Ketikan Pinggir
#Tulisan keempatbelas, hari ketigabelas
Saya itu kadang kasihan sama mereka-mereka yang setiap harinya naik motor. Eh, kalimat pembukanya terlihat sombong ya? Maaf. Ga ada maksud sombong sama sekali, wong saya sendiri juga pengendara sepeda motor kok. Maklum, saya cuma mahasiswa, dan kebetulan saya bukan orang mampu. Orangtua saya sih mungkin saja orang mampu, tapi kan sayanya belum! Ya toh? hehehe. Naik motor itu ya mau nggak mau. Habis gimana? Saya cuma sanggup beli bensin buat motor, motornya saja masih dipinjamkan sama orangtua. Jujur saya belum sanggup kalau disuruh beli bensin buat mobil. Wong beli bensin motor saja sudah ngos-ngosan. Ngasong sana-sini. Ngamen kiri-kanan. Untungnya selama ini masih tercukupi, bahkan rutin membeli BBM non-subsidi. Habis, gimana? Katanya BBM subsidi itu cuma buat orang susah. Ya karena saya gengsi kalau dibilang orang susah, ya saya isi saja dengan yang non-subsidi. Hitung-hitung meringankan beban negara. Hitung-hitung beramal.
Balik lagi ke rasa kasihan itu tadi. Gimana ga kasihan coba? Kita itu kan sama-sama tahu kalau belakangan ini bumi semakin panas, terlebih lagi Jakarta. Kalau naik mobil itu masih mending bisa pasang pendingin. Lah kalau naik motor? Sudah panasnya terik, masih mesti pakai jaket, mesti pake helm SNI, ditambah macet yang kadang-kadang gak masuk akal. Panasnya itu luar binasa loh! Saya gak bohong. Sekalinya ga panas itu kalau cuaca agak-agak mendung. Tapi seringnya kalau sudah mendung itu malah bablas sampe hujan deras. Dan lagi-lagi kita yang naik motor cuma bisa tarik nafas panjang. Syukur-syukur kalau ada jembatan / terowongan, bisa berteduh sebentar. Tapi denger-denger sekarang kalau ada motor yang berhenti di bawah jembatan pas hujan, bakalan kena tilang. Benar ga ya? Gila ga ya? Gila dong ya.
Sudah begitu, saya juga seringkali merasa kok kita-kita ini pengendara motor dianaktirikan banget. Mobil boleh masuk tol, motor mana boleh. Mobil enak ada layanan valet kalau parkir di mal-mal gaul. Motor mana ada. Kalau di lampu-lampu merah juga mobil sering ditawarin majalah-majalah setengah porno, kalau motor mana pernah. Kalau mobil punya jalur cepat, nah motor itu harus puas dengan jalur lambat di sebelah kiri.
Khusus poin terakhir di atas, saya masih tak habis pikir sampai sekarang. Kenapa ya kok yang namanya motor itu harus ada di jalur lambat atau di lajur kiri? Dan biasanya jalur lambat itu lebih sempit daripada jalur cepat. Padahal nih ya, untuk menampung sepeda motor saja jalur lambat itu sudah nyaris tak muat. Eh masih harus dimuat-muatin sama taksi, bajaj, mikrolet, metromini, bus AC, dan mobil-mobil yang ingin belok atau minggir. Semuanya dipaksa masuk di jalur lambat. Edan! Kadang kala saya jadi ingat sama kamp konsentrasinya Nazi kalau lagi naik motor di jalur lambat. Benar-benar dipadatkan, kayak sarden dikalengkan.
Kenapa ya pengendara motor harus dianaktirikan? Padahal sama-sama bayar pajak loh. Sama-sama beli bensin juga. Dan pengendaranya pun sama-sama ciptaan Tuhan. Tujuannya pun sama: pengen sampai suatu tempat! Entah sekolah, kampus, kantor, atau apa pun. Lantas kenapa kita pengendara motor setiap harinya harus menyabung nyawa di "kamp konsentrasi"? Saya itu sering banget ngeri loh sama bus-bus yang kalau lagi jalan goyangannya lebih-lebih dari Inul Daratista. Detik pertama ada di lajur paling kiri. Detik berikutnya tahu-tahu sudah belok ke lajur paling kanan. Belum lagi yang kadang-kadang ngeremnya mendadak. Pokoknya bus itu kalau ngerem dan belok, yang tahu cuma sang sopir dan Sang Pencipta. Lah, kalau sudah begini kan lagi-lagi kami pengendara motor cuma bisa berharap biar gak tersenggol, terserempet, atau terlindas sama bus-bus besar itu.
Ujung-ujungnya sih, mau senaas apa pun nasib jadi pengendara motor, ya mau tak mau akan tetap saya lakoni. Selain masalah keterjangkauan biaya yang sudah saya sebutkan di atas, bagaimana pun naik motor membuat umur saya tidak terbuang lebih banyak di jalan. Kalau naik mobil itu, meski enak dan nyaman, jarak tempuhnya dua sampai tiga kali lebih lama daripada naik motor! Dengan kata lain, kalau naik motor itu seharinya saya bisa menghemat satu jam waktu perjalanan. Seminggunya tujuh jam. Sebulannya tiga puluh jam. Setahunnya tiga ratus enam puluh lima jam. Lumayan juga kan ya? Meski resikonya ya bisa saja suatu saat kami-kami ini tersenggol, terserempet, atau terlindas sama bus-bus besar itu. Dan jam-jam yang sudah kami depositokan tadi pun selamanya tidak bisa kami nikmati lagi. Lalu lagi-lagi kami cuma bisa menghela nafas. Yah.... Mau gimana lagi?
Jakarta, 2 Mei 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com
(didedikasikan buat para ksatria berhelm SNI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar