Ketikan Pinggir Hari Ini.
Tidak mudah mencari padanan kata untuk "Being Stood Up". Kurang lebih: ditelantarkan oleh orang yang sudah berjanji dengan kita. Dua film terakhir yang saya tonton, menceritakan tentang bagaimana "being stood up" bisa berakibat sangat fatal. Dalam film "THE WRESTLER", ketika Randy tidak sengaja lupa janji makan malam dengan putrinya, ia kehilangan kesempatan mendapatkan kasih sayang putrinya kembali. Dalam film "IT'S COMPLICATED", ketika Jake tidak bisa memenuhi janjinya kepada Jane, mantan istrinya, pintu untuk rujuk kembali pun tertutup untuk selamanya.
Mungkin ada pandangan: "Masa iya satu kesalahan saja sebegitu sulitnya termaafkan, dan berakibat sedemikian fatal?" Jawabannya adalah "YA". Coba kita bayangkan, ketika orang yang sangat kita sayangi berjanji akan menemui kita di suatu tempat. Kita berharap sesuatu yang indah akan terjadi. Kita menyiapkan segala sesuatunya. Kita datang ke tempat yang dijanjikan. Satu menit, lima menit, dan satu jam pun berlalu. Orang yang kita nantikan tidak kunjung datang. Sendirian, tercampakkan, terlupakan. Segala pengharapan kita hancur. Percayalah, tidak mudah menghadapinya. Dan ketika orang tersebut dengan polos berkata "Maaf", apa mudah untuk menerimanya? Belum tentu.
Inti dari pengalaman "being-stood-up" di atas adalah membuat orang lain kecewa, karena kita menjanjikan sesuatu yang melebihi kapasitas kita. Randy berjanji untuk meluangkan waktu bagi anaknnya, namun ia lupa keterbatasannya untuk memiliki agenda sehari-hari di tengah kehidupan urakannya. Jake berjanji datang ke rumah Jane, namun ia lupa bahwa ia masih memiliki istri dan anak yang harus diurus di rumahnya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin seringkali kasus-kasus di atas disebabkan karena satu hal: Overcommit. Kita kadang terlalu berkomitmen terhadap berbagai hal, di mana kita belum tentu bisa memenuhi hal tersebut. Kita terlalu yakin pada diri sendiri, untuk bisa melakukan berbagai hal dengan sempurna. Hal ini kerap kali melanda mahasiswa. Di tengah krisis identitas dan minimnya kemampuan menakar diri sendiri, bisa saja seorang mahasiswa berkomitmen terhadap terlalu banyak hal. Organisasi A, Organisasi B, Asisten Dosen C, Asisten Dosen D, Kegiatan E, Kegiatan F, Urusan G, Urusan H, dan lain sebagainya. Seru memang, mengeksplorasi kemampuan diri di berbagai bidang. Tapi kadang kita harus bisa menakar diri sendiri. Dan ketika memperhitungkan kemampuan diri, janganlah secara parsial! Oke saya bisa-bisa saja ikut di organisasi A. Oke saya bisa-bisa saja aktif di kegiatan B. Oke saya fine-fine saja jadi pengurus C. Tapi, apa yakin saya bisa menjalankan kesemuanya sekaligus?
Acap kali kita terlalu menyederhanakan masalah. "Tidak apa saya komit ke berbagai hal, toh kalau keteteran juga saya sendiri yang rugi." Pandangan simplistic ini sering membawa "neraka-dunia" pada orang-orang di sekitar kita. Jangan lupa bahwa kita adalah makhluk sosial, dengan pola interaksi dan ketergantungan yang kompleks dengan sesama kita. Ketika kita alpa / lupa / lalai / tidak bisa melakukan suatu hal yang menjadi tanggung jawab kita, bisa saja kita mengecewakan orang lain sebagaimana kasus "being-stood-up" di atas. Dampaknya fatal.
Mungkin sedari sekarang kita harus mulai memikirkan masalah ini. Kita harus mulai sadar, bahwa sebuah tanggung jawab tidak sekedar memiliki dampak personal, seringkali ia bisa berimbas sosial. Ada baiknya kita ingat kembali kalimat bijak dari film Spiderman: "With great power comes great responsibility". Benar begitu bukan?
Jakarta, 14 Mei 2010
Okki Sutanto
(hanya mengajak ber-refleksi, bukan meragukan, apalagi menuduh orang lain overcommit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar