Ketikan Pinggir Hari Ini.
Sering sekali saya membaca, entah di internet maupun majalah, tentang orang-orang yang menguasai suatu hal di usia yang masih sangat muda. Ada anak berusia 13 tahun dari Singapore yang sudah memahami semua bahasa pemrograman, ada anak dari India yang pada usia 11 tahun sudah menjadi dokter bedah, ada pula anak usia 19 tahun di Amerika yang sudah menyelesaikan pendidikan S-3nya.
Sungguh membanggakan, betapa prestasi yang sangat gemilang mampu ditorehkan di usia yang masih sangat muda. Di sisi lain, muncul keprihatinan karena fenomena serupa sangat langka ditemukan di negri tercinta ini. Ada pun anak-anak yang sempat bikin geger adalah yang berbau mistis semacam Ponari, ataupun Ulfa yang dinikahkan dengan Syekh Puji. Jelas bukan prestasi yang membanggakan.
Dalam pengamatan sebagai orang yang mengecap pendidikan dasar hingga universitas di Indonesia, saya melihat bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu memfasilitasi adanya murid-murid istimewa. Tidak sedikit saya menemukan murid-murid jenius yang tidak layak mendapat pengajaran yang sama dengan kebanyakan murid. Materi yang mungkin membutuhkan waktu sebulan bagi murid lain, dapat dikuasai oleh murid-murid jenius ini dalam beberapa hari saja. Namun karena pembatasan oleh sistem, mereka hanya bisa terkungkung dan menjalani pembelajaran yang normal-normal saja.
Memang, belakangan mulai santer terdengar adanya kelas-kelas akselerasi, meski masih terbatas di sekolah-sekolah tertentu saja. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan beberapa orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, implementasi kelas aksel tersebut masih jauh dari sempurna. Murid-murid di kelas aksel terlalu dilatih otak kirinya saja, namun tidak diseimbangkan dengan bimbingan mental yang baik. Akhirnya mereka malah menjadi depresi, mungkin karena materinya yang malah terlalu padat dan pengajarnya tidak mampu menyesuaikan diri, juga karena pandangan dari sekitar yang terlalu memberatkan harapan pada diri mereka.
Jika ditilik lebih jauh, masalah ini berakar di budaya Indonesia yang kerap kali menganut 'SAMA RASA SAMA RATA'. Tidak jarang kita melihat perwujudan dari nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika kita memahami esensi dari keadilan, adil tidaklah identik dengan sama rata. Paradigma yang salah ini membimbing masyarakat untuk tidak memberikan tempat bagi orang-orang yang 'lebih' dibanding dirinya. Semua ya harus menjalani hal yang sama, mendapatkan hal yang sama, dan berakhir sama pula.
Hal semacam itulah yang masih menjadi momok di dalam masyarakat Indonesia, terlebih di dunia pendidikan. Jika kita terus memiliki paradigma di atas dan mengembangkan nilai yang salah tersebut, jangan harap kita bisa memiliki generasi muda yang lebih unggul dibandingkan negara-negara lain. Tidak dapat dipungkiri, usaha dari Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Namun, maukah kita mulai dari diri kita sendiri?
Jakarta, 7 Oktober 2009
Okki Sutanto
(tidak sabar ingin tidur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar