Per Januari 2012, blog saya migrasi ke Wordpress ya. Ini tautannya kalau mau mampir (http://okki-sutanto.com), trims! =D

Rabu, 28 Desember 2011

Di Balik Kamera (2) - Kesempurnaan Tanpa Kesempurnaan


#Refleksi2011 - Tulisan Kedua.

Selama ini, seringkali kita menggunakan kosakata "cacat (defects; flawed)" bagi saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan fisik, kecerdasan, atau emosional. Kita, juga pemerintah, tanpa sadar membuat dinding pemisah yang tinggi sekaligus kejam melalui penggunaan kata "cacat". Memisahkan mereka yang dianggap "sempurna" dan tidak. Mereka yang dianugerahi panca indera lengkap dianggap sempurna. Sedangkan mereka yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan melihat, berbicara, mendengar, berjalan, dan lain sebagainya kita anggap cacat. Tidak sempurna. Tidak produktif. Merepotkan. Perlu ditolong.


Nyatanya, pengalaman berinteraksi langsung dengan para penyandang disabilitas di masa produksi film dokumenter membuang jauh-jauh stigma di atas. Tidak jarang, saya justru menemukan kesempurnaan pada kekurangsempurnaan yang mereka miliki. Ada semangat, perjuangan, keunggulan, yang justru seringkali melebihi mereka-mereka yang dianggap sempurna dan tidak cacat.

Semangat dan perjuangan rekan-rekan penyandang disabilitas itu sebenarnya luar biasa. Di sini peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga benar-benar terjadi. Mereka yang memiliki disabilitas tertentu, bisa dikatakan harus melakukan berbagai hal dengan kesulitan ekstra. Untuk membaca, tunanetra perlu software khusus atau sistem tulisan braille. Untuk berjalan, tunadaksa perlu kursi roda atau tongkat. Untuk berkomunikasi, tunarungu dan tunawicara perlu menggunakan bahasa isyarat.


Kesulitan yang sudah secara alamiah harus mereka jalani itu, ternyata masih juga diperberat dengan stigma dan diskriminasi sosial yang terjadi. Dalam menempuh pendidikan, berapa banyak institusi pendidikan yang mau menerima dan menyediakan infrastruktur bagi penyandang disabilitas? Dalam dunia pekerjaan, berapa banyak perusahaan yang mau mempekerjakan penyandang disabilitas? Oleh sebab itu, perjuangan yang dilakukan oleh para penyandang disabilitas itu sungguhlah luar biasa. Ada tunanetra yang pantang menyerah menuntut ilmu di dua universitas berbeda. Mau menempuh jarak Bogor - Depok - Bintaro - Bogor. Berkali-kali ganti angkutan umum. Mengikuti kuliah reguler dan kuliah malam. Ada pula perjuangan para penyandang disabilitas dalam mendapat pekerjaan, berkali-kali mendapat tindakan diskriminatif perusahaan, hingga akhirnya bisa bekerja menjadi sekretaris, pengrajin, pengusaha online, penjahit, maupun profesor.


Saya setuju dengan pendapat sang profesor sekaligus guru besar Unika Atma Jaya, Prof. Irwanto, Ph.D., bahwa hal ini terjadi karena masyarakat seringkali fokus pada kekurangan seseorang. Andai kita mau mengesampingkan kekurangan, dan mengedepankan kelebihan, diskriminasi itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Toh, semua orang juga memiliki kekurangan. Tidak ada yang sempurna.

Tidak dapat dipungkiri juga, seringkali lingkaran setan terjadi dalam pembentukkan stigma di atas. Masyarakat memandang rendah penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas akhirnya mengamini bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa dan berperilaku seakan tidak bisa melakukan apa-apa. Pandangan masyarakat pun semakin kuat, bahwa mereka tidak bisa apa-apa. Kalau dalam bahasa Psikologi Sosial, konsep self-fulfilling prophecy terjadi. Akhirnya mereka tidak dirangkul untuk menjadi pelaku dan aset pembangunan bangsa, hanya dianggap sebagai beban yang harus ditanggung.

Untunglah, kesadaran dari teman-teman penyandang disabilitas akan potensi dan kemampuan mereka mulai tumbuh. Tidak sedikit yang berusaha menyadarkan dan menginspirasi, untuk tidak pasrah pada keterbatasan yang dimiliki. Ada band Diferensia misalnya, yang beranggotakan penyandang disabilitas, namun memiliki kemampuan musikalitas luar biasa. Melalui musik, mereka merupaya mengajak para penyandang disabilitas, sekaligus keluarganya, untuk terus berusaha mengembangkan potensi yang dimiliki. Ada juga Habibie Afsyahonline marketer yang mendirikan yayasan sendiri dan tak henti mengedukasi rekan-rekan peyandang disabilitas untuk menekuni bisnis internet.


Masih banyak inspirasi dan pelajaran yang saya dapatkan melalui pertemuan dengan para penyandang disabilitas. Kegigihan mereka dalam meraih pendidikan, berkreasi dalam dunia seni, menekuni berbagai pekerjaan, maupun menjalani keseharian amatlah patut diacungi jempol. Mereka tidak ingin dikalahkan oleh keterbatasan yang mereka miliki maupun pandangan merendahkan dari masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang sudah menorehkan prestasi yang teramat luar biasa, hingga berkesempatan bertemu langsung dengan presiden maupun masuk televisi.

Maka, sudah layak dan sepantasnya kita memandang mereka dalam kesetaraan. Hentikan memberi vonis "cacat" dan "tidak sempurna" pada orang lain, hanya karena keterbatasan yang mereka miliki. Mari bergandengtangan dan berjalan beriringan, tanpa label dikotomis sempurna - tidak sempurna, atau cacat - tidak cacat. Akhir kata, meminjam tema peringatan HIPENCA 2011, dunia ini akan jauh lebih indah jika kita mau saling memahami. Ya, jauh lebih indah!




Jakarta, 19 Desember 2011
Okki Sutanto

Daftar Tulisan #Refleksi2011:

Selasa, 20 Desember 2011

Di Balik Kamera (1) - Sahabat Si Pemula


#Refleksi2011 - Tulisan Pertama.

Salah satu proyek menantang dan berkesan yang saya kerjakan di tahun 2011 adalah memproduksi sebuah film dokumenter. Film ini dibuat untuk media edukasi dan penyadaran masyarakat, terkait keberadaan dan potensi dari kaum difabel (penyandang disabilitas). Serunya berinteraksi dengan para penyandang disabilitas dan banyaknya pelajaran yang saya dapatkan dari proyek ini akan saya tuangkan di tulisan lain. Kali ini saya akan fokus membahas tentang pengalaman debut si pemula (segenap tim produksi, termasuk saya) selama pengerjaan film dokumenter ini.

Ada kepercayaan, seorang pemula itu biasanya diliputi keberuntungan. Anda belum pernah ke kasino? Coba saja, biasanya orang yang baru pertama kali berjudi akan beruntung. Kepercayaan ini (beginner's luck) sayangnya tidak muncul ketika proses pengerjaan film berlangsung. Mulai dari proses pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi. Masalah demi masalah muncul, mulai dari yang memang terpikirkan, agak tidak terpikirkan, hingga yang sama sekali tidak terpikirkan. Maka, bersahabatlah kami dengan yang namanya masalah.

Saat pra-produksi, ada saja masalah yang muncul. Pembahasan skrip misalnya, harus ditempuh dengan penuh perjuangan di atas motor menerjang hujan badai, sebelum akhirnya tiba di Pondok Indah Mall yang parkirannya sama sekali tidak ramah untuk para pengendara motor pemula (baru sekali ke sana naik motor). Saat menyiapkan alat-alat syuting, kami juga harus pontang panting kesana kemari cari pinjaman dan sewa yang murah, mengingat dana produksi yang juga terbatas. Belum lagi mengumpulkan tim produksi yang rela bekerja tanpa dibayar (kecuali dengan senyum dan makan siang) di tengah kesibukan masing-masing. Belum lagi sulitnya menghubungi dan menyusun jadwal dengan para talent / pemain yang akan diambil gambarnya. Wah, pokoknya pra-produksi saja sudah cukup problematis. Ini baru pra-produksi loh! Sama sekali belum ambil gambar! Hehehe..

Selanjutnya, ketika mulai memasuki masa produksi, masalah itu udah kayak antrian audisi Indonesian Idol: ga abis-abis dan rebutan tampil di panggung. Mulai dari lokasi pengambilan gambar, yang rasanya jauh lebih menantang dari Amazing Race. Kenapa begitu? Karena semua lokasinya ada di Jakarta! Dan Jakarta itu identik dengan apa saudara-saudara? Ya betul, MACET! Percaya deh, menyelesaikan tantangan satu season Amazing Race Asia itu lebih enak daripada muterin Jakarta dari ujung ke ujung. Selain itu, sempat muncul juga masalah dengan perizinan suatu instansi, sampai-sampai supervisor proyek ini diberi wejangan sama pengurus, dan salah satu kru produksi trauma berhubungan dengan instansi itu lagi. hehe.

Ada juga perubahan-perubahan talent yang mendadak karena satu dan lain hal. Ini lumayan repot loh, ibaratnya udah syuting film Twilight bagian awal, terus tiba-tiba tokoh Jacobnya harus dihilangkan dari cerita. Bisa-bisa itu cerita jadi kayak parodinya Beauty & The Beast, judulnya jadi Beauty & The Pale. Ceritanya simpel: ada cewek cakep yang suka sama sesosok makhluk pucat yang rumahnya di tengah hutan. Awalnya nih cewek takut, tapi lama-lama jatuh cinta. Menikah. Bahagia selamanya. Tamat. Ga seru kan? Kita jadi gak tahu kalau manusia serigala itu ternyata rajin fitness. Kita juga jadi gak tahu kalau vampir itu ternyata suka pakai glitter. Beda deh jadinya. Pokoknya, perubahan talent bisa berakibat pada keseluruhan komposisi film deh.

Selepas syuting yang melelahkan, masuklah masa pasca-produksi yang gak kalah banyak masalahnya. Mulai dari kaset rekaman video yang susah banget dikonversi ke versi digitalnya, udah dikonversi pun ada aja yang korup dan rusak. Sulitnya mencari studio editing film yang terjangkau. Ribetnya cari musik untuk latar film, revisi film tiada akhir, proses subtitling yang melelahkan, sampai proses penggandaan ke keping DVD. Pokoknya, semua proses itu gak jauh dari masalah. Yah, namanya juga bersahabat dengan masalah.

Makanya, ketika akhirnya film itu berhasil diselesaikan dan digandakan ke keping-keping DVD, rasanya ada beban berat yang terangkat dari pundak. Ada kepuasan juga, meski tahu hasilnya tidaklah bisa dibilang sempurna juga. Tapi balik lagi, untuk ukuran seorang pemula, ya gak buruk-buruk amat juga. hehe. Mungkin, kalau proses ini bisa diibaratkan syuting sinetron dan saya adalah sutradaranya, sudah berkali-kali saya berteriak "CUT!". Untungnya selama pengerjaan film ini tim produksinya hebat dan t.o.p.b.g.t. Mulai dari yang bantu-bantu hubungin talent, yang jadi cameramandan camerawoman, yang jadi sutradara, yang bantuin subtitling, yang bikin cover dan grafis, yang ngajarin menggunakan program film editing, dan banyak deh pokoknya. Semua hebat.


Kembali lagi, poin pembelajaran dari pengalaman ini adalah jangan mudah percaya pada keberuntungan seorang pemula. Yang namanya pemula, pastinya harus siap belajar banyak hal. Harus siap menghadapi masalah dan cari solusi. Dan juga, harus siap gagal. Ya namanya juga pemula, wajar lah gagal. Mending memulai dan gagal, daripada gagal untuk memulai.


Jakarta, 13 Desember 2011
Okki Sutanto
Catatan pengantar tentang refleksi 2011 bisa dibaca di SINI 

Senin, 12 Desember 2011

Merefleksikan 2011 (Sebuah Catatan Pengantar)


Tak terasa, bulan Desember sudah memasuki minggu kedua. Dalam belasan hari, tahun ini akan berakhir. Berganti ke tahun yang menegangkan. Bagaimana tidak? Katanya, kiamat itu terjadi tahun depan. Mulai dari ramalan kuno, bukti ilmiah terbaru, hingga film tentang betapa mengerikannya tahun 2012 itu ada dimana-mana. Percaya? Ya gak juga sih. Tapi setidaknya ada sensasi menegangkan yang akan terasa saat 2012 mulai bergulir.

Nah, sebelum kita tegang-tegangan dulu, ada baiknya pengalaman selama tahun 2011 ini kita refleksikan kembali. Kita dokumentasikan. Untuk melihat, seberapa (tidak)produktifkah kita selama setahun ini? Apa saja yang sudah kita pelajari selama setahun ini? Adakah pengalaman menarik? Adakah momentum penting dalam hidup di tahun ini? Mendokumentasikan menjadi hal yang penting, selain bisa melihat pencapaian baik dan buruk, hal ini juga bisa menjadi dasar pembelajaran kita di tahun berikutnya.

Kenapa menggunakan kata "kita"? Sebenarnya saya ingin mengajak orang-orang untuk menuliskan juga pengalaman masing-masing di tahun 2011 ini. Bukannya saya takut menulis sendirian dan disangka orang gila. Bukan. Bagi saya, pengalaman dan cerita masing-masing orang itu menarik. Selalu ada hal yang bisa dipelajari. Entah baik atau buruk. Tapi, ya yang namanya ajakan itu tidak pernah memaksa. Namanya juga ajakan. Mau ya syukur, tak mau juga tak apa. Saya akan tetap menulis kok. hehe..

Sebenarnya bukan hal yang mudah merefleksikan 2011. Ada banyak sekali hal yang terjadi, pengalaman yang berharga, serta momen yang berkesan. Mulai dari pekerjaan, perjalanan, pembelajaran, hingga urusan perasaan. Banyak. Saya tidak tahu ada berapa banyak tulisan (juga waktu) yang dibutuhkan untuk merefleksikan 2011. Yang pasti, saya akan memulai. Satu demi satu tulisan. Hingga saya rasa lengkap dan tidak ada lagi pengalaman yang menarik untuk ditulis.

Ah, ya, saya juga sudah belajar untuk tidak memusingkan terlalu banyak hal. Maka saya akan menulis apa pun yang terlintas di kepala saya. Maka, bisa jadi kumpulan tulisan ini tidak kronologis. Bukannya tidak mementingkan waktu, tapi ingatan saya ini tidak sebegitu bagusnya. Itu saja. Akhir kata, selamat menikmati tulisan demi tulisan yang akan saya tulis. Sekali lagi, saya berharap ada yang mau ikut menulis, agar saya pun dapat belajar banyak dari siapa pun itu yang akan ikut menulis.


Jakarta, 12 Desember 2011
Okki Sutanto.

Senin, 05 Desember 2011

Kuliah Itu Cuma Etalase Kok.


#Curhat070

Diposkan juga di Nota Facebook.

Kutipan yang saya jadikan judul tulisan ini dulu pernah saya dengar ketika mewawancara salah satu guru sekolah alam. Eh, sebelumnya, pada tahu gak sekolah alam itu apa? Bukan, ini bukan sekolah yang lulusannya jadi tarzan. Bukan pula sekolah yang lulusannya jadi pecinta alam hebat macam Soe Hok Gie. Di sekolah alam, anak-anak dibebaskan bereksplorasi, bereksperimen, berekspresi tanpa dibatasi sekat dinding dan berbagai aturan yang mengekang rasa ingin tahu mereka, yang membatasi interaksi mereka dengan kehidupan yang sebenarnya, yang membuat mereka tak berjarak dan akrab dengan alam lingkungan mereka (Website Sekolah Alam Indonesia).

Kembali ke awal. Guru tersebut mengemukakan bahwa kuliah itu tak lebih dari sekedar etalase saja. Mahasiswa hanya diperkenalkan secara sekilas saja tentang berbagai hal, tanpa tahu bagaimana pengaplikasian yang sebenarnya di kehidupan. Pada waktu itu guru yang saya wawancarai memberi contoh pula tentang bagaimana menangani anak-anak yang memiliki gangguan belajar dan kebutuhan khusus. Di buku-buku kuliah sih, tertulis dengan jelas penyebabnya apa, definisinya apa, dan intervensinya bagaimana. Tapi, apa iya menerjemahkan apa yang tertulis di dalam buku ke kehidupan nyata itu mudah? Ternyata tidak. Banyak loh tantangannya. Bisa dari ketidakpedulian orangtua, bisa keterbatasan ekonomi keluarga, dan segudang faktor lainnya. Hal-hal yang gak ada di perkuliahan. Gak tertulis di buku-buku kuliah.

Sebutlah sebuah kasus, dimana ada seorang anak SD yang suka menunjukkan perilaku kurang "sopan" ke teman-teman sebayanya. Ternyata, setelah ditelusuri, anak ini terkadang melihat orangtuanya melakukan hubungan suami-istri di rumah. Anak ini pun, tanpa paham apa yang dilakukan orangtuanya, mencoba meniru (walau dalam derajat tertentu). Nah, solusinya gimana? Gampang kan kalau di buku? Hilangkan penyebabnya! Minta orangtuanya jangan melakukan hal itu lagi di depan anaknya! Eh, sabar dulu. Usut punya usut, keluarga ini ternyata tinggal di sebuah kos sederhana, dan rumahnya itu cuma terdiri dari satu kamar kecil yang sempit. Semua anggota keluarga pun hidup dan beraktivitas di kamar sempit itu. Lantas, mau minta mereka sekeluarga pindah ke rumah yang lebih besar? Mana sanggup. Mau minta mereka gak melakukan hubungan suami-istri sama sekali? Mana tahan. Atau mau mereka ngungsi ke kamar tetangga kalau lagi kepepet? Mana enak sih.

Ya, itu baru satu kasus. Masih banyak kasus-kasus lain yang membuktikan bahwa kuliah itu cuma sebatas etalase, dan apa yang tertulis di buku itu gak banyak membantu di kehidupan nyata. Lantas, gimana dong? Ya, simpel aja, jangan cuma nuntut ilmu di kelas! Di luar kelas juga kan banyak tempat belajar yang bisa mengajarkan lebih dari sekedar etalase. Entah ikut organisasi, magang ke perusahaan, kembangin komunitas, atau apa lah. Di kelas pun, jangan mau cuma duduk diem dengerin dosen ngoceh. Kritisi dosen! Ajukan pertanyaan! Benturkan dengan realitas yang ada. Jangan biarin otak kita cuma jadi stasiun transit doang, sebelum ilmu itu berpindah dari buku dan mulut dosen ke lembar jawab ujian.

Jangan mudah puas. Hanya orang bodoh yang beli ember anti-pecah karena terlihat bagus di etalase (emang ada etalase yang muat ya?). Orang beli ember anti-pecah, setelah terbukti ember itu dibanting sekuat tenaga pun gak bakalan pecah. Ya, demikian pula dengan kuliah. Coba benturkan ilmu yang kita pelajari ke kenyataan, sampai terbukti kebenarannya. Banting sekuat mungkin. Sekali lagi, benturkan dan banting ilmunya ya. Bukan nilai Anda yang dibanting. Bukan pula pintu atau bangku kelas. Apalagi dosen.

Jakarta, 5 Desember 2011

Kamis, 24 November 2011

Uang Gak Bisa Beli Kebahagiaan? Mitos!


Sebelumnya diposkan di Nota Facebook

Sekitar seminggu yang lalu, saya mampir ke Tri Store di Plaza Semanggi. Ada dua kebetulan yang mengantar saya ada di sana. Pertama, kebetulan saya sedang mencari USB Modem untuk mendukung produktivitas skripsi saya. Kedua, kebetulan hari itu saya baru ambil honor hasil "ngasong".

Awalnya niat saya hanya sekedar survei, tidak langsung membeli. Namun, karena pelayanan yang tidak memuaskan di Tri Store tersebut, akhirnya saya beli juga USB Modem tersebut. Ya, Anda gak salah baca. Saya BELI KARENA PELAYANAN YANG TIDAK MEMUASKAN! Bukan sebaliknya. Lah, kok bisa? Tenang, akan saya ceritain kok! Tulisan ini bukan seri Harry Potter atau Twilight, yang hobi nunda cerita sampe ke sekuel selanjutnya. Tenang, akan saya ceritakan. Kalem. Woles.

Jadi, ketika saya datang dan menanyakan perihal USB MODEM keluaran Tri ke staf yang berdiri di kasir, jawaban yang saya dapat adalah begini:

"Ada kok mas, tapi harganya enam ratus tujuh puluh ribu rupiah!"

Sesaat saya terdiam menganalisa kalimat singkat tersebut. Singkat sih, tapi ada makna tersirat di kalimat itu! Emang, saya ini bukan ahli bahasa, tapi saya juga tidak bodoh-bodoh amat untuk tahu ada nada sinis dan meremehkan di kalimat tersebut. Kata "tapi" seharusnya ga dibutuhkan di kalimat itu! Kata "tapi" cuma menjelaskan bahwa menurut si mas di kasir, saya ga bakalan sanggup beli tuh USB Modem.

Parahnya, kalimat tersebut perlu diulang sekali lagi oleh mbak-mbak Customer Servicenya (pembelian ga di kasir, tapi tetep di-refer ke meja Customer Service dulu). Saat saya menanyakan hal yang sama, jawaban yang sama muncul lagi. Kata "tapi" keluar lagi.

Akhirnya, USB Modem itu pun saya beli. Bukan karena fasilitas, kecepatan, atau spesifikasi keren apa pun yang dimiliki modem itu. Saya beli modem itu sekedar ingin meredam kesal dan meruntuhkan kekurangajaran kedua oknum Tri Store tersebut saja.

Apakah saya menyesal di kemudian hari karena impulsif dalam membeli? Oh tidak! Selain karena saya menikmati fungsi riil dari modem tersebut, pembelian tersebut juga sukses membuat saya dipuaskan secara batin. Ekspresi terkejut dan sedikit malu yang dimunculkan si mbak-mbak Customer Service cukup membuat saya bahagia! Jadi, sesuai judul tulisan ini, hari itu saya berhasil mematahkan mitos bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Setidaknya hari itu, setidaknya untuk saya.

Menariknya, ternyata teman saya juga punya pengalaman serupa: diremehkan penjual. Tapi, kisah teman saya ini jauh lebih tragis dari saya. Kalau saya setidaknya masih sedikit elit: diremehkan di mal, di ruangan berAC, untuk barang yang harganya tidak murah-murah amat. Ceritanya, teman saya ini mau beli somai di pinggir jalan. Ia bertanya harga somai kalo pake telor ke abangnya. Dahsyatnya, jawaban si abang seperti ini:

Tapi kalo pake telor agak mahal mas, sembilan ribu!

Sumpah. Saya tidak kebayang seberapa kucel, dekil, atau compang-campingnya temen saya yang lagi nawar somai itu. Saya juga gak mau ngebayangin. Saat ngedenger cerita itu, saya cuma bisa ngakak. Miris sih emang ceritanya, tapi layak untuk dingakakin dulu. Dan sambil ngakak, saya berharap tidak ada lagi orang lain di luar sana yang mengalami nasib serupa, khususnya untuk barang yang lebih murah lagi. Cukuplah saya dan teman saya itu yang mengalaminya. Cukup.

Jakarta, 23 November 2011
Okki Sutanto

Jumat, 18 November 2011

Harusnya Kamu Mandiri!

Sebelumnya diposkan di Nota Facebook

"Kamu harusnya tahu, aku sibuk! Tidak mudah meluangkan waktu untuk kamu. Kamu kan bukan anak kecil lagi! Harusnya kamu bisa mandiri. Bisa mengurus diri sendiri tanpa perlu tergantung padaku. Awalnya aku merasa hubungan kita memiliki masa depan, tapi jika begini caranya, aku jadi ragu..."

Kalimat itu tak berlanjut, si lelaki kesulitan menahan emosi. Di hadapannya, sang lawan bicara pun hanya bisa terdiam. Sedikit tertunduk sedih. Menyesali diri akan ketidakberdayaannya. Mengutuki nasib yang membuatnya hanya bisa bergantung dan merepotkan orang lain. Tapi apa daya, tak satu kata pun sanggup ia katakan. Kesunyian memenuhi ruangan. Membentuk dinding tebal tak terlihat di antara dirinya dan si lelaki. Mereka hanya bisa saling pandang dengan tatapan kosong penuh kesedihan. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Tak sepatah kata pun bertambah.

Si lelaki berjalan keluar ruangan dengan langkah gontai. Meninggalkan skripsi menangis sendirian. Lagi. Ya, entah untuk keberapa kalinya.


Jakarta, 24 Oktober 2011
Okki Sutanto

Ini Namanya Ngupil Apa Ya?


#Curhat.070
Sebelumnya diposkan di Nota Facebook.

Anda tahu ngupil? Ternyata, ngupil itu ada banyak jenisnya. Jika Anda mengupil karena ingin menghilangkan rasa tak nyaman di hidung Anda, itu namanya Ngupil Instrumentalis. Jika Anda mengupil karena senang dengan sensasi rasa perih dan sakit yang timbul, namanya Ngupil Masokis. Jika Anda mengupil karena melihat orang lain ngupil, namanya Ngupil Konformis. Jika Anda mengambilkan upil orang lain dengan sukarela, namanya Ngupil Altruistik.

Oke, jangan sepenuhnya percaya dengan apa yang saya tulis di atas. Tulisan tersebut hanyalah ilustrasi mengenai apa yang saya rasakan, di masa-masa awal saya belajar Psikologi. Di masa itu, saya merasa ilmu Psikologi amat bernafsu memberi nama dan istilah akan segala sesuatu yang terjadi di sekitar manusia.

Psikologi seakan selalu mempunyai istilah untuk menggantikan berbagai kosakata yang normal digunakan khalayak. Ada "konformitas" untuk menggantikan "latah / ikut-ikutan". Ada "Obul" untuk menggantikan "perfeksionis". Ada "katarsis" untuk menggantikan "ngamuk-ngamuk", dan masih banyak lagi.

Ya, begitulah kesan saya di masa awal berkuliah Psikologi. Setiap harinya, ada saja istilah-istilah baru yang dipelajari untuk menjelaskan berbagai fenomena keseharian. Alhasil, berbagai kosakata baru tersebut populer digunakan mahasiswa Psikologi dalam keseharian mereka. Di satu sisi, hal tersebut memang bagus, karena menandakan bahwa apa yang dipelajari di kelas tidak menguap begitu saja, dan dipahami melalui obrolan sehari-hari. Namun, di sisi lain penggunaan berbagai istilah tersebut juga seakan membangun dinding tak terlihat, antara mereka yang belajar Psikologi dan mereka yang tidak.

Semoga saja hal tersebut tidak membuat mahasiswa Psikologi menjadi terlalu nyaman dengan sesama mereka sendiri, pun sebaliknya mahasiswa non Psikologi jadi merasa kesulitan memahami mereka yang belajar Psikologi. Karena sejatinya ilmu Psikologi itu akan semakin bermanfaat, jika makin banyak orang yang mengerti. Semoga, ilmu Psikologi tak hanya tertransmisi di antara kepala dan mulut mahasiswa-mahasiswanya saja. Semoga saja!


Jakarta, 13 Oktober 2011
 Okki Sutanto. 

Kamis, 13 Oktober 2011

Wake Up

Wake up!

You could make another excuse, as always, but not this time!
The world's not gonna wait on you.

Say you made a mess. So what? Everybody did.
Say your self-confidence damaged at best. So what? Feel small will lead you nowhere.

Sometimes the path ahead got no light.
Sometimes being in status quo feels right.
But no! You can't let fear owns you.

You've got to find what you love.
If you have, pursue it.
If you haven't, never settle.

Wake up, you! Just wake up.
This time. For yourself. For your current family and one in the future.

Selasa, 11 Oktober 2011

Waw, Ada Wanita Emas!

Kemarin, di tengah perjalanan ke kampus, perhatian saya mau tak mau tersedot oleh sebuah iklan kampanye. Di kaca belakang sebuah bis kota, terpampang wajah seorang wanita dengan tulisan "Ayo Saya Siap Menata Kota Jakarta".

Selain tulisan tersebut, tentu tertulis pula nama dan gelar sang Calon Gubernur (Cagub) yang tidak terlalu saya perhatikan. Yang menyedot perhatian saya adalah dua kata yang cukup dominan dalam iklan tersebut: Wanita Emas. Julukan tersebut cukup jelas terpampang di atas gambar wajah sang Cagub. Di bagian bawah iklan pun, dicantumkan alamat email sebagai berikut: wanitaemas@xxxxx.com.

Jujur, saya bingung dan tak habis pikir, mengapa harus Wanita Emas? Apakah sekujur tubuh sang Cagub dilapisi emas? Atau sang Cagub kalau menghadiri pesta suka mengenakan perhiasan emas berkilo-kilo? Atau apa pun yang disentuh sang Cagub bisa berubah seperti emas layaknya raja Midas? Ataukah nanti jika terpilih menjadi gubernur, ia akan menjadikan Jakarta sebagai kota pertambangan emas? Ah, sudahlah.

Saya tahu, tahun depan Jakarta akan melaksanakan Pilkada lagi untuk menentukan Gubernur periode 2012 - 2017. Belakangan memang sudah mulai santer terdengar nama-nama yang akan mencalonkan diri menjadi Cagub. Saya juga tahu, sekarang ini dalam berkampanye harus semakin kreatif agar efektif menggalang suara pemilih. Namun, tetap saja menurut saya julukan Wanita Emas adalah sesuatu yang absurd dan kurang bisa diterima akal sehat. Apa tidak ada yang lain?

Pilkada 2012 DKI Jakarta akan berlangsung sekitar Juli - Agustus tahun depan. Ke depannya, tentu akan semakin banyak pasangan Cagub - Cawagub yang memproklamirkan diri dan berkampanye. Semoga saja tidak ada lagi Wanita-Wanita Emas, Perak, atau Perunggu lainnya yang menjadi Cagub. Cukuplah yang normal-normal saja, macam "Sang Ahli", dijadikan julukan. Karena ternyata memenuhi janji sebagai "Sang Ahli" kota Jakarta saja tidak mudah. Apalagi menjadi Wanita Emas?

Jakarta, 11 Oktober 2011
Okki Sutanto

Rabu, 14 September 2011

Kenapa Saya Terdampar di Psikologi?


#Curhat.070.Sesi.Satu.
[http://makna-kata.blogspot.com/] | sebelumnya diposkan di Catatan Facebook.

Sampai sekarang, ketika ditanya orang apa alasan saya mengambil kuliah jurusan Psikologi, saya suka gelagapan. Mao dijawab "Gak tau", tapi kok kesannya tolol. Mao dibilang "Disuruh orangtua", tapi ya kagak juga sih.

Kadang saya suka iri sih, sama alasan teman-teman saya yang kuliah di Psikologi. Ada yang bilang karena pas SMA suka jadi tempat curhatan orang-orang, makanya tertarik belajar lebih lanjut tentang konseling, dan kuliah di Psikologi. Kalau saya? Waduh, jangankan orang. Anjing aja pasti ogah deh disuruh curhat ke saya. Habisnya, hobi saya itu ngata-ngatain orang. Cela-cela orang. Kalo ada cowo yang curhat karena baru putus, pasti saya kata-katain "Jadi cowo kok lembek banget sih? Pantes aja lu diputusin!". Kalo ada cowo yang curhat karena susah dapet pacar, pasti saya maki-maki"Lu itu gak muka, gak otak, gak dompet, semuanya pas-pasan. Satu-satunya kelemahan lu adalah lu gak punya kelebihan. Ya wajar aja lu ga dapet-dapet pacar!". Ya, pokoknya gitu deh. Curhat sama saya itu pasti ga enak banget. Orang yang tadinya ga mau bunuh diri, bisa jadi malah berniat bunuh diri setelah curhat sama saya. Yang tadinya mau bunuh diri, bisa-bisa malah berhasrat bunuh saya duluan.

Ada lagi alasan teman saya yang lain, "Soalnya gue mau lebih kenal diri gue sendiri". Wah, sakit nih yang kayak gini-gini. Kenalan kok sama diri sendiri? Di mana-mana kenalan itu ya sama orang hebat, minimal orang cakep/ganteng, ini malah mau kenal sama diri sendiri. Filosofis banget ya tuh alasan? Minder saya langsung.

Pokoknya masih banyak lagi deh alasan-alasan spektakuler yang dilontarkan teman-teman saya. Dari yang mau bisa "baca" orang, hipnotis orang, sampe yang mau nyembuhin orang gila juga ada. Tinggallah saya terkesima dengan berjuta alasan tersebut. Saya sendiri? Hmm...

Dari dulu, saya suka mikir, kalo diibaratin, saya kini kayak seorang sleepwalker. Pernah denger kan sleepwalker? Iya betul, orang yang suka (bisa) jalan pas lagi tidur. Biasanya orang tersebut tidur di kamarnya, lalu dalam keadaan masih tidur, dia jalan-jalan keluar kamar, keluar rumah, hingga ke suatu tempat yang enggak dikenal. Tiba-tiba, dia bangun dan sama sekali ga ngerti lagi ada di mana dan kenapa. Nah, kurang lebih kayak gitu deh sensasi yang kerap saya rasakan. Tiba-tiba aja, saya udah daftar, diterima, dan kuliah di Fakultas Psikologi. Ya, terdampar mungkin suatu istilah yang tepat. Tanpa tahu alasannya, saya terdampar di Psikologi.

Anda percaya cerita di atas? Sebaiknya jangan terlalu. Karena saya sendiri juga kurang percaya. Mungkin cerita tersebut ada benarnya, tapi ga sepenuhnya. Emang sih, pas masih SMA saya itu sama sekali gak peduli tentang kuliah. Saya yakin, kuliah di mana aja saya bakalan survive dan sukses. Tapi saya rasa ada satu alasan fundamental yang membuat saya memilih berkuliah di Psikologi. Kalo saya ceritain alasannya, pasti ada yang bilang saya ini sombong. Tapi serius deh, alasan yang paling masuk akal kenapa saya kuliah di Psikologi itu adalah karena katanya kuliah di Psikologi itu susah. Ya, situ gak salah denger kok. Saya masuk Psikologi karena katanya Psikologi itu susah / berat. Susah masuknya, susah kuliahnya, susah lulusnya. Gitu kira-kira yang saya denger tentang kuliah di Psikologi.

Lah?? Udah tau susah, kenapa malah pengen masuk???

Tenang, saya tau pertanyaan itu bercokol di tenggorokan situ dan siap situ muntahkan. Ada alasannya kok. Sampai mau lulus SMA, bagi saya hidup itu gak ada tantangannya. Pernah sih pas kelas 1 SMA saya nyaris gak naik kelas, tapi itu lebih karena sayanya terlalu santai dan gak mao nganggep serius sekolah. Selebihnya, hidup saya itu lurus-lurus aja. Lempeng-lempeng aja. Pas SD saya terbiasa jadi penghuni ranking 1-5 di sekolah. Pas SMP saya biasa juga penghuni papan atas prestasi di sekolah, ditambah lagi saya cukup aktif di berbagai kegiatan termasuk jadi kapten tim Basket pas kelas 3. Pas SMA, saya juga ga kesulitan di pelajaran, bahkan bisa masuk ke tim inti Basket dan Sepakbola. Intinya, idup itu gak ada susah-susahnya bagi saya.

Yap, saya benar-benar butuh tantangan!!

Ya, kurang lebih itulah latar belakang kenapa saya kuliah di Psikologi.
Selanjutnya... Bagaimana rasanya kuliah di Psikologi?
Apakah saya sukses menemukan apa yang saya cari?
Sudahkah hidup saya dipenuhi kesusahan-kesusahan yang saya mau?

Tenang. Nantikan jawabannya di sesi-sesi selanjutnya #Curhat.070
Mau berbagi cerita juga? Mari bikin sesi-sesi #Curhat.070 versimu sendiri! =)

Jakarta, 26 Agustus 2011
Okki Sutanto.

[Oh ya, jangan terlalu kagum ya sama cerita saya semasa SMP dan SMA. Satu-satunya rekor menang yang dipegang tim basket SMP saya, semasa saya jadi kapten, adalah saat tim kami menang walkout atas tim dari luar kota yang kayaknya kejebak macet ke lokasi bertanding. Selama jadi tim inti Basket & Sepakbola SMA, tempat saya beraksi itu ya cuma di ruang ganti sama di bangku cadangan. Masuk lapangan sih jarang-jarang, itu pun kalo ada yang cedera. Dan tugas saya bukan gantiin yang cedera, tapi bopong yang cedera itu ke pinggir lapangan. Miris ya? hehehe] 

Rabu, 17 Agustus 2011

Villain.

"Without the villain, we don't suffer. Hero won't arise.
Thus, I stand up and be one.
Cause sometimes, most of us need a hero, or need to be a sufferer. Hence, we could realize, how many friends and fans we have. How precious we all are."

 =)

Sabtu, 02 Juli 2011

Malam Masih Panjang

Kadang malam tak terselami
Terlalu luas, sekaligus penuh misteri
Memiliki tengah, namun tak bertepi
Juga terang, meski tanpa matahari

Ya, malam masih panjang
Selalu ada kemarin, untuk dikenang sebelum menghilang
Pun masih ada esok, yang tak pernah lelah datang
Sebenarnya.. Adakah guna aku berlantang?

Ah, malam masih panjang
Yang jalang masih telanjang
Yang malang masih terajang
Dan aku, masih mengerang?

Sakit? Atau Nikmat?
Ah, keduanya kadang tak bersekat
Yang kutahu aku ini bukan malaikat
Meski kadang kau perlakukan tanpa martabat

Ya, ya, ya...
Malam masih panjang, meski hanya sesaat.


Jakarta, 2 Juli 2011
Okki Sutanto.

Rabu, 01 Juni 2011

Bertemu Sahabat!

Hari ini saya betemu seorang sahabat. Beberapa hari lalu baru saja ia berulangtahun. Ternyata tak usianya saja yang bertambah, kedewasaannya berkembang lebih cepat dari deret aritmatika. haha.

Kami jarang bertemu. Maklum, ia sedang melanjutkan studi master di Malaysia. Sedangkan saya, menginjakkan kaki di sana saja belum pernah. Saya masih bergelut mengumpulkan niat mengerjakan tugas akhir studi kesarjanaan saya. hehehe. Awalnya kami berencana bertemu kemarin, namun karena kami sama-sama punya agenda lain yang tidak bisa ditinggal, pertemuan pun batal. Hari ini akhirnya kami bertemu juga. Sore saya habiskan dengannya. Meski hanya tiga jam, namun bagi saya pertemuan sore tadi amat berharga.

Banyak sekali hal yang kami bicarakan. Awalnya kami bicara mengenai karir dan rencana beberapa tahun ke depan. Rupanya tujuan kami mengangkat topik itu sama: sama-sama menjajaki kemungkinan untuk berpartner di kemudian hari! hahaha.. Dari sana pembicaraan mengalir begitu saja. Keluarga, kawan lama, juga kesibukan saat ini.

Pembicaraan makin menarik ketika kami membahas marketing. Mulai dari pemasaran blog, hingga konsep brand-archetype. Konsep tersebut ternyata baru saja ia pelajari di studi masternya. Saya sendiri sudah cukup lama berkenalan dengan konsep tersebut berkat salah seorang dosen saya. Kloplah! Dari teori hingga bagaimana kami mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari kami. Kami saling bertukar pikiran tentang teknik-teknik mengelola blog, dari tampilan, pemasaran, sampai meningkatkan keterlibatan pembaca.

Tak lama kami masuk ke topik pelatihan. Mulai dari berbagai pendekatan dalam pelatihan, hingga komparasi pelatihan di Indonesia dan di Malaysia. Kebetulan saat ini ia bekerja di sebuah biro pelatihan di Malaysia, sedang saya sedang menjadi tim inti sebuah proyek pelatihan se-DKI Jakarta. Kami sepakat, rasanya ada kesalahkaprahan dalam penerapan konsep experential learning pada pelatihan-pelatihan mainstream di Indonesia. Sedang minimnya evaluasi sebuah program pelatihan ternyata menjadi PR baik di Indonesia maupun di Malaysia. Pelatihan masih cenderung dipandang sebagai program instan yang langsung tampak hasilnya. Tanpa diuji keefektifannya secara komprehensif.

Cukup lama juga kami membahas mengenai Muhammad Yunus dan microfinancing-nya. Mulai dari bagaimana suksesnya program tersebut di Bangladesh, hingga analisa mengapa program tersebut gagal diadaptasi berbagai NGO dan LSM di Indonesia. Ia juga menceritakan bagaimana salah satu LSM di Malaysia menerapkan microfinancing dengan sukses. Tingkat pengembalian pinjaman tinggi. Sustainabilitas terjaga. Perbaikan kesejahteraan targetnya pun benar-benar terjadi.

Masih banyak lagi hal-hal lain yang kami bahas, meski tak terlalu mendalam. Tentang transportasi publik di Jakarta. Tentang simbiosis mutualisme LSM dan program CSR perusahaan dalam dunia pendidikan di Malaysia. Tentang outsourcing. Tentang isu TKI. Tentang fundraising kegiatan kemahasiswaan (kami sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan semasa kuliah). Tentang http://khanacademy.org/. Tentang wajib militer di Singapur dan Korea. Dan masih banyak lagi. Oh ya, dia juga memberi tips pada saya cara membagi peran dan waktu dengan baik. Sederhana memang, tapi akan segera saya praktikkan karena saya rasa saya sangat butuh itu. hehe.

Meski cuma tiga jam, saya cukup puas bisa meluangkan sore ini dengan sahabat saya tersebut. Sayang memang, kami gagal bertemu dengan salah seorang teman kami yang lain. Sebenarnya kami sudah janjian di sebuah pusat perbelanjaan. Sayang, ada kesalahan teknis yang membuat kami gagal bertemu. Ah, padahal saya yakin pertemuan kami akan jauh lebih berbobot jika teman kami itu turut serta! hihihi.

Ya, sampai jumpa di pertemuan berikutnya!
Sungguh tidak sabar datangnya kesempatan untuk berkerja bersama suatu hari nanti! hehehe.Jakarta, 1 Juni 2011
Okki Sutanto.

Senin, 30 Mei 2011

Eh, Sahabat Saya Ulang Tahun

(Baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Eh,
ternyata
hari ini
sahabat saya ulang tahun.

Sudah lama tak dengar kabarnya
Hanya di saat-saat zelfin16 kedap-kedip di ruang obrol,
atau saat ada yang baru saja di parsimonia.
sebatas itu.

Ruang hidup kami terpaut jauh,
Dia hidup di tanah pembenci merah putih
Saya hidup di tanah sang merah putih
Tapi hati kita sama: mencintai bumi merah putih ini sepenuh hati

Waktu hidup kami juga tak bertaut,
Rasa-rasanya,
Dia amat sibuk dengan segudang aktivitasnya,
dan saya juga sepertinya sama

Genap sudah
dua puluh dua kali
ia bertualang
mengelilingi matahari

Saya rasa tak lama lagi,
ia pun akan sebenderang matahari.
dengan segenap kedewasaan dan kebijaksanaan
yang sudah ditabungnya sejak dini

Terakhir saya dengar studi sarjana sudah ia rampungkan
Dan kini sedang melanjutkan studinya lagi
Lalu ia makin sibuk mengurusi ini
mengurusi itu

Eh,
ternyata
hari ini
sahabat saya ulang tahun.

SELAMAT ULANG TAHUN!

Jakarta, 30 Mei 2011
Okki Sutanto

Jumat, 27 Mei 2011

Obrolan Absurd Pelemas Dengkul

(Baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Pembimbing: "Kamu itu mau bikin ground theory. Kompleksitas skripsimu setingkat disertasi. Memangnya kamu siap?"
Mahasiswa skripsi: "Siap mas. Aku punya waktu sampai Desember. Keburu kan?"
Pembimbing: "Keburu sih Desember."
Mahasiswa skripsi: (bernafas lega)
Pembimbing: "Tapi Desember 2013."

KREK!!

Rasanya ada yang bergeser di dengkul sang mahasiswa.
Entah dengkulnya yang mati gaya, atau sekrup di otaknya ada yang lepas.

Di sebuah ruang rapat yang baru saja habis masa overstaynya.
Didengar oleh teman si mahasiswa skripsi yang teriak kegirangan.


Jakarta, 27 Mei 2011
Okki Sutanto
(Kebanyakan baca NgupingJakarta)

Kamis, 26 Mei 2011

Hei Kamu!

Prosa // Pengganti ucapan selamat ulang tahun.
(Baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Hei kamu,
yang cantik karena:
keleluasan saat berpikir,
keliaran dalam bermimpi,
kecintaan pada manusia,
kebencian pada kedangkalan,
kehausan akan pengetahuan,
kepercayaan akan layaknya memperjuangkan sesuatu,
keyakinan akan pentingnya cinta dalam sebuah aktivitas,
juga karena keberanian menjadi diri sendiri.

Hei kamu,
terus berusaha mencintai bumi manusia ya,
dengan segala permasalahan di dalamnya.
Dan jangan mau cuma numpang jadi masalah,
jadi setitik harapan juga kedengarannya tidak jelek.

Hei kamu,
terus berusaha mengangkasa tanpa takut terjatuh ya,
karena tanpa hancur lebam karena berjuta kesalahan,
kebenaran yang cuma satu pun
bisa jadi tidak kesampaian.

Hei kamu............
Selamat ulang tahun!


Jakarta, 26 Mei 2011
Okki Sutanto
(jangan bosan jadi sahabat berdebat gue ya! kapan lagi gue bisa berdebat sama juara nasional? hahahaha)

Selasa, 24 Mei 2011

Kamu Kayak Klinik Anti Jerawat

Prosa
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Tadi kalau gak salah,
kamu bilang klinik anti jerawat itu gak ada gunanya
emang sih, jerawatnya hilang pas lagi ke sana
tapi sesudahnya, jerawatnya muncul lagi

Kalau dipikir-pikir,
kamu itu ya kayak begitu juga
kalau lagi sama kamu,
semua penderitaanku hilang

Isi kepala yang kayak lagi latian sirkus
Sekujur badan yang gemeteran overdosis angin
Sampe mulut yang mogok ngunyah
semuanya hilang kalau aku lagi sama kamu

Tapi ya itu tadi,
efek kamu itu cuma sementara
selepas kita berjalan tolak arah
sakitnya menyerbu kembali

Ya pusingnya
ya meriangnya
ya sariawannya
ah, tak ketinggalan penyakitnya nambah satu...... kangen!

Jakarta, 24 Mei 2011
Okki Sutanto
(tapi aku akan tetep balik ke "klinik" ga berguna itu koq)

Minggu, 22 Mei 2011

Mencintai Lidah

Catatan Pribadi.
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Beberapa hari belakangan ini, saya mendapat kado istimewa: sariawan di lidah.
Sakitnya itu luar biasa. Digerakkan sedikit saja, rasa perih menghujam.
Terkena sedikit air, rasa perih pun kembali menghujam.
Pokoknya, mau ngapa-ngapain jadi susah.

Hanya karena luka yang diameternya tidak sampai satu centi itu, hidup saya benar-benar menderita.
Berbagai aktivitas harian yang seharusnya bisa dijalankan tanpa usaha sama sekali,
belakangan menjadi aktivitas yang menguras energi, daya tahan, dan air mata.
Padahal, sebelumnya bagi saya lidah itu gak ada penting-pentingnya.
Ternyata saya salah. Begitu banyak aktivitas penting yang membutuhkan peran lidah.

Berikut hal-hal yang belakangan ini tidak bisa saya lakukan dengan maksimal, karena sariawan di lidah:
- Minum, mulai dari secangkir teh sampai sebotol air mineral
- Makan, bahkan roti dan bubur
- Ngobrol
- Ngatain orang
- Nelfon
- Presentasi
- Wawancara orang
- Nyanyi-nyanyi pas mandi
- Gosok gigi
- Bertanya
- Menyampaikan pendapat
- dsb.

Begitulah. Karena luka setitik yang mengganggu itu, banyak sekali masalah yang ditimbulkannya.
Mungkin luka ini ingin mengajarkan sesuatu.
Bahwa hal-hal kecil dan rutin seringkali tidak kita anggap dan nikmati.
Padahal, hidup kita ini didominasi oleh rangkaian hal-hal kecil yang rutin.
Jika kita hanya bisa menikmati hal-hal besar yang datang sekali-sekali,
bagaimana kita bisa menikmati hidup?

Ah, saya tak peduli
Yang saya butuhkan hanya lidah saya ini cepat beroperasi normal kembali.


Jakarta, 22 Mei 2011
Okki Sutanto
(mencoba lebih mencintai lidah)

Rabu, 18 Mei 2011

P U A S!

Prosa.
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan di Facebook)

Setelah,
hari-hari panjang yang memperkosa badan.
juga malam-malam tak berbatas membunuhi kata.

Setelah,
tujuh kali siang mengejar malam.
seratus tiga puluh delapan halaman tercipta.
tiga puluh tiga tulisan tersunting.
tujuh belas ribu seratus sembilan puluh delapan (17.198) kata terpahami.
dan sembilan puluh tujuh ribu sembilan ratus tujuh puluh (97.970) huruf terbaca.

Ada rasa puas terselip.
Mungkin lebih.
Membuncah?
Entah.

Pokoknya, puas.
dan semua terbayar.
karena otak dan otot tak sendiri,
ada hati yang turut menemani.

Puas.
Tak kurang.
Mungkin lebih.


Jakarta, 18 Mei 2011
Okki Sutanto
(SAATNYA BISA TIDUR TANPA DIHANTUI HURUF, KATA, DAN KALIMAT)

Jumat, 13 Mei 2011

Ternyata Otak Saya Gak Meledak

Catatan Pribadi
(baru diarsipkan, sebelumnya dipublikasikan melalui Facebook)

Kalau bisa meledak, mungkin otak saya ini udah meledak. Isinya muncrat ke mana-mana.
Lha gimana enggak? Baru diistirahatin tiga jam dan masuk ke mode non aktif, otak ini udah harus dipaksa beralih ke mode aktif lagi.

Pagi-pagi, si otak udah harus diputer kenceng-kenceng ngebahas proyek bikin film yang baru saja menang tender. Asik loh! Baru sekali rapat sama penyandang tuna netra, dan doi itu orangnya keren mampus! Naik transjakarta sendirian dari Pulo Gadung ke Semanggi. Fasih banget mengoperasikan telepon genggamnya, baik telepon maupun sms. Juga sama sekali gak keteteran ngerjain berbagai hal di laptopnya. Becandaannya, pemikirannya, cara bicaranya, jauh lebih humanis dan asik dibanding mereka yang terlahir sempurna.

Dua jam selesai si otak diperkosa di sana, saya pun pindah ke sebuah kafe di bilangan Semanggi. Bukan, bukan buat nongkrong. Tapi buat belajar gimana caranya bikin layout buku. Juga buat cari tempat cetak buku satuan. Dilanjutin sama ngerapihin beberapa hal hasil rapat tadi paginya. Diselangi juga bantuin temen saya mikirin beberapa konsep desain. Juga nemenin salah seorang temen saya ngobrolin politik dan skripsi.

Selang sejam, si otak udah harus mikirin konsep modul pelatihan siswa SMP. Kali ini bareng rekan saya yang kepedesan bukan main karena salah mesen menu! hahaha. Gak lama, si otak harus konsentrasi penuh pas ikutin rapat pembahasan modul pelatihan SD - SMP - SMA. Denger dan komentarin dua modul lain. Lalu presentasiin dan pertimbangin masukan buat modul SMP yang saya buat bareng rekan saya itu. Tiba-tiba saja, jam diberlakukannya three-in-one sudah nyaris usai. Rapat pun ikutan usai. Diskusi dan ngobrol-ngobrol santai sedikit, saya pun lantas bergegas pulang.

Setelah di setengah perjalanan pulang saya harus melajukan motor saya menghantam derasnya hujan, akhirnya saya sampai juga di rumah. Obrol-obrol sedikit dengan keluarga, makan buah sebagai pengganti makan malam, lantas mandi. Selepas mandi (dan berpakaian tentunya), otak saya ternyata masih harus kerjain beberapa hal. Masih ada beberapa email untuk dibalas. Masih ada satu tulisan ini untuk ditulis. Juga sejumlah tulisan untuk disunting.

Kalau dihitung, rasanya otak saya ini sudah diperas non stop lebih dari empat belas jam. Seperti yang tadi saya bilang di awal, kalau bisa meledak, pasti dia udah meledak, sampai isinya muncrat ke mana-mana. Tapi nyatanya otak saya gak meledak. Lagi-lagi dosen saya yang satu itu benar. Ketika kita mengerjakan sesuatu dengan hati, rasanya akan berbeda. Ada kebahagiaan di sana. Ada energi tak terbatas di sana. Ada kepuasan dan optimisme di sana. Dan jelas, ada cinta di sana.


Jakarta, 13 Mei 2011
Okki Sutanto
(hari ini Jumat Kliwon, tanggal 13, dan saya sama sekali gak merasa sial)

Rabu, 11 Mei 2011

Mas E itu Pinternya Cuma Mitos

# diarsipkan dari: http://a-tribute-to-eric.blogspot.com/
[Sudah dibukukan dalam kumpulan tulisan "A King's Lecture: His Way to Humanized Students", diterbitkan untuk kalangan terbatas]

Denger-denger, mas E itu pinter luar biasa. Banyak temen-temen saya yang kagum kalau si mas E ini lagi ngajar atau menganalisa sesuatu. Apalagi kalau lagi ceritain pengalamannya sebagai market researcher. Wah, kagum banget deh kita sama kepinteran mas E. Saking pinternya, biasanya kita-kita ini cuma bisa pasrah kalau disuruh menjawab pertanyaan si mas E. Dan pastinya lebih pasrah lagi kalau si mas E nyuruh kita ngajuin pertanyaan. Soalnya kita itu ya sering minder kalo berargumen di hadapan si mas E. Pasti mas E siap banget membantai kita. Siap banget membuat kita-kita ini mawas diri, bahwa kita-kita ini masih jauh dari yang namanya pinter.

Ga sedikit temen saya yang terkesima, terpana, terkagum-kagum, dan "tersentuh" hidupnya oleh si mas E. Semua itu ya berkat kepinteran si mas E. Keluwesannya saat membangun argumen. Ketajamannya ketika menganalisa. Kehebatannya saat memaparkan sesuatu. Banyak deh pokoknya. Tapi, kok saya ini kadang-kadang meragukan kepinteran si mas E ya. Buat saya, seringkali mas E itu bagaikan mitos doang. Bukan kedatangannya ke kelas ya, kalau itu sih memang seringnya mitos doang. Kirain bakal ngasih kuliah, eh ternyata enggak. Kirain bakal nongol di kelas, eh ternyata enggak. Hehehe.. Bukan, bukan itu maksud saya. Yang saya maksud mitos itu, ya kepintarannya si mas E.

Habisnya, saya itu seringkali gak habis pikir. Kenapa si mas E yang katanya pinter itu, koq mau-maunya buang waktu, tenaga, dan pikiran, buat jadi dosen. Padahal, dengan ilmu yang mas E punya, kita-kita itu yakin mas E bisa jadi apa aja. Jadi superman bisa. Jadi batman bisa. Jadi nabi juga mungkin bisa. Intinya, mas E itu pasti sanggup "menyelamatkan" banyak orang. Tapi, si mas E malah memilih "menyelamatkan" mahasiswa seperti kita-kita ini yang jiwanya tersesat dan perlu dibimbing.

Mas E itu lebih milih ngurusin para mahasiswanya, termasuk saya, dibanding melakukan banyak hal-hal hebat lainnya. Gak jarang loh, si mas E ini meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan mimpi-mimpi mahasiswanya. Ide-ide nyeleneh mahasiswanya. Obrolan-obrolan absurd mahasiswanya. Selain itu si mas E ini juga ga sungkan-sungkan mempercayakan sesuatu pada mahasiswanya. Beragam tugas, kerjaan, dan tanggung jawab yang cukup "berat" sering dipercayakan pada mahasiswanya. Padahal, mahasiswa itu kan sering banget ngeluh, ngasal, dan ngegampangin. Mahasiswa itu kan jauh dari yang namanya pinter. Tapi tetep aja loh, si mas E mau aja deket dan percaya sama kita-kita ini.

Begitulah, saya kadang bingung sebenernya si mas E itu beneran pinter, setengah pinter, atau cuma mitos doang sih pinternya? Tapi, ya sudah lah. Meski mas E itu pinternya cuma mitos, tapi saya yakin kepeduliannya sama mahasiswa itu bukan mitos. Mau pinter ataupun enggak, si mas E juga tetep guru saya. Guru kami. Segenap ide, pemikiran, dan cara pandangnya itu sedikit banyak kami teladani. Dan itu bukan cuma mitos. Saya yakin banget.

Jakarta, 2011.
Okki Sutanto.

Selasa, 10 Mei 2011

Ah, Kafe Gak Sekeren Itu.

Catatan Pribadi
#Tulisan keduapuluhempat, hari keduapuluhsatu

Saya itu dulu sering mikir, kalau jadi penulis enak kali ya. Kerjanya ga harus di kantor. Bisa nongkrong di kafe sepanjang hari, nyari inspirasi sambil menyeruput kopi pahit. Bisa berpetualang nyobain kopi dari satu kafe ke kafe lainnya, padahal saya tahu lidah saya itu tuna-rasa. hehehe.. Pokoknya, sama selalu membayangkan kalo orang yang bisa nongkrong sambil kerja di kafe itu keren banget. Hidupnya asik, seru, ga ngebosenin.

Tapi kini saya merevisi pikiran saya tersebut. Kebetulan, hari ini saya berkesempatan mencobanya: bekerja sambil nongkrong di kafe seharian. Pagi, sejak jam setengah sembilan, saya sudah nongkrong di Dunkin Donut Plaza Semanggi untuk diskusi kru produksi film. Sebenarnya belum tentu diproduksi juga sih, karena tadi itu kita diskusi untuk membahas proposal pengajuan tender. Jadi kalau proposalnya ga lolos, ya ga jadi dapet proyek bikin film. hehe. Lalu siangan dikit, sekitar pukul setengah sebelas, saya dan rekan-rekan yang tersisa pindah ke EMAX CAFE Plaza Semanggi untuk melanjutkan pembuatan proposal. Soalnya menurut kami Dunkin itu kurang kondusif buat mengetik di laptop. hehe.

Jadilah saya mendaratkan pantat saya di EMAX sejak jam setengah sebelas. Sekitar jam satu, teman saya datang untuk berdiskusi tentang penulisan skripsi. Setelah itu saya pun sedikit menyicil skripsi. Pukul empat, proposal dan cicilan tahap awal skripsi selesai. Masih di meja yang sama, saya lanjut melakukan rapat penyusunan modul pelatihan bersama dua rekan saya lainnya. Tanpa disadari jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Rapat pun usai karena saya harus beranjak ke Pacific Place menghadiri sebuah acara. Untunglah saya harus pergi, soalnya kalau tidak saya yakin akan terus terperangkap di kafe itu, entah melakukan apa.

Jika ditotal, hari ini saya di kafe selama nyaris sepuluh jam. Dari pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore  sudah setengah berganti kulit menjadi malam. Rasanya? Wah, bosannya bukan main. Mata pegal karena berkutat di laptop terus, otak butek karena dipake mikir mulu, perasaan juga bosan setengah mati karena suasananya itu-itu terus.

Pokoknya, saya gak mau lagi bekerja sepanjang hari di kafe kalau nanti saya jadi penulis. Udah gak keren lagi. Udah gak seru lagi. Maksimal di kafe itu tiga jam rasanya cukup. Lebih dari itu, sudah kurang baik bagi kesehatan mental. Tapi, kalau begitu saya harus mulai memikirkan tempat-tempat baru yang oke untuk nongkrong, ketika nanti saya menjadi penulis. Sesaat terpikirkan di toilet umum, tapi kok gak elegan ya? Atau kuburan, tapi kok horor ya? Ah, kapan-kapan aja deh dipikirinnya. Wong jadi penulis aja belum, koq udah repot-repot mikirin gaya idup penulis? hehehe..


Jakarta, 10 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(nulis di atas gerbong kereta api yang lagi berjalan kayaknya seru, tapi... ada colokan ga ya?)

Senin, 09 Mei 2011

Buat Saya, Pemimpin Itu...

Ketikan Pinggir.
#Tulisan keduapuluhtiga, hari keduapuluh

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengajukan pertanyaan menarik ke saya: "Bagaimana sih caranya jadi pemimpin?". Wah, otomatis saya itu bingung. Wong saya sendiri merasa belum pernah jadi pemimpin. Kalau kebetulan jadi pencetus ide, koordinator, atau pimpinan sih sering. Tapi yang namanya jadi pemimpin, kata banyak orang kan lebih dari sekedar itu saja. Dan berhubung saya juga kurang tahu "lebih"nya itu seberapa banyak. Jadi, ya saya bingung gimana jawabnya.

Singkat kata, karena penasaran, saya pun ikut merenungkan pertanyaan itu. Gimana ya jawabnya? Ada ga ya jawabannya? Hehehe.. Karena saya bingung mau mulai mencari tahu dari mana, saya coba saja berangkat dari definisi teoritis. Begini kurang lebih definisi dari pemimpin: Seseorang yang memegang posisi kunci dalam sebuah kelompok, dan dengan bekal berupa keterikatan dengan anggota kelompok lainnya, mengarahkan kelompok ke tujuan bersama (Bass dalam Widiawati, 2009).

Dari beberapa buku yang saya baca, memang mendefinisikan pemimpin itu tidak mudah. Setiap orang, baik pemimpin maupun bawahan, ya sah-sah saja memiliki pandangannya sendiri terkait sosok seorang pemimpin. Lah, kalau sudah begini, jadilah saya terbujur-kaku-meraung-sedih-di-pojokan-kamar-malam-malam, sambil mikirin gimana caranya menjawab pertanyaan teman saya di atas. Apalagi yang ditanya teman saya itu GIMANA caranya jadi pemimpin, bukan sekedar definisi dari pemimpin.

Karena saya tidak tega membiarkan teman saya itu rasa penasarannya tidak terpuaskan, saya memutuskan untuk menjawabnya dengan apa yang saya yakini. Saya gak yakin ini jawaban yang benar, meski saya lebih ga yakin lagi kalau sebenarnya ada jawaban absolut dari pertanyaan tersebut. Berikut adalah beberapa hal, yang menurut saya SEBAIKNYA dimiliki oleh seorang pemimpin:

1. Tujuannya jelas.
Ya, pertama-tama kita harus punya tujuan. Dan tujuan itu harus jelas. Kalau tujuan aja ga jelas, apa yang mau Anda pimpin? Kadang ini terjadi loh. Ada saja orang yang sudah dijadikan pemimpin tapi masih ga tau apa alasan dia jadi pemimpin, dan apa tujuannya. Kalau yang kayak gini-gini nih namanya pemimpin "KTP". Ya, cuma sebatas hitam di atas putih saja. Ga lebih. Dan biasanya sih yang kayak gini akan tenggelam dengan sendirinya, ya nama baiknya, ya kepercayaan orang-orangnya, ya riwayatnya.

2. Punya pengikut.
Kalau Anda lihat orang teriak-teriak di pinggir jalan, gerak-gerakin tangan ke kanan kiri atas bawah, lantas ngomongin tentang akhir jaman, kira-kira siapa ya orang tersebut? Kalau ga ada pengikutnya, ya pasti orang gila. Kalau punya banyak pengikut, bisa aja itu pastor / pendeta lagi khotbah. Lihat kan bedanya? Cuma sebatas ada-tidaknya pengikut, bedanya jauh. Dari orang gila, jadi pemimpin. Jadi, ya seorang pemimpin itu harus punya pengikut. Pengikut itu bukan berarti budak, kacung, atau pembantu ya. Kalau Anda punya itu semua, saya yakin Anda itu bukan pemimpin, tapi ya orang kaya. Pengikut itu ya orang yang percaya dengan Anda. Percaya dengan ide/gagasan Anda. Percaya dengan apa yang ingin Anda lakukan. Percaya pada tujuan Anda.

3. Siap bertanggungjawab.
Kalau sudah jadi pemimpin. Ya kita harus siap bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan, juga apa yang dilakukan oleh orang-orang yang kita pimpin. Nah, untuk itu penting sekali bagi seorang pemimpin untuk setidaknya tahu secara garis besar, apa yang dilakukan oleh bawahannya. Tidak harus detil sekali, yang jelas ia tahu bawahannya itu mau ngapain, kenapa, dan bagaimana. Kalau itu saja kita gak tahu, gimana caranya kita siap bertanggungjawab?

4. Siap membimbing.
Bisa membimbing bukan berarti kita harus tahu segalanya. Setidaknya, jika ada pengikut kita yang bertanya, kita bisa memberi tahu, ke mana ia harus mencari tahu. Soalnya yang namanya pengikut itu biasanya hobi sekali bertanya, kalau hobinya itu ga tersalurkan, siap-siap saja kehilangan pengikut. Jadi, kalau ada pengikut kita yang bertanya gimana caranya bikin proposal, ya kita siap contohin. Kalau ada yang bertanya gimana caranya bikin bom, kita harus siap merujuknya ke ahli bom atau psikolog. Kalau ada pengikut kita yang bertanya siapa itu Moammar Khadafy, ya kita harus siap menjelaskan dengan sabar bahwa di luar sana ada teknologi bernama Google. Dan google itu mudah dipakai. Juga google itu gratis. Juga google itu tidak akan marah meskipun setiap hari diajukan pertanyaan sebanyak apa pun.

5. Tahu kapan harus bersikap.
Pemimpin itu bukan berarti dia harus bermata tajam, bermimik serius, dengan bibir tertutup dan tangan disilangkan di depan dada. Itu namanya kepala sekolah lagi ngambek. Ya, pemimpin itu harus tahu tempat, dan tahu waktu, kapan ia harus bersikap seperti apa. Kalau mukanya tegang dan serius pas pengikutnya lagi bercanda ya itu namanya kurang bijak. Kalau cekikikan sambil bbm-an pas lagi kerja dengan instansi lain juga itu namanya kurang bijak. Ya, tahu tempat lah. Kapan bisa bercanda. Kapan bisa serius. Kapan harus mendengar. Kapan harus didengar.

6. Tahu kapan harus mundur.
Biasanya, candu kekuasaan itu sebegitu hebatnya, sampai-sampai seorang pemimpin enggan melepaskan statusnya. Buat saya, jadi pemimpin itu ga harus kekal, abadi. Bisa jadi ada orang lain yang lebih tepat memimpin. Dan kita harus tahu kapan saat itu tiba. Lebih bagus lagi kalau kita sendiri yang menciptakan saat-saat itu, baik mempersiapkan momentumnya maupun mempersiapkan sang pemimpin yang baru itu.

7. Berani salah.
Poin terakhir ini sangat terkait dengan poin ketiga. Jadi pemimpin itu bukan berarti harus selalu sempurna. Saya yakin pemimpin yang matang adalah mereka yang pernah, bahkan sering melakukan kesalahan. Yang penting itu dia berani salah untuk sesuatu yang benar. Berani mengaku salah ketika ada yang lebih benar. Dan berani membenarkan kesalahannya, bukan sekedar mencari pembenaran akan kesalahannya.

Ya, demikianlah pandangan saya akan sosok seorang pemimpin. Bisa jadi ada yang berpandangan sama, bisa juga ada yang berbeda. Ya itu sah-sah saja. Namanya juga pandangan. Dan ini adalah pandangan saya saat ini, yang mana bisa saja berubah karena saya itu kan masih di tahap belajar. Jadi, mungkin suatu saat prinsip-prinsip ini akan saya tambahkan, kurangi, atau lengkapi. hehehe.. Semoga saja ini cukup menjawab kepenasaran teman saya yang satu itu. Meski saya yakin sebenarnya langkah pertama yang harus ia lakukan adalah berhenti bertanya "bagaimana" jadi pemimpin. Pemimpin itu bukan buat dipelajari teorinya, tapi dijalani langsung. Karena setiap orang bebas memiliki versinya masing-masing akan seorang pemimpin. Tidak ada yang boleh, berhak, dan bisa menyalahkannya. =)


Jakarta, 9 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(males nulis daftar pustaka ah, cari aja via teknologi bernama google itu)

Minggu, 08 Mei 2011

Mau Tampar Cermin

Puisi / Prosa
#Tulisan keduapuluhdua, hari kesembilanbelas

Kamu itu...
kalau emang susah kerja di pagi hari,
ya coba dong dicicil dari siang.

Kalau ternyata siang pun belum bisa mulai kerja,
ya coba dong dicicil sorenya.

Kalau ternyata ga cocok kerja sore juga,
ya mau ga mau malemnya harus fokus.

Tapi kalau ternyata kamu itu pulangnya aja udah malem,
gimana kamu mau selesaikan kerjaan yang kamu bikin-bikin sendiri?

Kalau gini kan, saya yang repot.
Sudah otak, mata, dan badan capek, masih saja dipaksa tuntasin kerjaan kamu.

Kalau gini kan, saya bisa-bisa jadi gila.
Dari tadi saja saya udah monolog sendirian di depan cermin.
Malah sosok di cermin itu nyaris saya tampar.

Untungnya ga jadi.
Habisnya saya bingung,
koq kayaknya saya kenal ya sama dia?


Jakarta, 8 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(belum, saya belum benar-benar gila, jadi jangan senang dulu)

Yang Itu Kebetulan Lagi Kosong, Pak

Ketikan Pinggir
#tulisan keduapuluhsatu, hari kesembilanbelas

Saya lupa mendengar cerita ini dari mana. Tapi belakangan ini saya suka menceritakan dan merenungkannya. Silakan dibaca cerita tersebut. Untuk nama, lokasi, dan detil-detil lainnya sudah saya ubah dengan tidak mengubah esensi.

Alkisah, seseorang pergi ke sebuah restoran. Setelah melihat-lihat menu, ia pun memanggil pelayannya dan memesan, "Mas, pesan mie ayam baksonya ya". Si pelayan membalasnya seperti ini "Pak, di sini menu spesialnya mie yamin komplit, dengan bakso, pangsit, dan saos spesial khas restoran ini". Mendengar penjelasan tersebut, pengunjung itu pun mengganti pesanan awalnya "Yaudah mas, sepertinya menarik, saya pesan itu ya satu."

Seharusnya percakapan berhenti di sana ya. Sayangnya, sekaligus untungnya, cerita itu belum berakhir. Si mas-mas pelayan itu lantas mengeluarkan jawaban pamungkas dengan muka polosnya, "Yang itu kebetulan lagi kosong hari ini, Pak."


Meski saya biasanya sulit berempati, namun saya sangat bisa membayangkan perasaan si pengunjung tersebut. Sudah memesan makanan A, diberikan rekomendasi B, eh ternyata pas dipesan menu tersebut sedang kosong. Pasti si pengunjung itu cengo sebego-begonya. Kalau bisa dan boleh, pasti dia ingin meneriaki si pelayan tepat di gendang telinganya.

Awalnya, saat mendengar kisah tersebut, saya tidak habis pikir. Apa ya yang ada di otak si pelayan itu, untuk apa ia repot-repot merekomendasikan menu yang jelas-jelas sedang kosong? Lalu saya berkesimpulan, kesalahan bukan terdapat pada si pelayan. Kesalahan terdapat pada pelatihan / pembekalan yang diberikan pengelola restoran.

Biasanya, setiap karyawan baru pasti menjalani program pembekalan / pelatihan terlebih dahulu sebelum mulai bekerja. Dalam asumsi saya, ketika pelatihan si pelayan tersebut diajarkan untuk memberitahu menu spesial dari restoran, kepada setiap pengunjung. Ia diajarkan untuk melakukan hal tersebut, beserta cara mengucapkannya kata per kata. Masalahnya, ia tidak diberitahukan MENGAPA ia harus melakukan itu. Alhasil, ia pun melakukan tugas tersebut dengan sungguh-sungguh. Setiap pengunjung ditawari menu spesial tersebut, tanpa mempedulikan ketersediaan menu tersebut.

Hal ini sangat umum terjadi di dunia sehari-hari. Kita cenderung disuguhkan informasi dengan urutan begini: what & how & why. Bahkan kadang tanpa penjelasan akan "why" sama sekali. Urutannya dari luar ke dalam, jika melihat gambar berikut:
Why, How, What.
Padahal, akan jauh lebih baik ketika kita memberikan informasi tersebut dengan urutan dari dalam ke luar: why & how & what. Perusahaan-perusahaan sukses, orang-orang terkenal, sudah mengaplikasikan hal ini dalam gaya komunikasi mereka. Hasilnya, apa yang ingin mereka sampaikan, terkomunikasikan dengan sangat baik ke orang-orang di sekitar mereka.Orang menjadi lebih yakin, percaya, dan mengerti akan gagasan yang disampaikan.

Lebih lanjut mengenai konsep why & how & what tersebut mungkin akan saya jelaskan melalui tulisan tersendiri, di suatu waktu nanti. Karena kalau dijelaskan di sini bisa jadi terlalu panjang.  Intinya, selalu komunikasikanlah alasan dan tujuan Anda melakukan sesuatu terlebih dahulu, sebelum terburu-buru masuk ke istilah atau detil teknis. Andai itu diterapkan, bisa jadi tidak perlu ada seorang pengunjung yang cengo sebego-begonya, ketika mendengar kalimat polos dari mulut si pelayan: "Yang itu kebetulan lagi kosong hari ini, Pak."


Jakarta, 8 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(tidak sedang cengo, apalagi sebego-begonya)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...