja saya udah monolog sendirian di depan cermin.
Malah sosok di cermin itu nyaris saya tampar.

Untungnya ga jadi.
Habisnya saya bingung,
koq kayaknya saya kenal ya sama dia?


Jakarta, 8 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(belum, saya belum benar-benar gila, jadi jangan senang dulu)

Yang Itu Kebetulan Lagi Kosong, Pak

Ketikan Pinggir
#tulisan keduapuluhsatu, hari kesembilanbelas

Saya lupa mendengar cerita ini dari mana. Tapi belakangan ini saya suka menceritakan dan merenungkannya. Silakan dibaca cerita tersebut. Untuk nama, lokasi, dan detil-detil lainnya sudah saya ubah dengan tidak mengubah esensi.

Alkisah, seseorang pergi ke sebuah restoran. Setelah melihat-lihat menu, ia pun memanggil pelayannya dan memesan, "Mas, pesan mie ayam baksonya ya". Si pelayan membalasnya seperti ini "Pak, di sini menu spesialnya mie yamin komplit, dengan bakso, pangsit, dan saos spesial khas restoran ini". Mendengar penjelasan tersebut, pengunjung itu pun mengganti pesanan awalnya "Yaudah mas, sepertinya menarik, saya pesan itu ya satu."

Seharusnya percakapan berhenti di sana ya. Sayangnya, sekaligus untungnya, cerita itu belum berakhir. Si mas-mas pelayan itu lantas mengeluarkan jawaban pamungkas dengan muka polosnya, "Yang itu kebetulan lagi kosong hari ini, Pak."


Meski saya biasanya sulit berempati, namun saya sangat bisa membayangkan perasaan si pengunjung tersebut. Sudah memesan makanan A, diberikan rekomendasi B, eh ternyata pas dipesan menu tersebut sedang kosong. Pasti si pengunjung itu cengo sebego-begonya. Kalau bisa dan boleh, pasti dia ingin meneriaki si pelayan tepat di gendang telinganya.

Awalnya, saat mendengar kisah tersebut, saya tidak habis pikir. Apa ya yang ada di otak si pelayan itu, untuk apa ia repot-repot merekomendasikan menu yang jelas-jelas sedang kosong? Lalu saya berkesimpulan, kesalahan bukan terdapat pada si pelayan. Kesalahan terdapat pada pelatihan / pembekalan yang diberikan pengelola restoran.

Biasanya, setiap karyawan baru pasti menjalani program pembekalan / pelatihan terlebih dahulu sebelum mulai bekerja. Dalam asumsi saya, ketika pelatihan si pelayan tersebut diajarkan untuk memberitahu menu spesial dari restoran, kepada setiap pengunjung. Ia diajarkan untuk melakukan hal tersebut, beserta cara mengucapkannya kata per kata. Masalahnya, ia tidak diberitahukan MENGAPA ia harus melakukan itu. Alhasil, ia pun melakukan tugas tersebut dengan sungguh-sungguh. Setiap pengunjung ditawari menu spesial tersebut, tanpa mempedulikan ketersediaan menu tersebut.

Hal ini sangat umum terjadi di dunia sehari-hari. Kita cenderung disuguhkan informasi dengan urutan begini: what & how & why. Bahkan kadang tanpa penjelasan akan "why" sama sekali. Urutannya dari luar ke dalam, jika melihat gambar berikut:
Why, How, What.
Padahal, akan jauh lebih baik ketika kita memberikan informasi tersebut dengan urutan dari dalam ke luar: why & how & what. Perusahaan-perusahaan sukses, orang-orang terkenal, sudah mengaplikasikan hal ini dalam gaya komunikasi mereka. Hasilnya, apa yang ingin mereka sampaikan, terkomunikasikan dengan sangat baik ke orang-orang di sekitar mereka.Orang menjadi lebih yakin, percaya, dan mengerti akan gagasan yang disampaikan.

Lebih lanjut mengenai konsep why & how & what tersebut mungkin akan saya jelaskan melalui tulisan tersendiri, di suatu waktu nanti. Karena kalau dijelaskan di sini bisa jadi terlalu panjang.  Intinya, selalu komunikasikanlah alasan dan tujuan Anda melakukan sesuatu terlebih dahulu, sebelum terburu-buru masuk ke istilah atau detil teknis. Andai itu diterapkan, bisa jadi tidak perlu ada seorang pengunjung yang cengo sebego-begonya, ketika mendengar kalimat polos dari mulut si pelayan: "Yang itu kebetulan lagi kosong hari ini, Pak."


Jakarta, 8 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(tidak sedang cengo, apalagi sebego-begonya)

Mengapa Perempuan Perlu Melek Gadget

Catatan Pribadi
#Tulisan keduapuluh, hari kesembilanbelas

Kemarin, ketika sedang mengerjakan skripsi di salah satu kafe di bilangan Kelapa Gading, teman saya menceritakan kisah menarik. Teman saya ini seorang pecinta audio, khususnya audio mini, seperti earphone, headset, earplug, dan sebagainya. Singkat cerita, ia bergabung ke komunitas dengan minat serupa di Kaskus, untuk saling bertukar informasi.

Di komunitas tersebut, ada salah satu thread diskusi yang memberi kesempatan masing-masing anggota komunitas untuk saling memperlihatkan audio player sekaligus perangkat pendengarnya (headset/earphone/earplug/dll). Satu per satu anggota pun memposkan foto "peralatan perang" beserta keterangan harga masing-masing. Umumnya berkisar antara ratusan ribu hingga sejutaan. Tak lama, datanglah seorang jawara! Sang jawara ini memposkan audio player dan headset kelas elite. Berapa harga totalnya? Murah saja, cuma tujuh juta rupiah! Anggota yang lain pun langsung takjub dan memuji-muji peralatan perang si jawara tersebut.

Salah satu komentar dari anggota lain berbunyi kurang lebih seperti ini:
"Wah, gila nih! Kalau gue beli beginian sih, bisa diamuk bini saking mahalnya."

Balasan dari sang jawara cukup membuat takjub:
"Makanya ini gue bilang ke bini satu set harganya cuma tiga ratus ribu. Untungnya dia percaya."

Balasan tersebut jika dibaca sekilas memang cukup mengundang tawa. Namun saat saya coba pikirkan kembali, ternyata menimbulkan keprihatinan juga bagi perempuan. Mengapa? Biasanya, urusan gadget memang lebih cenderung disukai oleh laki-laki, sebagaimana juga dengan olahraga dan otomotif. Sebaliknya, kaum perempuan cukup "buta" di bidang-bidang tersebut. Biasanya sih mereka juga tidak ambil repot, karena merasa bidang-bidang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan hidup mereka. Tapi setelah mendengar kasus di atas, saya rasa ada baiknya para perempuan mulai lebih waspada.

Sudah siapkah Anda, para perempuan, ketika nanti suami Anda menghabiskan uang segitu banyak untuk sebuah gadget, tanpa Anda sadari sama sekali?
Sudah siapkah Anda, dibohongi suami Anda, hanya karena Anda tidak punya minat sama sekali terkait suatu bidang?
Jika tidak, mulailah melek teknologi. Dari sekarang! hehehe..


Jakarta, 8 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(kalau saya sih "buta" fashion, masak, dan warna)

Jumat, 06 Mei 2011

Saya + Doa Rosario = Aneh?

Catatan Pribadi
#Tulisan kesembilanbelas, hari ketujuhbelas

Biasanya saya ini bukan orang beriman.
Atau kalau kata salah seorang presenter, bisa saja beriman tapi belum tau arah imannya ke mana.. hehe..
Tapi hari ini saya rasanya jadi orang beriman.
Aneh? Bisa ya, bisa tidak.

Pagi ini saya mendapat undangan untuk mengikuti doa rosario di rumah salah satu tetangga saya.
Anehnya, saya mengangguk saja ketika diminta untuk datang.

Siangnya, ada ajakan dari teman untuk pergi ke luar.
Anehnya, saya lebih memilih menolak ajakan tersebut karena sudah berjanji datang ke doa rosario.

Malamnya, sesaat sebelum doa rosario dimulai, hujan lebat mengguyur sunter.
Anehnya, saya masih saja datang ke acara tersebut menggunakan payung.

Di acaranya, saya mengikuti ritual doa rosario yang sudah bertahun-tahun tidak saya lakukan.
Anehnya, saya lancar-lancar saja mengikuti semua, bahkan sukses membacakan salah satu peristiwa sedihnya (Yesus wafat di kayu salib).

Tapi yang paling aneh dari semuanya itu,
ternyata saya tidak merasa aneh menjalaninya.

Hmmm.. Aneh ya?
Semoga saya enggak.


Jakarta, 6 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Antara aneh dan enggak sih ya)

Laporan Kuartal Pertama Daftar Tontonan Tahun Ini

Catatan Pribadi
#Tulisan kedelapanbelas, hari ketujuhbelas

Biasanya, setiap kali tahun baru itu saya membuat yang namanya resolusi tahun baru. Untuk tahun ini agak berbeda, karena saya mencatatnya dalam suatu daftar, dan mencantumkannya di blog saya. Tujuannya ya biar saya mudah melihat progres yang sudah saya capai secara berkala. Hehe.. Berhubung kini tahun 2011 sudah berjalan sepertiganya, kemarin saya mencoba untuk melihat progres yang sudah berjalan. Yah, masih banyak sih yang belum tercapai, meski sebagian sudah.

Nah, khusus di salah satu resolusi tersebut, yakni di bagian "Menonton 100 Film dalam Tahun Ini", saya kesulitan untuk mencatat progresnya. Soalnya saya itu pelupa. Ditambah lagi kini saya tidak mengumpulkan sobekan tiket bioskop. Alhasil, jadi sulit juga untuk tahu sudah berapa banyak film yang saya tonton di tahun ini. Untuk itu, saya akan mencoba mengingat, film-film apa saja yang sudah saya saksikan di tahun ini, berikut komentar singkat.

1. Letters To God
[Film pertama yang saya tonton tahun ini. Menceritakan tentang perjuangan seorang anak bertahan hidup melawan penyakitnya. Diangkat dari kisah nyata, cukup kuat menggambarkan problematika keluarga sederhana di Amerika. Saya menonton film ini di Blitz Central Park. Rating saya: 6.5 / 10]

2. The Kids Are All Right
[Film yang mengambil setting cerita cukup unik: keluarga lesbian. Di mana kedua anak mereka mencaritahu tentang ayah biologis mereka, dan ternyata hal itu membawa berbagai masalah di keluarga tersebut. Di sini penonton disuguhkan akting-akting ciamik dari para pemainnya. Saya menonton film ini di laptop. Rating saya: 7.0 / 10]

3. Mr Holland's Opus
[Film klasik yang menceritakan kehidupan seorang guru musik di sebuah SMA. Cukup detil menggambarkan pergulatan batin sang guru, dinamika kehidupan SMA, hingga sistem pendidikan di Amerika. Film ini saya tonton bersama Komunitas Pecinta Film. Rating saya: 8.5 / 10]

4. Dead Poets Society
[Film jadul lainnya, lagi-lagi menceritakan tentang dunia pendidikan, di mana murid-muridnya dikenalkan dengan dunia kesusasteraan. Sangat baik menggambarkan persahabatan antar lelaki di asrama, juga tentang tuntutan orangtua terhadap anaknya. Film ini saya tonton bersama Komunitas Pecinta Film. Rating saya: 8.0 / 10]

5. Black Swan
[Film peraih Oscar. Akting para pemainnya tidak diragukan lagi. Cerita juga sangat baik digarap, detil pada kompleksitas konflik. Juga sangat psikologis sekali. Film ini juga saya tonton bersama Komunitas Pecinta Film. Rating saya: 9.0/10]

6. 127 Hours
[Juga salah satu pemanas Oscar lalu. Diangkat dari kisah nyata, di mana seorang pendaki gunung terjebak karena batu besar menindih tangannya. Untuk bertahan hidup, ia terpaksa memutuskan tangannya yang terjepit, dengan pisau lipat yang tumpul. Detil ketika menceritakan proses ketersiksaannya sangat baik sekali. Film ini juga saya tonton bersama Komunitas Pecinta Film. Rating saya: 8.0/10]

7. Yours Truly
[Film pendek yang diproduksi oleh pasutri muda, Ian Salim dan Elvira Kusno. Meski dengan peralatan, dana, dan teknik terbatas, film ini sangat bagus dan menghibur, baik dari segi cerita maupun keindahan gambar. Mengisahkan tentang seorang lelaki pendiam yang bekerja sebagai pengantar bunga, hingga suatu hari ia jatuh cinta pada wanita yang sering dijadikan tujuan pengiriman bunga. Film ini juga saya tonton bersama Komunitas Pecinta Film, sekaligus dengan krunya! hehe.. Rating saya: 8.0/10]

8. Kai
[Film pendek yang diproduksi oleh mahasiswa Psikologi di salah satu universitas di Malaysia. Konsep sederhana, namun pengambilan gambar cukup indah. Menceritakan tentang bagaimana kebaikan itu seperti virus, bisa menular dari satu orang ke orang lain, dan bisa kembali lagi ke orang pertama. Kalimat saktinya: "There is time", cukup berkesan karena sangat dominan sepanjang film. Film ini saya tonton di Youtube. Rating saya: 7.0/10]

9. Crazy Little Things Called Love 
[Film terbaik yang saya tonton di tahun ini, sejauh ini. Cerita cinta sederhana, namun didukung oleh gambar-gambar indah, make up jempolan, dan akting yang natural dari para pemainnya. Film Thailand ini menceritakan kisah cinta monyet di masa SD yang berlanjut hingga dewasa. Lucu sekaligus mengharukan. Baifern, pemeran wanita utamanya, sukses merampok hati para lelaki yang menontonnya! haha.. Film ini saya saksikan di Blitz Grand Indonesia dan Blitz Paris Van Java. Rating saya: 9.0/10]

10. 4bia
[Kumpulan film horor pendek dari Thailand. Ada empat film yang masing-masing memiliki warnanya tersendiri. Ada wanita muda yang diteror melalui sms oleh hantu yang ingin bertemu dengannya. Ada kisah sekelompok pecinta alam yang mengalami kejadian menegangkan saat arung jeram. Ada tentang bullying. Terakhir, cerita tentang pembalasan dendam wanita terhadap selingkuhan suaminya. Film ini saya saksikan di dvd player saat pembubaran KOMPSI. Rating saya: 6.5/10]

11. Tanda Tanya
[Ini dia salah satu film Indonesia paling kontroversial di tahun ini. Secara sinematografis sangat baik, apalagi mengingat ini film Indonesia. Cerita cukup sederhana, ketika cinta dan agama bercampur aduk, bersamaan dengan praduga dan kebencian. Film ini saya saksikan di XXI Planet Hollywood. Rating saya: 8.0/10]

12. Devil
[Film tentang kekuatan iblis. Ketika beberapa orang yang tidak saling mengenal terjebak di lift, dan satu per satu dari mereka mati secara misterius saat menunggu pertolongan. Akting biasa saja, dialog biasa saja, cerita juga biasa saja. Film ini saya saksikan di XXI Botani Square. Rating saya: 6.5/10]

13. Minggu Pagi di Victoria Park
[Lagi, film jempolan karya sineas Indonesia. Menceritakan tentang kehidupan TKW di Hongkong. Berbagai problematika yang umum dihadapi TKW diangkat di sini, mulai dari utang, kehidupan percintaan, hingga masalah keluarga lainnya. Akting beberapa pemainnya cukup berkesan. Pengambilan gambar pun indah sekali. Film ini saya saksikan bersama Komunitas Pecinta Film. Rating saya: 8.0/10]

14. No Strings Attached
[Film sederhana yang mengisahkan tentang hubungan dua orang sahabat yang memiliki kontrak untuk melakukan hubungan intim tanpa status. Tidak ada yang salah dari film ini, meski tidak ada yang menonjol juga. Biasa saja. Film ini saya saksikan di Blitz Megaplex, lupa tepatnya di mana. Rating saya: 6.0/10]

15. Creek
[Yang paling berkesan dari film ini ya pemainnya, si Dominic Purcell yang memang sudah berkesan banget buat saya sejak serial televisi Prison Break. Untuk ceritanya, cukup absurd dan menyisakan banyak pertanyaan. Akting biasa saja, sinematografis juga. Film ini saya saksikan di XXI Planet Hollywood. Rating saya: 5.5/10]

Ya, sekian rasanya film yang sudah saya tonton di tahun ini. Rasanya sih ada yang terlewatkan, mungkin nanti akan saya tambahkan! hehehe..


Jakarta, 6 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(hmm..apa lagi ya yang kurang?)

Memangnya Kenapa?

Sebuah Prosa
#Tulisan ketujuhbelas, hari ketujuhbelas

Memangnya kenapa,
kalau saya ingin jadi orang jahat?

Bukankah orang baik itu sudah banyak bertebaran,
dan dunia ini belum juga membaik?

Memangnya kenapa,
kalau saya ingin jadi orang sombong?

Bukankah semua orang diajar untuk jadi rendah hati,
dan nyatanya kompetisi itu tetap saja ada?

Memangnya kenapa,
kalau saya ingin jadi tukang bohong?

Bukankah ketika kejujuran diagungkan,
tetap saja tidak membawa kita kemana-mana?

Iya kan?
Jadi gak apa kan, saya jadi jahat, sombong, dan pembohong?

Dan ketika nanti saya ingin menjadi baik, rendah hati, dan jujur,
Memangnya kenapa?

Bukankah dunia akan menjadi lebih baik,
ketika kita tidak menciptakan dua kutub,
dan dua warna saja?

Lantas....
Kenapa?


Jakarta, 6 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Gak kenapa-kenapa kok)

Rabu, 04 Mei 2011

Malam Masih Panjang

Sebuah Prosa.
#Tulisan keenambelas, hari kelimabelas

Malam masih panjang,
terlalu cepat untuk berdoa
Sang Pencipta mungkin belum pulang
masih sibuk mengurusi yang hidup

Malam masih panjang,
terlalu cepat untuk menyudahi cerita
dengan titik yang kamu ciptakan sendiri
saat koma sebenarnya masih menanti giliran tampil

Malam masih panjang,
terlalu cepat memvonis langit
dan membenci pekatnya
saat bintang masih berdandan di ruang ganti

Malam masih panjang,
terlalu cepat untuk tidur
saat lampu baru mulai benderang
dan mengajak kita menari bersama di babak penghabisan

Malam
masih
panjang

J-a-d-i

Ya
dinikmati
saja...


Jakarta, 4 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(bohong deh, malam makin memendek)

Selasa, 03 Mei 2011

Ternyata Bukan Mesin Waktu

Catatan Pribadi
#Tulisan kelimabelas, hari keempatbelas.

Hari ini saya berkunjung ke sebuah SMP di bilangan Gambir. Saya menemani beberapa teman saya melakukan assessment ke siswa/i, juga membantu melakukan wawancara terhadap beberapa guru. Kami datang dari sekitar pukul sebelas, selesai sekitar pukul tiga sore. Assessment-nya berlangsung lancar, baik ke siswa-siswi SMP maupun ke gurunya, sekaligus juga assessment ke tukang jajanan di depan sekolahnya. hehehe..

Awalnya teman saya yang mengajak membeli cimol. Lantas kami berlima jadi bernostalgia ngobrolin jajanan masa SD. Mulai dari cireng sampai cimol. Mulai dari es-teh-plastikan-lima-ratus-perak sampai telor-dadar-bulet-kecil-kecil. Ternyata di sebuah pelosok kota Jakarta, jajanan itu masih saja ada. Masih saja bertahan di tengah serbuan jajanan modern. Masih saja tersisa untuk menyalurkan hasrat jajan anak-anak sekolahan.

Kami tahu sih, jajanan tersebut tidak sehat. Mulai dari minyak gorengnya yang entah sudah dipakai berapa kali. Juga kandungannya yang sebagian besar cuma tepung. Sampai ke saosnya yang entah sudah di-isi-ulang berapa kali dan dicampur air putih. Tapi, ya namanya terbawa suasana, kami rogoh juga kocek buat memuaskan nafsu duniawi kami. Perut sih gak kenyang, tapi ya mata dan hati kami lumayan tercukupi. hehe..

Hal itu jadi cukup menyadarkan saya. Selama ini saya kira saya sudah memasuki mesin waktu ke masa depan yang jauh, sehingga bumi yang saya tinggali ini sudah berbeda sama sekali dengan bumi semasa saya SD. Ternyata, saya itu masih ada di dunia yang sama. Bumi itu masih ber-rotasi dari barat ke timur. Masih mengelilingi matahari yang sama. Ternyata, saya itu tidak sejadul yang saya kira. Dan ternyata saya ga perlu minder sama anak-anak SD zaman sekarang.

Habisnya, gimana gak minder ya? Dulu itu pas saya SD, kalau gak main bola ya saya mainnya layangan. Nah sekarang, anak-anak TK saja mainannya sudah Ipad, anak SD-nya sudah rajin menyambangi warung internet. Dulu itu, kalau mau berteman kalau nggak sama teman sekelas, ya sama tetangga yang seumuran. Lah, anak sekarang itu jaringan pertemanannya sudah gak terbatas. Tinggal satu-dua kali klik, sudah bertambah satu teman baru. Dulu itu kalau punya artis favorit, ya setengah mati cari alamatnya lalu kirim surat via pak pos. Sekarang ini ya tinggal jadi "follower" aja udah beres. Hayo, gimana ga minder coba kalau jadi saya?

Untungnya hari ini saya tersadarkan. Saya ini masih hidup di Jakarta, Indonesia, dan planet yang sama. Perubahan memang ada dan tak terelakkan. Tapi itu tidak mesti menjadikan saya terasingkan dari dunia saya sendiri, atau dunia masa kecil saya. Dan ketika saya kangen ingin mengenang kembali masa-masa kecil saya, ternyata dunia belum seluruhnya berubah. Masih ada pelosok-pelosok Jakarta yang belum tersentuh megahnya modernitas. Masih ada gang-gang kecil di mana penjualnya masih obral senyum menjajakan cireng, cimol, es-teh-plastikan-lima-ratus-perak, juga telor-dadar-bulet-kecil-kecil.

Semuanya masih ada, mungkin akan selalu ada. Hanya sedang menunggu untuk kita temukan, saat kita mencari.


Jakarta, 3 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(semoga cimol tiga ribu perak tadi sore tidak membuat saya tambah gendut)

Senin, 02 Mei 2011

Buat Para Ksatria Berhelm SNI...

Ketikan Pinggir
#Tulisan keempatbelas, hari ketigabelas

Saya itu kadang kasihan sama mereka-mereka yang setiap harinya naik motor. Eh, kalimat pembukanya terlihat sombong ya? Maaf. Ga ada maksud sombong sama sekali, wong saya sendiri juga pengendara sepeda motor kok. Maklum, saya cuma mahasiswa, dan kebetulan saya bukan orang mampu. Orangtua saya sih mungkin saja orang mampu, tapi kan sayanya belum! Ya toh? hehehe. Naik motor itu ya mau nggak mau. Habis gimana? Saya cuma sanggup beli bensin buat motor, motornya saja masih dipinjamkan sama orangtua. Jujur saya belum sanggup kalau disuruh beli bensin buat mobil. Wong beli bensin motor saja sudah ngos-ngosan. Ngasong sana-sini. Ngamen kiri-kanan. Untungnya selama ini masih tercukupi, bahkan rutin membeli BBM non-subsidi. Habis, gimana? Katanya BBM subsidi itu cuma buat orang susah. Ya karena saya gengsi kalau dibilang orang susah, ya saya isi saja dengan yang non-subsidi. Hitung-hitung meringankan beban negara. Hitung-hitung beramal.

Balik lagi ke rasa kasihan itu tadi. Gimana ga kasihan coba? Kita itu kan sama-sama tahu kalau belakangan ini bumi semakin panas, terlebih lagi Jakarta. Kalau naik mobil itu masih mending bisa pasang pendingin. Lah kalau naik motor? Sudah panasnya terik, masih mesti pakai jaket, mesti pake helm SNI, ditambah macet yang kadang-kadang gak masuk akal. Panasnya itu luar binasa loh! Saya gak bohong. Sekalinya ga panas itu kalau cuaca agak-agak mendung. Tapi seringnya kalau sudah mendung itu malah bablas sampe hujan deras. Dan lagi-lagi kita yang naik motor cuma bisa tarik nafas panjang. Syukur-syukur kalau ada jembatan / terowongan, bisa berteduh sebentar. Tapi denger-denger sekarang kalau ada motor yang berhenti di bawah jembatan pas hujan, bakalan kena tilang. Benar ga ya? Gila ga ya? Gila dong ya.

Sudah begitu, saya juga seringkali merasa kok kita-kita ini pengendara motor dianaktirikan banget. Mobil boleh masuk tol, motor mana boleh. Mobil enak ada layanan valet kalau parkir di mal-mal gaul. Motor mana ada. Kalau di lampu-lampu merah juga mobil sering ditawarin majalah-majalah setengah porno, kalau motor mana pernah. Kalau mobil punya jalur cepat, nah motor itu harus puas dengan jalur lambat di sebelah kiri.

Khusus poin terakhir di atas, saya masih tak habis pikir sampai sekarang. Kenapa ya kok yang namanya motor itu harus ada di jalur lambat atau di lajur kiri? Dan biasanya jalur lambat itu lebih sempit daripada jalur cepat. Padahal nih ya, untuk menampung sepeda motor saja jalur lambat itu sudah nyaris tak muat. Eh masih harus dimuat-muatin sama taksi, bajaj, mikrolet, metromini, bus AC, dan mobil-mobil yang ingin belok atau minggir. Semuanya dipaksa masuk di jalur lambat. Edan! Kadang kala saya jadi ingat sama kamp konsentrasinya Nazi kalau lagi naik motor di jalur lambat. Benar-benar dipadatkan, kayak sarden dikalengkan.

Kenapa ya pengendara motor harus dianaktirikan? Padahal sama-sama bayar pajak loh. Sama-sama beli bensin juga. Dan pengendaranya pun sama-sama ciptaan Tuhan. Tujuannya pun sama: pengen sampai suatu tempat! Entah sekolah, kampus, kantor, atau apa pun. Lantas kenapa kita pengendara motor setiap harinya harus menyabung nyawa di "kamp konsentrasi"? Saya itu sering banget ngeri loh sama bus-bus yang kalau lagi jalan goyangannya lebih-lebih dari Inul Daratista. Detik pertama ada di lajur paling kiri. Detik berikutnya tahu-tahu sudah belok ke lajur paling kanan. Belum lagi yang kadang-kadang ngeremnya mendadak. Pokoknya bus itu kalau ngerem dan belok, yang tahu cuma sang sopir dan Sang Pencipta. Lah, kalau sudah begini kan lagi-lagi kami pengendara motor cuma bisa berharap biar gak tersenggol, terserempet, atau terlindas sama bus-bus besar itu.

Ujung-ujungnya sih, mau senaas apa pun nasib jadi pengendara motor, ya mau tak mau akan tetap saya lakoni. Selain masalah keterjangkauan biaya yang sudah saya sebutkan di atas, bagaimana pun naik motor membuat umur saya tidak terbuang lebih banyak di jalan. Kalau naik mobil itu, meski enak dan nyaman, jarak tempuhnya dua sampai tiga kali lebih lama daripada naik motor! Dengan kata lain, kalau naik motor itu seharinya saya bisa menghemat satu jam waktu perjalanan. Seminggunya tujuh jam. Sebulannya tiga puluh jam. Setahunnya tiga ratus enam puluh lima jam. Lumayan juga kan ya? Meski resikonya ya bisa saja suatu saat kami-kami ini tersenggol, terserempet, atau terlindas sama bus-bus besar itu. Dan jam-jam yang sudah kami depositokan tadi pun selamanya tidak bisa kami nikmati lagi. Lalu lagi-lagi kami cuma bisa menghela nafas. Yah.... Mau gimana lagi?


Jakarta, 2 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(didedikasikan buat para ksatria berhelm SNI)

Minggu, 01 Mei 2011

Sekiranya Saya Orang "...."

Ketikan Pinggir.
#Tulisan ketigabelas, hari keduabelas

"Maka jika saya seorang Belanda, saya tidak akan menyelenggarakan perayaan kemerdekaan di suatu negeri di mana kemerdekaan rakyatnya telah dirampas. Bukan hanya tidak adil, melainkan juga salah, memerintah pribumi-pribumi supaya memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Gagasan mempersiapkan peringatan itu saja sudah cukup menghina mereka, dan sekarang kita bahkan merampok isi kantong mereka. Sesungguhnya itu adalah penghinaan secara moral dan material."
("Sekiranya Saya Seorang Belanda", Soewardi Soerjaningrat, dimuat di De Express, 19 Juli 1913.)

Tulisan di atas adalah kutipan dari tulisan Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, pada tahun 1913 menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis. Bagi beliau, perayaan kemerdekaan itu wajar, tapi masalah muncul ketika Belanda ingin merayakannya di Indonesia (waktu itu masih Hindia Belanda), yang mana merupakan negara dengan kemerdekaan masih dirampas oleh Belanda. Beliau menggugat kewarasan orang-orang Belanda, lebih-lebih ketika rakyat Hindia Belanda diminta menyumbangkan dana untuk perayaan tersebut.

Tulisan berjudul asli "Als Ik eens Nederland Was" tersebut tersebar luas dan sampai ke telinga pejabat Belanda. Soewardi bersama kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, atau lebih akrab dikenal dengan sebutan "Tiga Serangkai" pun lantas diasingkan oleh Belanda. Meski demikian, semangat dari tulisan tersebut tetap tersebar luas dan menginspirasi gerakan pemuda, bahkan hingga bertahun sesudahnya.

Andai saja Soewardi masih hidup sekarang, mungkin ia akan mengganti judul tulisannya menjadi "Sekiranya Saya Anggota DPR". Setengah abad lebih negri ini merdeka, nyatanya laku para petingginya tetap saja di luar alur logika kewarasan. Di saat sebagian besar rakyat Indonesia masih berjuang hidup setengah mati, para anggota DPR malah gigih membangun gedung baru, ngotot plesiran ke luar negeri, dan berkeras mendapat fasilitas super mewah lainnya. Dan sialnya, semua kenikmatan duniawi mereka disumbang oleh rakyat, melalui pajak. Maka bagi saya anggota DPR sekarang tak ubahnya penjajah di masa silam, yang menelanjangi rakyat Indonesia luar dalam, fisik dan psikis, moral dan material. Rakyat yang goyang-goyang maju-mundur-depan-belakang, eh anggota DPR yang orgasme. Sakit!

Sayangnya kita tak punya pilihan. Saat makna demokrasi direduksi menjadi setumpuk uang pendempul popularitas, apa yang kita punya? Tak ada. Mau siapa pun, mau partai mana pun, laku pejabat di negeri ini setali tiga uang. Jika di salah satu paragrafnya Soewardi bisa menulis: "Betapa bahagianya saya. Syukurlah saya bukan orang Belanda.", maka saya tidak bisa menulis itu. Saya orang Indonesia. Saya tidak bisa memilih untuk menjadi bukan Indonesia, dan saya juga tidak bisa pura-pura bahagia melihat kondisi Indonesia.

Sebenarnya saya sudah cukup lama berhenti berharap pada institusi negara. Mereka tidak akan bisa menyejahterakan rakyat. Tidak akan pernah. Karena saya yakin hal pertama yang paling mendasar dalam sebuah organisasi, pun institusi, adalah sumber daya manusianya. Dan di Indonesia hal tersebut masih jauh dari layak. Kita tak pernah punya sarana belajar yang tepat bagi rakyat untuk disiapkan memerintah negara di kemudian hari. Mereka yang hidup melarat dan tahu penderitaan rakyat justru tak terakses pendidikan. Mereka yang terakses pendidikan justru dicetak menjadi budak-budak kapitalis, atau menjadi majikan-majikan kapitalis, bagi yang agak beruntung.

Saya juga selalu berpemikiran untuk suatu saat nanti menyatukan mereka-mereka yang punya idealisme, mereka-mereka yang tidak puas kepada negara, untuk masuk ke lingkaran kekuasaan dan bergerak dari dalam. Sayangnya ternyata hal tersebut juga tak mudah. Kebanyakan dari mereka yang lantang menggonggong justru enggan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan negara. Kotor katanya. Kadang saya jadi bingung sendiri. Bagaimana mereka mengharapkan perubahan? Kedatangan Ratu Adilkah? Ah, mak! Gila mereka kalau kata Einstein. Berhadap rutinitas memunculkan hasil berbeda.

Ah, seandainya saja saya orang Belanda, mungkin tak perlu repot-repot memikirkan hal ini. Tapi ya bagaimana lagi. Saya tidak bisa mengatakan saya bukan orang Indonesia. Saya sudah memilih untuk hidup di bumi manusia ini dengan segala persoalannya. Dan kebetulan saya terpelajar, dan mereka yang terpelajar sudah harus baik sejak dalam pikiran. Setidaknya begitulah kata Pramoedya, yang selalu saya yakini benar.


Jakarta, 1 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(Betul, saya bukan Belanda! Apalagi ganteng dan jago main bola plus punya pacar seksi, itu mah Irfan Bachdim. hehehe)










Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...