Ketikan Pinggir
#Hari-Kedua menepati janji menulis satu tulisan per hari
Menonton film Tanda Tanya memang seru. Tapi, mengikuti diskusi terkait film tersebut ternyata jauh lebih mengasyikan. Sebagai sebuah karya, adalah wajar sekali bermunculan berbagai ulasan, interpretasi, maupun komentar terhadap film Tanda Tanya. Yang membuat ini menjadi seru, selain isunya yang sensitif, juga karena sang sutradara sendiri, Hanung Bramantyo, ikut bersuara.
Yang paling banyak dibaca dan diperbincangkan adalah debat, atau lebih tepat disebut dialog, antara Hanung dan seorang wartawan. Hanung menjawab berbagai tuduhan negatif dan tendensius sang wartawan dengan tenang dan konsisten, berpegangan pada film yang diproduksinya, menit per menit, adegan per adegan. Dalam tulisannya (http://dapurfilm.com/2011/04/dialog-terbuka-film-tanda-tanya/), Hanung menyamarkan identitas sang wartawan. Namun, entah memang mencari popularitas, entah kadung kesal karena tidak bisa menembus perisai pertahanan Hanung dan filmnya dengan alur logika yang waras, sang wartawan dengan naif dan polosnya malah membuka identitasnya sendiri di media online tempatnya bernaung (http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/2496-debat-hanung-versus-wartawan-suara-islam-di-facebook). Masih dari media yang sama, seorang lain lagi turut menghujat film Tanda Tanya (http://www.suara-islam.com/news/berita/opini-si/2465-catatan-untuk-hanung-film-qq-gambaran-toleransi-yang-ngawur).
Dialognya lumayan enak dibaca, namun menganalisa apa yang terjadi di dalam diskusi tersebut bagi saya menjadi jauh lebih penting. Bukannya bermaksud mengagungkan Hanung, tapi kedua penulis di atas terlihat seperti anak TK yang berusaha mendebatkan teori relativitas khusus. Saya bukan ahli film, apalagi agama, tapi setidaknya saya tahu bagaimana harus berdialog. Dialog kedua penulis tersebut terlalu dangkal, tendensius, dan tidak fokus. Mereka meracau mulai dari adegan-adegan yang dirasa kurang pantas, lalu berubah haluan ke pribadi dan keimanan Hanung, lalu banting setir ke ajaran agama dan hal-hal lain yang berbau afektif. Alhasil, perbedaan kualitas berpikir mereka pun terlihat dengan jelas.
Salah satu tulisan lain yang menurut saya cukup baik dan tidak tendensius menyoal film Tanda Tanya adalah tulisan Salim Said (http://cekricek.co.id/tentang-film-karya-terbaru-sutradara-terkemuka-hanung-bramantyo/). Tulisan tersebut tidak mengarah ke ranah agama. Namun saya tidak sependapat dengan sang penulis. Bagi saya, film yang baik tak harus menjelaskan latar belakang dan motif setiap tokohnya dengan mendetil. Kadang, ruang itu dibiarkan kosong untuk diisi sendiri oleh imaji penontonnya.
Pada intinya, saya sangat bingung dengan kebiasaan di negri ini, yang kerap membahas film dari sudut pandang agama. Film, sebagaimana karya seni lainnya, membuka ruang bagi interpretasi masing-masing penontonnya. Film pun tak harus selalu dipandang sebagai propaganda yang secara langsung akan mempengaruhi penontonnya. Jika film semudah itu mempengaruhi penontonnya, tidak ada lagi orang Indonesia yang takut akan setan atau hantu. Kenapa? Beberapa tahun belakangan, begitu banyak film dalam negri yang mengeksploitasi setan dan hantu, baik menjadikannya bahan tertawaan, maupun bahan rangsangan seksual. Jika sekarang ada orang yang melihat hantu malah tertawa atau terangsang, barulah kita boleh berkata film berpotensi kuat mempengaruhi penontonnya.
Kembali ke kasus film Tanda Tanya, bagi saya jawaban-jawaban Hanung sudah cukup. Jika penonton mengambil jarak ketika menonton film tersebut, tanpa harus terpengaruh label-label tertentu yang tendensius, tanpa hasrat membela agamanya habis-habisan, maka seharusnya tidak ada masalah yang muncul. Jika film Tanda Tanya saja sudah dipermasalahkan, bagaimana jika penduduk Indonesia menonton film Monty Python's: Life of Brian (1979)? Sungguh tak terbayangkan apa reaksi yang akan muncul.
Film dan agama adalah dua entitas yang sama sekali berbeda, sehingga bagi saya pribadi kurang pantas mendebatkan suatu film dari sudut pandang agama. Berbeda dengan agama, yang cenderung mengusaikan diri dengan tanda titik, film dan karya seni lainnya selalu membuka diri untuk tanda koma, tanya, bahkan kalimat-kalimat baru di belakangnya. Ada ruang untuk berbagai interpretasi. Ada ruang untuk revisi dan perbaikan, bahkan lanjutan. Maka dari itu, tidaklah perlu kita mendebatkan suatu film dari sudut pandang agama. Film adalah film. Sebuah karya seni, dengan segala kelebihan, juga kekurangannya.
Jakarta, 21 April 2011
Okki Sutanto | http://octovary.blogspot.com/
(Omong-omong, selamat Hari Kartini!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar